tirto.id - Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menyatakan penggusuran warga dengan menggunakan kekerasan adalah ‘lagu lama.’
LBH merespons kasus warga Pancoran Buntu Gang II, Jakarta Selatan yang digusur paksa dan mendapatkan intimidasi dari aparat kepolisian dan ormas.
“Ini adalah lagu lama. Berdasarkan keterangan warga, ada aktor pelaku kekerasan yaitu Pemuda Pancasila; kepolisian polsek maupun polres yang menembak gas air mata secara langsung kepada warga, juga pembiaran terhadap kekerasan, dan juga ada Brimob. Brimob memakai baju seperti Operasi Tinombala, (mengenakan) helm tempur, rompi anti peluru, senapan,” ujar dia dalam diskusi daring, Minggu (21/3/2021).
Upaya dengan kekerasan itu berulang sejak dahulu, apalagi pihak penggusur memiliki akses keuangan yang besar. Dalam perkara ini, penggusur adalah PT Pertamina Training and Consulting (PTC), anak usaha perusahaan pelat merah PT Pertamina (Persero).
Selain pembiaran atas penyerangan ormas terhadap penduduk, beberapa warga Pancoran Buntu ditangkap lalu dibawa ke markas kepolisian untuk diperiksa. Warga yang dipanggil dikenakan Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat, dan menurut Nelson itu adalah bentuk kriminalisasi oleh Polri.
“Tapi (pihak) ormas tak ditangkap satupun. Ini bukan bentrok. Hal ini juga tidak masuk akal karena warga terdesak, terancam digusur, masa warga bikin rusuh? Penggunaan kekerasan akan berdampak kepada kehilangan simpati masyarakat. Itu namanya bunuh diri,” lanjut Nelson.
Menurut Nelson, warga Pancoran Buntu Gang II membayar biaya sewa secara rutin dan tidak menguasai lahan tanpa sebab. Artinya, dalam kacamata hukum, penyewa yang beritikad baik harus dilindungi secara hukum. Tak hanya itu, penggusuran menyalahi aturan karena dilakukan saat status tanah masih disengketakan di pengadilan.
Penyerangan dari ormas terjadi pada 17 Maret, penyerangan dimulai ketika Pemuda Pancasila memblokade akses masuk utama dan pintu belakang pada pukul 15.00. Satu jam kemudian, warga menuntut agar lahan sekolah PAUD yang telah dirampas dikembalikan sehingga anak-anak dapat kembali bersekolah dan menuntut agar preman yang menjaga akses masuk segera angkat kaki. Sekitar 28 warga menjadi korban dnegan luka robek, kepala bocor, patah tulang, terkilir, dan sesak napas karena gas air mata.
Hingga kini sebagian warga masih bertahan di rumahnya dan enggan pergi karena penggusuran tak sesuai prosedur. Kami ingin penggusuran itu sesuai prosedur, kami bukan bertahan ingin miliki tanah, tapi penggusuran jangan seperti itu. "(Semestinya) diberitahukan kepada warga, kenapa harus diam-diam? Itu yang kami sesalkan,” kata Santi, seorang warga setempat.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri