tirto.id - Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo adalah orang yang gemar sekali mempromosikan film Pengkhianatan G30S/PKI. Dia juga ikut serta dalam kegiatan peringatan G30S. Sewaktu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Gatot sempat memimpin doa bersama di Monumen Pancasila Sakti pada 2014.
Saat itu Gatot belum menjadi promotor Pengkhianatan G30S/PKI. Begitu juga di tahun 2015 ketika baru menjabat sebagai Panglima TNI. Pada 2016 Gatot bahkan sempat menyebut isu kemunculan Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa jadi merupakan gagasan untuk mengadu domba masyarakat.
"Kan sudah disampaikan, bisa jadi itu adu domba kan," kata Gatot di Mabes Polri, Senin (16/5/2016) seperti dilansir Detik.
Latar belakang omongan Gatot itu karena isu tentang PKI dan dalang peristiwa 1965-1966 kembali diperbincangkan. Polri dan TNI bahkan melakukan razia kepada beberapa toko buku dan menyita buku apapun yang berisi pemahaman ideologi komunis atau bergambar palu arit.
Barulah pada 2017 Gatot mengangkat isu PKI. Tiba-tiba dia mengeluarkan perintah ke seluruh jajarannya untuk memutar Pengkhianatan G30S/PKI. Mulai dari tingkat Kodim, Korem, hingga Babinsa tanpa terkecuali harus menonton film propaganda tersebut. Namun, sampai sekarang belum diketahui apakah perintah Gatot diterbitkan dalam instruksi resmi TNI atau tidak.
"Perintah saya, mau apa memangnya?," kata Gatot Nurmantyo di Blitar, Jawa Timur, Senin (18/9/2017).
Setelah purna tugas pada 2018, Gatot masih terobsesi dengan Pengkhianatan G30S/PKI. Dalam cuitannya di akun Twitter dan Instagram, Gatot menantang KSAD Jenderal Mulyono untuk memerintahkan jajarannya melaksanakan nonton bareng (nobar). Gatot juga menyuruh KSAD untuk “pulang kampung saja” bila menjadi penakut. Tak peduli dengan seruan itu, KSAD tak memerintahkan jajarannya melakukan nobar.
Pada akhir 2017 sampai dengan 2018 Gatot juga mulai bicara soal kebangkitan PKI. Misalnya menyindir politikus PDIP Ribka Tjiptaning yang menulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002) sebagai tanda-tanda Indonesia harus waspada.
Pada tahun 2020 Gatot kembali membuat manuver. Secara terang-terangan ia mengaku sudah melihat kebangkitan PKI sejak 2008. Terkait tidak adanya tindakan nyata yang mendorong kebangkitan tersebut, misalnya pendirian partai politik, Gatot yakin PKI sedang bergerak.
“Memang gerakan ini tidak bisa dilihat bentuknya, tetapi dirasakan bisa. Contohnya kenapa 2008, karena sejak 2008 itulah seluruh sekolah, pelajaran soal G30S/PKI ditiadakan. Ini suatu hal yang sangat berbahaya," ujar Gatot seperti dilansir Detik.
Konsistensi Gatot dibayangi hantu PKI, menurutnya, tidak ada urusannya dengan politik. Soal nobar Pengkhianatan G30S/PKI, ia mengaku hanya mau mengingatkan tentang fakta sejarah. Tapi ketika banyak sejarawan dan akademisi kompeten menyatakan film itu adalah propaganda serta banyak mengaburkan fakta, apa yang ingin dicapai Gatot sebenarnya?
"Menggoreng" Isu PKI
Tahun ini Gatot memunculkan polemik soal masa lalunya yang dikaitkan dengan isu kebangkitan PKI.
Ia menyebut, pemutaran Pengkhianatan G30S/PKI pada 2017 bisa jadi adalah salah satu penyebab pemecatannya sebelum masa jabatan sebagai Panglima TNI berakhir. Gatot mengaku mendapat informasi ini dari temannya yang politikus PDIP.
PDIP membantahnya mentah-mentah. Omongan Gatot dianggap mengada-ada. Dari segi umur, Gatot sudah menginjak usia 57 kala itu. Dia dibebastugaskan pada Desember 2017, tiga bulan sebelum dia berumur 58 (usia pensiun perwira tinggi TNI). Pembebastugasan menjelang usia pensiun adalah hal lazim di lingkungan TNI—sebuah periode yang disebut Masa Persiapan Pensiun. Penjelasan Pasal 55 Ayat 1 Huruf c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (PDF) menyatakan: "Bagi prajurit yang menjalani masa pensiun berhak memperoleh masa persiapan pensiun (MPP) selama 1 (satu) tahun."
Gatot kemudian berkilah bahwa dia tak pernah menyatakan dipecat karena memutar Pengkhianatan G30S/PKI. Dia hanya menyatakan ada politikus PDIP yang memberinya peringatan.
“Dan benar-benar saya diganti,” kata Gatot lewat sebuah tayangan YouTube.
Pada Pemilu Presiden 2014 isu PKI juga dimunculkan orang-orang yang punya tendensi politik berseberangan dengan capres Joko Widodo. Isunya tidak tanggung-tanggung: Jokowi adalah keturunan PKI. Perkara ini cukup membuat Jokowi kebakaran jenggot.
Berkali-kali, Jokowi mengklarifikasi dirinya bukanlah PKI. Berdasarkan omongan Jokowi, dia mendapat kekalahan di beberapa daerah, misalnya: Bogor saat Pilpres 2014, karena isu PKI yang menerpa dirinya. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memperkirakan ada 9 juta warga Indonesia yang percaya dirinya adalah PKI. Sedangkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2017 menunjukan ada 5,1 persen responden percaya Jokowi adalah PKI. Responden SMRC sebanyak 2.568.
Tapi kenyataan bahwa isu PKI menggerus suara Jokowi cukup terbukti. Masih dalam survei SMRC, mereka mencatat pendukung lawan Jokowi, Prabowo Subianto, banyak yang percaya dengan isu PKI, setidaknya 19 persen di antara pendukungnya. Mereka yang percaya dengan isu PKI juga biasanya memiliki basis massa Gerindra dan PKS.
Sejak PKI dilarang pemerintah Indonesia melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme, jualan isu anti-PKI memang mujarab dalam kampanye politik. Apalagi jika lawannya adalah PDIP. Melihat PDIP masih berkuasa hingga 2024, menggoreng isu PKI memang bisa dijadikan senjata.
Saiful Mujani dalamMuslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (2007) memandang PKI adalah musuh Orde Baru. Memasuki era Reformasi, Megawati Soekarnoputri, kala menjabat sebagai presiden, meyakinkan bahwa setiap orang punya hak politik yang sama seperti warga Indonesia lainnya termasuk juga pendukung, keluarga, dan simpatisan komunis.
Saat itu DPR sedang menggodok aturan pemilu yang berusaha melarang siapapun dengan relasi terhadap PKI bisa menjadi presiden.
Sikap Megawati dan PDIP sebenarnya punya alasan strategis lain. PDIP dianggap sebagai kelanjutan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengidentifikasi diri sebagai pengikut Sukarno. Secara historis Sukarno dekat dengan PKI. Menurut Saiful, “tidak mengherankan jika PDIP berusaha merehabilitasi mantan komunis.” Memang di kemudian hari, Ribka yang keturunan anggota PKI bisa menjadi anggota DPR lewat PDIP.
Pengarsip sejarah, Muhidin M. Dahlan, menyatakan semasa Orde Baru cap PKI memang sudah disematkan kepada Megawati. Tuduhan ini digunakan Soeharto untuk menggembosi Megawati dan partainya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), pendahulu PDIP.
Didukung oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kegiatan PDI kubu Megawati dianggap subversif. Soeharto kemudian menyebut ada “setan gundul” yang berusaha memperalat PDI. Sebutan “setan gundul” atau “setan gondrong” itu dipakai sebagai kata ganti PKI.
Hasilnya efektif untuk menghajar PDI. Setelah omongan Soeharto, tiga hari kemudian terjadilah Kerusuhan 27 Juli atau Kudatuli.
"Bisa dibayangkan, di tahun pertama kepemimpinan Megawati pada Desember 1993, tuduhan dari musuh politiknya memelihara 300 kader yang terlibat G30S/PKI secara tak langsung. Tuduhan itu ‘dilegitimasi’ ABRI. PKI emang jimat setan yang selalu ditempelkan di jidat Bu Mega," ujar Muhidin seperti dilaporkan Vice.
Belakangan, Gatot menyerang PDIP melalui polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila dan penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila yang hilang semasa desukarnoisasi Orde Baru.
Jokowi yang kader PDIP dan pada 2017 sedang menuju kontestasi Pilpres 2019 tentu merugi karena isu PKI yang disebarkan Gatot. Sebagian orang masih melabeli Jokowi sebagai “anak PKI”.
Dalam buku bertajuk TNI dan Kedekatan Dengan Kelompok Islam (2020) yang diterbitkan Tempo Publishing, disebutkan bahwa acara nobar itu membuat hubungan antara Gatot dan Jokowi renggang. Dalam satu rapat jelang hari ulang tahun TNI, “Jokowi mengkritik kepemimpian Gatot yang masih mendengung-dengungkan kebangkitan komunisme.”
Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan melalui makalah berjudul "Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period" (2018) menilai ada juga beberapa keputusan Gatot yang memang tak sejalan dengan Jokowi. Presiden melihat bahwa Gatot mempunyai kepentingan lain menjelang Pemilu 2019.
“Untuk menggagalkan Nurmantyo, Jokowi turun tangan dengan buru-buru melantik Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI pada Desember 2017. Langkah awal Hadi adalah mencabut kebijakan-kebijakan Gatot. Penunjukan Hadi bisa dilihat sebagai langkah Jokowi mengonsolidasikan kekuatan dan menghabisi lawan politik,” catat Leonard.
Terjebak Orde Baru
Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid sempat mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tapi ditolak DPR disertai ancaman pemakzulan. Masih banyak pihak yang tidak terima jika keluarga dan bekas simpatisan, atau mereka yang dituduh, PKI mendapat celah untuk berpolitik.
Militer, terutama AD, sangat reaktif jika ada isu terkait dengan PKI. Beberapa kali tentara, kadang-kadang dibantu polisi, mengadakan razia terhadap buku-buku soal marxisme dan komunisme. Menurut Direktur Imparsial Al Araf, tentara seharusnya tak perlu bertindak demikian.
Sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, komunisme bukan lagi ideologi yang menakutkan dan mengancam negara-negara di dunia. Sebagian besar negara satelit Uni Soviet, menurut Al Araf, sudah mengubah ideologi dan sistem politiknya dari komunisme menuju demokrasi. Kini tak ada pula partai politik di Indonesia yang mencantumkan ideologi komunis.
"Bahkan, sampai saat ini larangan komunisme yang berpijak pada ketetapan MPR masih berlaku. Jadi bagaimana mungkin komunisme dapat dianggap sebagai ancaman nyata saat ini jika organisasinya saja tidak jelas dan dilarang," kata Al Araf, Kamis (4/9/2018).
Kebencian AD terhadap PKI memang sudah lama. Apalagi dalam peristiwa G30S, semua perwira tinggi yang terbunuh berasal dari AD. Soeharto yang waktu itu mengambil alih pimpinan AD kemudian memerintahkan komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo untuk menumpas PKI.
Namun, fakta-fakta terkait peristiwa itu dikonstruksi melalui satu sudut pandang saja, yakni sudut pandang Orde Baru, yang diragukan kebenarannya. Memasuki Reformasi, film tersebut sudah ditinggalkan karena dianggap hanya mengkultuskan Soeharto.
Narasi kekejaman PKI di Lubang Buaya seperti tertuang dalam Pengkhianatan G30S/PKI juga bertentangan dengan klaim dokter otopsi korban, dr. Liaw Yan Siang.
"Saya tahu bahwa di surat-surat kabar itu jenderal-jenderal itu disiksa, dianiaya segala. Disiksa apa itu. Dari sebab itu saya mau cari apa benar ada bukti-bukti itu atau nggak. Antara lain matanya dicukil segala. Nah waktu itu saya lihat kok nggak ada yang dicukil matanya?” aku Liaw kepada Alfred Ticoalu dalam wawancara untuk Indoprogress.
Alfred kemudian bertanya untuk ketiga kalinya, “Secara detil, bagaimana dengan hal pemotongan kemaluan?” dr. Liaw menegaskan kembali: “Nggak ada. Semua utuh.”
Dengan terus-menerus mengembuskan isu kebangkitan PKI dan mengampanyekan nobar Pengkhianatan G30S/PKI, Gatot, melalui Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kian melanggengkan propaganda Orde Baru.
Bersama KAMI, Gatot meramaikan isu tersebut untuk kepentingan politik mereka. Sejarawan yang fokus meneliti peristiwa seputar 1965, Asvi Warman Adam, sekali lagi menegaskan tak ada kebangkitan PKI.
Saat ini yang terjadi adalah “[isu PKI/komunisme] dipakai untuk kepentingan politik.” Tujuannya tidak lain untuk berkuasa atau mengembalikan Orde Baru, rezim yang memberangus PKI dan bahkan orang-orang yang tidak terkait sama sekali dengan organisasi dan ideologi itu. Itu pula mengapa mereka memilih nama 'Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia'.
“Karena Orde Baru berkuasa dengan legitimasi ‘penyelamat Indonesia’,” kata Asvi kepada reporter Tirto, Kamis (24/9/2020).
Dalam wawancara dengan Tirto, guru besar Kajian Asia Universitas Melbourne Vedi R. Hadiz memandang isu PKI adalah musuh yang diciptakan kaum oligarki Islam dan nasionalis. Sejak Orde Baru, isu ini selalu dibayangi propaganda antikomunisme yang seakan-akan menganggap komunis boleh dianiaya karena mengancam nusa dan bangsa. Padahal, urai Vedi, narasi itu adalah "[warisan] arsitektur politik dan ideologi yang dibentuk sejak Orde Baru."
"Kita belum sepenuhnya keluar dari Orba," kata Vedi lagi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan