tirto.id - Dalam kasus penggusuran Pancoran Buntu 2, Jakarta Selatan, dua pihak yang berhadapan adalah warga dan PT Pertamina Training and Consulting (PTC), anak usaha perusahaan pelat merah PT Pertamina (Persero). Tapi di luar dua itu ada lagi yang terlibat, yaitu Pemuda Pancasila (PP), ormas yang didirikan pada 1959.
Sekretaris PAC PP Pasar Minggu, Musta’in, mengatakan kepada reporter Tirto, Kamis (18/3/2021), mereka menjadi mitra Pertamina untuk menjaga lahan dan membantu memberikan biaya kerahiman kepada warga.
Tapi bukan itu saja keterlibatan PP. Pada 17 Maret lalu, mereka juga terlibat dalam aksi lempar batu.
Pada hari itu, sejak pukul 3 sore, PP memblokade akses Pancoran Buntu 2. Keadaan mula tak kondusif pukul setengah 10 malam. “PP mulai standby, kawan-kawan. Tunggu komando dari atas,” kata seorang perekam video. Ia melihat PP berada di garis depan, sementara barisan polisi berada di belakang ormas yang identik dengan pakaian loreng cokelat-oranye itu.
Warga setempat berteriak meminta PP bubar dari sana, tapi tak manjur. PP disebut mulai memprovokasi dan terjadilah lemparan baru.
Dalam peristiwa itu 28 warga terluka, menurut keterangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Mereka terdiri dari warga yang memang tinggal di wilayah tersebut dan individu yang bersolidaritas. Ada yang kepalanya bocor, patah tulang, terkilir, dan sesak nafas karena gas air mata yang menyengat.
Sementara versi Sekretaris PAC PP Pasar Minggu, Musta’in, dia bilang semua bermula karena warga menghalangi ekskavator yang mereka gunakan untuk merobohkan bangunan warga yang telah diberikan biaya kerahiman. Bangunan tersebut termasuk PAUD yang lantas digunakan oleh PP sebagai posko. Dia mengklaim wargalah yang terus melempari batu agar mereka pergi.
Mereka marah terutama karena yang dirusak termasuk posko, yang sebelumnya adalah PAUD. “Posko merupakan marwah kami, masak dirusak?” katanya.
Dalam peristwa itu menurutnya 10 anggota PP juga luka-luka. Satu orang di antaranya dilarikan ke RSUD Mampang, Jakarta Selatan.
Mereka tak ditahan polisi seperti warga, namun hanya dimintai keterangan, kata Musta'in.
Sementara menurut pengacara publik dari LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, ada pula warga yang dipanggil tapi bedanya dikenakan Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat. Menurutnya itu jelas kriminalisasi. “[Anggota] ormas tak ditangkap satu pun,” ucap Nelson, Minggu (21/3/2021).
Ia juga mengatakan peristiwa 17 Maret lalu itu “bukan bentrok.” “Warga terdesak, terancam digusur, masak bikin rusuh? Penggunaan kekerasan akan berdampak kepada kehilangan simpati masyarakat. Itu namanya bunuh diri,” tambah Nelson.
Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar juga mengkritisi sikap polisi dalam kasus ini. “Kekerasan ormas dan pembiaran dari polisi selalu jadi praktik ‘wajar’ dalam menanggapi ekspresi warga,” tutur Rivanlee kepada reporter Tirto, Senin (22/3/2021). “Sikap diam polisi atas hal tersebut (kekerasan ormas) makin melegitimasi tindakan kekerasan. Secara umum, ada praktik penyalahgunaan kekuasaan.”
Baik Nelson dan Rivanlee sama-sama berharap polisi mengusut kasus kekerasan oleh ormas. Jika tidak, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Polri akan dianggap berat sebelah. “Seharusnya kepolisian bersikap independen dalam menangani masalah hukum dan keamanan yang melibatkan benturan dua kepentingan, yaitu antara masyarakat dan pemerintah atau swasta,” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin.
Terkait itu reporter Tirto telah menghubungi Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono untuk dimintai tanggapan, namun hingga naskah ini tayang tidak ada respons.
Sementara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga pengawas Polri berharap ada evaluasi terhadap tindakan pengamanan anggota di lapangan; apakah sudah sesuai standar atau tidak. “Perlu dicek korban yang jatuh akibat tindakan siapa? Sehingga penegakan hukumnya harus sesuai dengan kesalahannya,” kata Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti kepada reporter Tirto, Senin.
Manager Legal PT PTC Achmad Suyudi mengatakan perkara ini bukanlah penggusuran, tetapi pemulihan lahan. Aset-aset yang 'dipulihkan' ini, dalam siaran pers Pertamina, hendak digunakan untuk “kepentingan negara.”
PT Pertamina, katanya, adalah pemilik satu-satunya objek tanah tersebut sesuai putusan Peninjauan Kembali. “Jadi mekanisme ganti rugi tidak tepat kecuali mereka sebelum memiliki atas objek gugatan dilakukan pembebasan oleh negara. Namun sesuai fakta, mereka juga tidak dapat membuktikan kepemilikannya,” kata Suyudi kepada reporter Tirto, Senin.
“Kami berikan penyadaran mereka tinggal di atas tanah negara [dan] melawan hukum. Para penghuni telah menyadari dan bersedia pindah sukarela keluar dari lokasi dimaksud. Ala kadarnya, kami bantu ongkos 75 persen,” katanya.
Tapi pengacara LBH Jakarta Nelson Nicodemus mengatakan penggusuran menyalahi aturan karena dilakukan saat status tanah masih disengketakan di pengadilan. Ahli waris Sanjoto Mangkusasmito, orang yang mengizinkan warga menempati lahan pada 1980an, melakukan gugatan perdata ke PN Jaksel dengan nomor perkara 1013/Pdt. G/2020/PN JKT.Sel terhadap PT Pertamina dan PT PTC. Berdasarkan laman resmi di sipp.pn-jakartaselatan.go.id, perkara tersebut memang masih diproses.
“Tindakan ini berarti melanggar hukum, apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan, intimidasi, ancaman, itu bisa melanggar hukum pidana,” katanya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino