tirto.id - Revolusi Oktober di Rusia yang mengilhami pendirian pemerintahan-pemerintahan komunis di seluruh dunia tepat berusia 100 tahun. Terlepas dari fakta hampir seluruh praktik komunisme abad 20 telah runtuh antara 1989-1991, rumor seputar kebangkitan PKI terus muncul tiap September-Oktober. Meski tak seorang pun yang benar-benar bisa membuktikannya.
Gejala ketakutan akan "kebangkitan komunisme" tidak semata di Indonesia. Beberapa negara lain menghadapi fenomena serupa dalam bentuk berbeda-beda.
Di satu sisi, ketakutan ini mencerminkan kegagalan rezim-rezim liberal-demokratik dalam pemenuhan janji-janji kemakmuran. Namun, di sisi lain, ketakutan ini dalam praktiknya dipakai untuk melegitimasi kemunculan kelompok-kelompok populis sayap kanan, yang mengampanyekan rasisme, anti-imigrasi, bahkan otoritarianisme.
Baca juga:
- Visual Report Masa Depan Partai Komunis (edisi Indonesia)
- The World Was Red: A Visual History (edisi Inggris)
Tirto menemui Vedi R. Hadiz, profesor Kajian Asia University of Melbourne, di sela-sela kesibukannya sebagai pembicara dalam seminar di Universitas Indonesia.
Pada 1990-an, Vedi meneliti gerakan-gerakan buruh. Belakangan ia berfokus pada studi-studi tentang oligarki dan populisme Islam. Juni lalu, bukunya Islamic Populism in Indonesia and the Middle East diterbitkan oleh Cambridge University Press. Vedi menyatakan isu komunisme terkait erat dengan persaingan faksi-faksi oligarki yang memainkan Islam atau nasionalisme untuk kepentingan politik.
Berikut wawancara Ivan Aulia Ahsan dan Windu Jusuf dari Tirto bersama Vedi R. Hadiz.
Belakangan mekar paranoia komunisme di Indonesia. Tren ini juga terjadi di luar Indonesia, seperti di negara-negara bekas Blok Timur yang melarang simbol-simbol komunis di ruang publik. Di luar konteks realpolitik, ini mencerminkan situasi sosiologis masyarakat yang seperti apa?
Saya kira ada perbedaan antara masyarakat yang pernah mengalami pemerintahan yang katanya komunis dengan Indonesia yang hanya mengalami “ancaman” komunis.
Di negara Eropa Timur, komunisme mengandung stigma tertentu dalam masyarakat. Kecuali bagi beberapa generasi tua yang kadang-kadang memiliki nostalgia atas hak atas perumahan, kesehatan dan pendidikan yang gratis di bawah pemerintahan komunis. Tapi aspek-aspek dari pemerintahan komunis yang represif terhadap hak asasi manusia itu menjadi stigma, apalagi banyak pemimpin komunis yang hidup sebagai elite tersendiri.
Persoalannya, di masyarakat pasca-komunis, banyak janji kapitalisme pun tidak terpenuhi. Jadi janji-janji kemakmuran, high consumption, hidup seperti orang Barat yang kaya, tidak sepenuhnya tercapai.
Orang-orang dari Eropa Timur ini sebetulnya sumber tenaga kerja yang relatif murah untuk ukuran masyarakat ekonomi Eropa. Dalam konteks itu—apalagi dengan jurang kaya-miskin yang semakin meningkat secara global—komunisme bisa menarik lagi, bisa jadi ancaman terhadap status quo. Walau ancaman tersebut seringkali propaganda pemerintahnya.
Kekuatan riil komunis hari ini sebenarnya tidak ada. Cuma memang ada kekecewaan masyarakat dengan kapitalisme yang masif sejak 1989-1990 yang harus ditangani.
Baca juga: Eropa Setelah Piala Eropa
Cara menanganinya, kalau seperti di Polandia atau Hungaria itu cenderung oleh pemerintah-pemerintah yang ultra-kanan. Kecenderungan otoriter juga sangat tinggi. Mereka memakai ideologi dan propaganda berdasarkan nasionalisme, bahkan ultranasionalis. Terutama seperti di Hungaria, posisi seorang pemimpin menjadi hampir di tingkat kultus. Jika komunisme muncul, ya tentu saja itu mengganggu posisi mereka.
Di Polandia dan Rumania juga seperti itu. Jadi dalam rangka mempertahankan status quo, kecemasan masyarakat atas ketidakadilan sosial dialihkan ke masalah-masalah nasionalisme dan patriotisme. Yang jadi kambing hitam adalah dunia internasional, imigran, konspirasi dari luar negeri. Itu semua dilakukan untuk menjaga agar status quo bertahan.
Baca juga: Sebastian Kurz, Muda, Kanan dan Anti-Imigran
Bagaimana dengan situasi di Indonesia?
Kalau di Indonesia beda, walau ada beberapa persamaan. Dalam artian, masyarakat juga dijanjikan banyak pada era reformasi. Sayangnya tidak terpenuhi. Orang berpikir, dengan demokrasi, kemakmuran bisa mudah tercipta. Distribusi kemakmuran merata. Ya enggak begitu. Dibutuhkan suatu perjuangan untuk mencapai itu.
Di Indonesia, jurang kaya-miskin masih lebar, struktur kekuasaan politik masih dikuasai oligarki yang sempit, dan ada kecemasan besar di kalangan kelas menengah bawah. Apa yang bisa diberikan kepada mereka? Pilihan-pilihan politiknya merupakan hal-hal yang mengalihkan perhatian dari masalah-masalah struktural.
Ada dua tradisi yang sangat mudah digunakan oligarki: Islam dan Nasionalisme. Nah, dua-duanya butuh musuh. Musuh yang paling gampang diciptakan, ya, komunisme.
Kalau you mau pertahankan status quo di tengah kecemasan masyarakat yang meningkat, kamu harus buat kecemasan itu tidak menjadi tantangan. Untuk tidak jadi tantangan, ya dicarilah musuh yang paling gampang untuk direpresentasikan sebagai sesuatu yang jahat tapi sekaligus mudah ditaklukkan. Ya, komunisme mudah untuk dimusuhi karena praktis enggak ada. Orang-orang tua bekas tahanan Pulau Buru sudah enggak bisa ngapa-ngapain, kan?
Baca juga:
- Seberapa Ramai Komunisme Dibicarakan Masyarakat Indonesia?
- Hoax PKI, Penyerbuan dan Kericuhan Senin Dini Hari
Ambil contoh Gatot Nurmantyo. Dia bisa dengan mudah memainkan nasionalisme dan Islam. Dia mendekati kelompok Islam dan berpikir pemerintah saat ini mudah untuk diserang, misalnya karena representasi keislamannya yang agak kurang. Tapi dia juga bisa pakai sentimen nasionalis dengan dasar inilah tradisi ideologis yang paling mudah dipegang militer.
Jadi, sebagian dari polemik tentang komunisme sekarang sifatnya sangat oportunis dan sebetulnya tidak relevan dengan kondisi sosial politik saat ini.
Tapi tidak dipungkiri ada politik ketakutan yang sudah terbangun sejak 1965 sampai hari ini. Itu bagaimana?
Saya kira memang iya. Sekian dari generasi masyarakat Indonesia dibesarkan oleh propaganda antikomunisme, di mana komunisnya bukan manusia. Tahun 1980-1990-an, kalau buruh sedang demo, satpam-satpam akan bilang, “Komunis lo!”.
Itu bikin buruh takut. Karena kalau kamu komunis, kamu bisa dibunuh. Komunis dianggap boleh dianiaya karena dipandang sebagai ancaman terhadap nusa dan bangsa. Ketakutan adalah bagian dari arsitektur politik dan ideologi yang dibentuk sejak Orde Baru. Kita belum sepenuhnya keluar dari Orba. Elemen-elemen dari struktur ideologi politiknya masih tetap kita gunakan.
Seberapa besar daya tarik komunisme di Eropa Timur hari ini? Sementara dalam banyak literatur Perang Dingin, sering disebut pemerintahan komunis merupakan hasil intervensi militer Soviet setelah Perang Dunia II, bahkan sampai-sampai dikategorikan "imperialisme Rusia". Di sisi lain, kita menyaksikan fenomena Östalgie (rindu rezim komunis) di bekas Jerman Timur hari ini. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha menampilkan sosok dirinya sebagai penerus Stalin, meski tidak dalam unsur komunismenya tapi otoriterismenya.
Jadi yang diambil adalah Joseph Stalin-nya, tanpa Marxisme-Leninisme-nya. Seperti Prabowo mengambil Sukarno tanpa Nasakom. Diambil simbol yang mencerminkan kekuatan, yang satu mencerminkan nasionalisme. Tapi konteks sosial-historisnya dicabut.
Di Eropa Timur memang ada partai-partai eks komunis yang sekarang menjadi partai sosial-demokrat kiri dan di beberapa tempat cukup berhasil. Tapi enggak ada satu pun yang akan memenangkan pemilu dan bilang, “Kita mau kembali seperti sebelum 1989.” Nostalgia komunis mencerminkan suatu nostalgia dan ketidaknyamanan terhadap ketidakadilan sosial yang semakin meningkat.
Baca juga: Mengapa Manusia Menyukai Nostalgia?
Intervensi Soviet memang terjadi. Di Hungaria, penyerbuan [Soviet] pada 1956 masih sangat membekas, atau di Cekoslowakia tahun 1968, juga di Polandia tahun 1950-an. Tapi partai-partai komunis di sana secara organik pun lahir sebagai respons dari perkembangan kapitalisme di kawasan mereka.
Jadi, dibilang komunisme adalah transplantasi dari Rusia itu enggak bener. Karena mereka adalah hasil dari pergulatan internal dalam konteks masa perubahan yang sangat besar antara perang Dunia I dan Dunia II, yang mengalami depresi ekonomi dan sebagainya.
Sama juga PKI di Indonesia. Kalau PKI dibilang buatan Cina, ya itu salah besar. PKI mendekati Cina juga belakangan. Komunisme Indonesia datang dari orang-orang Belanda, bukan dari Cina. Berbeda dengan komunisme di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Ini betul-betul dari Eropa. Pengaruh dari Cina sangat kecil. Intinya, ini tradisi yang sebetulnya menengok pada Eropa, bukan pada Cina.
Kalau kita menelusuri pergerakan nasionalisme Indonesia setelah Sarekat Islam dibungkam oleh Belanda, yang sebenarnya mengambil alih posisi barisan depan gerakan nasionalis Indonesia adalah PKI, sebelum akhirnya mereka juga dibungkam tahun 1927-1928. Baru kemudian pergerakan diambil alih oleh nasionalisme-nya Sukarno. Secara organik komunis itu ada di Indonesia, bukan hasil dari transplantasi. Dalam konteks Indonesia, [komunisme] adalah perkembangan dari gerakan nasionalis Indonesia yang cabang-cabangnya banyak.
Baca juga: Sebelum PKI Berdiri: Lingkaran Kaum Sosialis Awal di Hindia Belanda
Hubungan Islam dan komunisme selalu digambarkan sangat buruk. Apakah memang dorongan yang ideologis dalam konteks pergulatan saat ini atau malah dorongan pihak ketiga—oligarki?
Kalau kita lihat sejarah komunisme dalam dunia Islam pada awal abad 20 sebetulnya tidak ada konflik yang inheren antara komunisme dan Islam. Memang SI Putih dan SI Merah mengalami perpecahan. Tapi, dalam waktu cukup panjang, perjuangan menghadapi Belanda dinilai cukup mempersatukan macam-macam cabang itu walau mereka bersaing juga.
Sebetulnya yang menciptakan perubahan hubungan Islam dan komunis ada dua. Pertama, Madiun. Ini harus dicatat sebagai peristiwa di mana pemimpin Indonesia memerintahkan teman seperjuangannya [Amir Sjarifoeddin] untuk dieksekusi mati. Ini yang memulai siklus kekerasan antara orang Indonesia dalam fase baru. Sebelumnya, kan, Sjahrir diculik. Tan Malaka dipenjara. Nah, ini Amir Sjarifoeddin dihukum mati.
Baca juga: Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri, Kiri dan Dihukum Mati
Kedua, praktik konsolidasi negara pascakolonial yang memerlukan waktu 20 tahun. Terjadi persaingan antara berbagai kekuatan. Basis sosial dari kekuatan-kekuatan Islam itu beda. Misalnya kalau di Jawa, basisnya adalah petani yang punya tanah. Kita tidak punya kelas kulak (petani kaya) seperti di Rusia. Jadi jika kita berangkat dari kategori kelas di situ juga agak keliru. Basis sosial dari Islam di Indonesia itu termasuk pedagang kecil, produsen-produsen kecil. Mereka merasa basis material mereka terancam oleh gerakan komunis yang ingin menghapus private property.
Akhirnya terjadi kulminasi konflik-konflik di Jawa setelah pengesahan Undang-Undang Agraria (1960). Di lain pihak (dalam konteks perang dingin), kelompok Islam itu cenderung memihak tentara, yang sebagian besar digarap oleh Barat sebagai tandingan terhadap Sukarno dan juga PKI.
Kenapa kelompok-kelompok Islam bergabung dengan militer? Karena militer juga bermusuhan dengan PKI. Yang pertama karena peristiwa Madiun 1948; kedua, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada 1950-an.
Nasionalisasi ini yang menyebabkan militer berfungsi sebagai kapitalis dan manajer dari perusahaan-perusahaan kapitalis negara. Mereka berhadapan dengan PKI yang menguasai serikat buruh yang paling kuat. Kelompok Islam seperti Masyumi juga punya serikat buruh tapi cenderung berisi buruh yang status ekonominya lebih tinggi.
Baca juga: Peran Gerakan Buruh dalam Kemunculan THR
Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan asing, pemerintah dituntut agar perusahaan-perusahaan asing diserahkan kepada serikat buruh. Pemerintah menolak dan diberikan ke tentara. Tentara mengelola perusahaan-perusahaan itu, yang sebetulnya sudah hancur sejak zaman Jepang. Selain itu, perusahaan-perusahaan asing tersebut sudah mengalami kemerosotan sejak depresi 1930-an. Enggak mampulah mereka mengelola itu, rugi terus.
Potensi konflik sosial akhirnya tinggi. Orang-orang mulai ambil posisi. Nah, karena posisi komunis yakin bahwa private property akhirnya mesti dibagi-bagi, orang-orang Islam cenderung takut kalau kekayaan yang kecil itu diambil. Ya mereka bersatu di sana.
Di Iran sampai 1980-an, Islam dan komunisme bersatu. Di Malaysia, pasukan komunis Malaysia menghadapi Inggris, kemudian Malaysia merdeka. Mereka sekarang lari ke Thailand selatan. Mereka adalah Islam komunis.
Di Iran itu terjadi dua revolusi. Pada Revolusi 1979, semua kekuatan ikut; Islam, Kaum Bazaari, liberal kelas menengah kota, mahasiswa kiri, buruh, semua ikut. Tahun 1983 revolusi kedua; kelompok-kelompok yang bukan Islamis, termasuk komunis, dibersihkan. Sehingga waktu perang Iran-Irak, mereka dianggap sebagai pengkhianat.
Soal perpecahan organisasi komunis internasional, dari Komintern, Kominform, hingga perpecahan Soviet dan Cina. Apakah persoalannya sebatas perdebatan agensi kelas, misalnya kelas mana yang bisa diharapkan jadi agen revolusi, buruh atau tani? Atau karena dominasi Uni Soviet? Bagaimana dampaknya bagi perjuangan gerakan komunis dan antikolonialis di Dunia Ketiga?
Sangat ada dampaknya. Slogan “Workers of the world, unite!” (“Buruh seluruh dunia, bersatulah!”) jadi goyah selama ada dua kekuatan yang merepresentasikan dirinya sebagai pemandu gerakan komunis global.
Tapi pertarungan antara Uni Soviet dan Cina sebetulnya bukan konflik antara partai komunis, tapi pertarungan antara partai komunis yang sudah bertransformasi jadi negara. Itu mempunyai pengaruh terhadap perjuangan partai-partai komunis yang belum sampai tahap berkuasa.
Sebetulnya, konflik-konflik itu bisa dihindari jika partai-partai komunis waktu itu berangkat dari analisis tentang masyarakat mereka sendiri. Tulisan [Jose Maria] Sison (pemimpin Partai Komunis Filipina) menjiplak Mao. Sebetulnya analisa struktur sosial Indonesia yang ditulis oleh D.N. Aidit waktu itu tidak begitu mendalam. Walaupun pernah dipakai oleh PKI saat itu, ya, kelirunya juga besar.
Pada 1978 ekonomi Cina bergerak ke kapitalis. Kondisi pascaperang di Vietnam juga mendorong negara tersebut bersalin diri dari sosialisme ke ekonomi pasar. Soviet sempat memberlakukan 'New Economic Policy' setelah memenangkan Perang Sipil pada 1922-1928, mengundang pemodal asing untuk investasi di Rusia di bawah kontrol ketat negara, tapi kembali ke ekonomi sosialis setelah rekonstruksi pascaperang. Apa yang membuat partai komunis di Cina dan Vietnam hari ini gagal menjalankan praktik sosialis dan justru menjadi manajer kapitalis yang efektif?
Jawabannya singkat. Pada 1920-an belum ada globalisasi. Stalin itu strategi ekonominya adalah mengeruk surplus ekonomi domestik untuk diinvestasikan ke industri berat. Oleh karena itu korbannya besar, 20 jutaan orang, sebagian besar petani, yang berkorban untuk industrialisasi Rusia. Dia didorong melakukan ini untuk menangani suatu kekhawatiran yang dihadapi Lenin bahwa negara kapitalis maju gelisah jika revolusi menyebar. Ada ancaman diserang.
Jadi untuk melindungi diri, Soviet harus punya kekuatan ekonomi yang besar. Termasuk punya kapasitas militer yang besar. Itulah yang menyebabkan Soviet jadi sistem totaliter. Dalam upaya menyelamatkan komunisme dari invasi kekuatan-kekuatan kapitalis, komunismenya sendiri malah jadi totaliter.
Baca juga: Ho Chi Minh, Bapak Komunis Asia Tenggara
Globalisasi belum ada saat itu. Kalau Cina dan Vietnam, dengan penduduknya yang banyak dan bisa jadi buruh murah, dia bisa bisa jadi pabrik dunia. Karena sudah globalisasi. Kalau dulu, kan, tiap negara bikin baju sendiri. Dengan adanya globalisasi, jalan untuk mengadopsi lebih banyak ciri-ciri kapitalisme semakin kuat. Karena keuntungannya semakin besar. Uang yang bisa dikeruk lebih banyak.
Di Cina, prosesnya ada perbedaan juga. Untuk menciptakan cheap labor, mereka menghancurkan komune-komune. Jadi dalam artian tertentu itu bentuk akumulasi primitif juga. Buruh-buruh murah masuk kota dan jadi dasar buat awal industrialisasi di Cina, yaitu untuk jadi pabrik dunia dan bisa menghasilkan barang-barang berorientasi ekspor.
Revolusi 1917 di Rusia berdampak besar dan global, bahkan ke negara-negara Blok Barat yang sempat mengalami sentimen antikomunis yang besar dan akhirnya memaksa mereka jadi negara kesejahteraan (welfare state). Sebagai anak kandung emansipasi, inspirasi komunis tidak mati-mati bahkan ketika Blok Timur runtuh pada 1989 dan Barat mendeklarasikan diri sebagai pemenang Perang Dingin. Tapi 10 tahun kemudian, Hugo Chavez menang di Venezuela dan menggagas eksperimen Sosialisme Abad 21, yang segera menyebar ke Amerika Selatan. Namun, belakangan angin politik di sana bergerak ke kanan. Menurut Anda apakah momentum 1989 sedang terulang?
Kelemahan utama Chavismo (gagasan sosialisme ala Venezuela) itu satu dan sangat mendasar: tergantung pada ekspor minyak. Ekspor minyak turun, habis revolusinya. Chavismo belum sempat menjadi struktur yang embedded dalam masyarakat Venezuela, belum cukup lama. Dan di situ, kan, ada duit minyak.
Menurut saya, pelajaran dari kehancuran komunisme pada 1989 tidak banyak diambil untuk kasus Chavismo. Konteksnya beda, akarnya beda, krisisnya juga beda. Yang bisa diambil: susah sekali untuk membangun masyarakat ala sosialis di masyarakat global yang kapitalis.
Benar memang Revolusi Pink (Amerika Latin) menjadi model. Tapi sekarang juga mengalami krisis. Jadi, sebelum punya efek global, ia punya efek regional seperti di Ekuador, dan lain-lain. Tapi sebelum punya efek global, ia malah di-undermine di sarangnya sendiri.
Sementara itu dunia berjalan terus. Dasar-dasar struktural munculnya Chavismo adalah ketidakadilan sosial, yang semakin meningkat dalam konteks neoliberalisme global yang menyebabkan dislokasi-dislokasi baru. Sekarang krisis-krisis ini malah disambut oleh kelompok kanan.
Tapi mesti ingat, walau kemunculan kanan menjadi respons yang paling kelihatan, masih ada eksperimen sosialis Podemos di Spanyol, Syriza di Yunani. Setidak-tidaknya itu menunjukkan respons terhadap krisis tidak harus dalam bentuk fasisme.
Itu menunjukkan yang ekstrem kanan itu enggak perlu harus mendominasi, kalau diskursus tentang keadilan sosial itu tidak dibiarkan diapropriasi olehnya. Yang penting, wacana keadilan sosial tidak dimonopoli oleh kelompok-kelompok yang sifatnya fasis atau mendekati fasis.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Windu Jusuf