tirto.id - Pemanggilan puluhan warga yang tengah bertahan dari penggusuran di Pancoran Buntu Jakarta Selatan oleh polisi berujung pada penangkapan dua pendamping hukum. Apa yang dilakukan polisi dianggap menyalahi aturan.
Sebanyak 31 surat panggilan beredar di antara warga, berasal dari Unit II Harta Benda dan Bangunan Tanah Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Surat-surat tersebut tak diserahkan langsung ke terlapor tapi diberikan ke tetangga.
Warga hendak diperiksa sebagai saksi dugaan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak dan/atau penggelapan atas benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 KUHP dan/atau Pasal 385 KUHP.
Pelapor perkara adalah Hario Ardiyansyah Budiyanto, diduga perwakilan dari PT Pertamina Training and Consulting (PTC), anak usaha perusahaan pelat merah PT Pertamina (Persero) dan pihak yang bersengketa dengan penduduk setempat terkait status kepemilikan lahan.
Setelah dicek, sembilan surat dianggap menyalahi KUHAP karena baru diterima satu hari sebelum pemanggilan. Mereka mendapatkan surat pada 23 Maret untuk pemanggilan pada 24 Maret. Ada pula surat panggilan lain yang meminta warga untuk memberikan keterangan pada 30 Maret.
Karena menurut Pasal 227 ayat (1) KUHAP semua jenis pemanggilan harus disampaikan selambatnya tiga hari, maka Safaraldy Widodo dan Dzuhrian Ananda Putra, dua pendamping hukum warga, memutuskan mendatangi Mapolres Metro Jakarta Selatan untuk menyerahkan surat penolakan pemeriksaan. Mereka sampai kantor pada 24 Maret kemarin pukul 4 sore.
Setelah hampir empat jam, warga, kelompok solidaritas, dan pendamping yang lain mulai merasa ada yang aneh karena karena Safaraldy dan Dzuhrian tak juga kembali. Ketika dihubungi nihil respons; nomor dialihkan. Sebelum hilang kontak, keduanya sempat mengirimkan lokasi terakhir via aplikasi.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Charlie Albajili memutuskan menjemput ke mapolres pukul 8 malam. Sesampainya di lokasi, keduanya memang ada di sana tapi tidak bisa langsung ditemui.
Sejam kemudian, Charlie melihat keduanya sedang dimintai keterangan oleh polisi. Ia lantas mengurus surat izin sebagai pendamping tapi gagal juga. Tiga kali dia berupaya masuk, tiga kali berargumen hukum dengan polisi, tiga kali pula ditolak.
“Kami tak bisa mendampingi,” terang Charlie kepada reporter Tirto, Kamis (25/3/2021).
Pukul 23, tim kuasa hukum akhirnya bertemu dengan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Jimmy Christian Samma. Di sana dia berjanji melepaskan Safaraldy dan Dzuhrian dan keduanya memang dilepas setelah diperiksa selama delapan jam.
“[Alasan pemeriksaan] hanya klarifikasi saja. Setelah mereka keluar, statusnya sebagai saksi. Mereka dibuatkan berita acara pemeriksaan,” katanya.
Safaraldy dan Dzuhrian diperiksa atas Pasal 167 KUHP dan Pasal 385 KUHP atas pidana memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak dan/atau penggelapan atas benda tidak bergerak.
Menurut Charlie, yang menimpa keduanya adalah penangkapan secara tidak sah. “Ini pengekangan kebebasan. Mereka tak bisa keluar dari situ, apa dasarnya [pemeriksaan]? Itu sebenarnya upaya paksa penangkapan,” kata Charlie. “Menyerahkan surat itu bukan tindak pidana,” tambahnya.
Ditarik lebih jauh, kasus-kasus penghalangan bantuan hukum telah terjadi berkali-kali. Ia memberi contoh ketika terjadi penangkapan massal dalam aksi ReformasiDikorupsi atau aksi tolak omnibus law Cipta Kerja.
“Pola-pola penghalangan akses bantuan hukum terus dilakukan,” kata Charlie.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Jimmy Christian Samma tidak mengakui adanya penahanan. “Tidak ada yang ditahan dari kemarin sampai dengan hari ini di Polres Jaksel,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis.
Tak hanya LBH Jakarta, kritik juga disampaikan para aktivis hukum dan HAM lain. Jordjie Muhammad dari Kontras, misalnya, berpendapat peristiwa ini adalah penghinaan terhadap pembela HAM dan pemberi bantuan hukum, serta menyalahi ketentuan hukum.
“Penangkapan harus dilakukan sesuai dengan Pasal 17 KUHAP, yaitu seorang diduga keras melakukan tindak pidana dan adanya dugaan kuat yang mengarah pada bukti permulaan yang cukup,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis. “Yang dilakukan mereka merupakan bagian dari advokasi,” tambahnya.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu menegaskan bahwa Safaraldy dan Dzuhrian “dilindungi UU Bantuan Hukum dan UU Advokat,” kepada reporter Tirto, Kamis.
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tantang Advokat menyatakan dengan jelas bahwa “advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”
“Pendamping hukum tak bisa diperiksa. Polisi kalau mau periksa orang harus ada dasarnya, apa dasarnya?” kata Erasmus.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino