tirto.id - Jika kita membuka lembaran-lembaran al-Qur’an, akan kita temukan ayat-ayat yang berbicara tentang negeri/tempat tinggal dan bahwa kecintaan terhadapnya merupakan naluri manusia. QS. at-Taubat ayat 24, misalnya, menyatakan:
Katakanlah: “Jika bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, istri-istri kamu, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
Kata tempat-tempat tinggal di atas adalah terjemahan dari kata masakin yang digunakan ayat ini. Maknanya, menurut Thahir bin Ayur, ulama besar Tunisia dalam kitab tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir adalah “negeri tempat tinggal warga negara". Jauh sebelumnya, Burhanuddin, pakar tafsir dari Lembah Biqa’ (808H) menulis bahwa kata tersebut bermakna "tempat-tempat yang disenangi untuk dihuni dan dijadikan tempat tinggal".
Terbaca bahwa dari sekian hal yang disebut ayat di atas sebagai disukai dan dicintai oleh manusia adalah negeri tempat bermukim. Kecintaan itu baru tercela jika kecintaan kepadanya melebihi kecintaan kepada Allah dan Rasul, dan ini berarti bahwa Allah merestui cinta tersebut dengan syarat di atas. Tidak heran jika sesaat sebelum berhijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW., yang lahir di Mekkah berucap kepada tumpah darahnya bahwa:
“Sesungguhnya engkau (wahai Mekkah) adalah sebaik-baik negeri Allah dan negeri Allah yang paling kucintai. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak diusir, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu (HR. Ibn Majah, Ahmad, at-Tirmidzy, dll.).
Tanah air adalah tumpah darah. Ia adalah tempat pembaringan leluhur. Ia adalah dunia kecil kita dan pintu masuk menuju dunia akhir kita. Angin yang berembus di tanah air adalah angin pertama yang berembus kepada kita. Tanahnya adalah pijakan awal kita, sinar mataharinya adalah cahaya pertama yang menerangi kita, demikian seterusnya sebagaimana dilukiskan oleh Ahmad Syauqy, orang yang diuluki Amir asy-Syu’ara (Pangeran Para Penyair Mesir).
Bertebaran ungkapan dari berbagai masyarakat dan bangsa yang mendukung pandangan bahwa cinta pada tumpah darah adalah naluri manusia. Sangat populer ungkapan emosional bangsa Indonesia: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri lebih disukai negeri sendiri.
Sejak zamah jahiliyah, para penyairnya telah mendendangkan banyak syair tentang cinta tanah air. Salah satu yang amat populer adalah kata-kata bersajak milik Abu Tammam:
“Pindah-pindahkanlah hatimu dalam bercinta sekuat kemampuanmu, tetapi cinta tetap saja tertuju kepada cinta pertama. Alangkah banyaknya negeri di bumi ini yang dikenal seseorang keindahannya hanya tertuju ke negeri pertama, tumpah darahnya."
Populer juga kalimat yang dianggap hadis Nabi SAW., yakni: “Cinta tanah air adalah dampak iman."
Kendati ini bukan hadis sahih, tapi kritikus hadis menilai bahwa maknanya sahih. Karena itu kata orang bijak: ”Kalau ingin mengetahui ketinggian budi pekerti seseorang, maka lihatlah betapa kesetiaannya kepada tanah airnya.”
Tidak heran jika Allah menyandingkan dan menyejajarkan agama dengan tanah air dalam firman-Nya: "Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapa pun yang tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu (QS. al-Mumtahanah ayat 8).
Maka kecintaan pada tanah air dan nasionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW.,: “Apakah termasuk fanatisme (yang terlarang) bila seseorang mencintai kaumnya?”
Nabi saw. Menjawab: “Tidak! Fanatisme yang terlarang adalah seseorang yang membantu kaumnya/bangsanya atas kezaliman (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan ath-Thabarany).
Imam az-Zuhri, salah seorang pionir dalam penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., ditanyai tentang fanatisme yang terlarang. Beliau menjawab: "Ia adalah yang memandang orang-orang (lain) buruk dan kelompoknya lebih baik ketimbang orang-orang baik dan kelompok lain."
Jadi kalau kecintaan kepada tanah air mengakibatkan tercabutnya hak-hak lain atau cederanya keadilan, maka Islam tidak merestuinya. Right or wrong is my country; if right to be kept and if wrong to be set right. Ini serupa dengan hadis Nabi SAW.:
“Belalah saudaramu, baik ia menganiaya maupun teraniaya. Salah seorang hadirin bertanya: ”Hai rasul, wajar jika saya membela yang teraniaya, tapi bagaimana yang menganiaya? Rasul SAW. menjawab: Menghalanginya melakukan penganiayaan (HR. Bukhari, dll).
Sekali lagi, cinta tanah air dan hubungan kekeluargan, kesukuan, dan kebangsaan tidak bertentangan dengan agama apa pun. Karena itu, bisa saja sejumlah besar orang yang berbeda-beda agama kesemuanya sama dalam mencintai satu tanah air yang sama. Karena itu, misalnya, Nabi Hud AS., dinamai oleh al-Qur’an sebagai “saudara” kaum ‘Ad. Nabi Shaheh dinamai saudara kaum Tsamud. Nabi Syu’aib dinamai saudara Madyan. Kendati kaum para nabi itu menolak ajaran agama yang diajarkan oleh nabi-nabi tersebut.
Demikian. Wa Allah A’alam.
======
*) Naskah diambil dari buku "Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS