tirto.id - Dengan ramainya kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja, pembahasan tentang hukuman dan proses pengadilan pidana pada anak dan remaja juga turut ramai menjadi pembahasan.
Dilansir dari laman PN Pariaman, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, proses penyelesaian perkara anak dapat dilakukan di luar mekanisme pidana atau bisa juga disebut sebagai Diversi.
Menurut jurnal "Kebijakan Penerapan Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak melalui Pendekatan Restorative Justice", kategori kejahatan yang dilakukan oleh anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kejahatan tingkat ringan, antara lain pencurian ringan, penyerangan ringan tanpa menimbulkan luka, atau kerusakan ringan pada harta benda;
2. Kejahatan tingkat sedang, yaitu kombinasi antara semua kondisi yang menjadi pertimbangan ketepatan untuk menyelesaikannya melalui diversi atau tidak;
3. Kejahatan tingkat berat, seperti kasus penyerangan seksual dan penyerangan fisik yang menimbulkan luka parah.
Apa itu Diversi dalam Proses Pengadilan Pidana Anak?
Menurut UU SPPA, diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Tujuan-tujuan dilakukannya diversi antara lain adalah sebagai berikut:
- Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
- Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
- Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Pendekatan restoratif memerlukan suatu musyawarah yang melibatkan semua pihak seperti anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial (PEKOS) Profesional, perwakilan dan pihak terlibat lainnya agar tercapainya kesepakatan diversi.
Musyawarah Diversi sendiri merupakan penyelesaian tindak pidana anak melalui konsep dialog antara semua pihak yang menghasilkan suatu pertimbangan penting dalam menyelesaikan perkara pidana dalam mengedepankan keadilan restoratif.
Dalam musyawarah diversi diperlukan fasilitator yaitu para hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
Menurut PERMA Nomor 04 Tahun 2013, diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. PERMA ini mewajibkan hakim sebagai fasilitator untuk memberikan kesempatan kepada:
- Anak untuk didengar keterangannya perihal dakwaan;
- Orang tua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dna bentuk penyelesaian yang diharapkan;
- Korban/anak korban/orang tua/wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Contoh Kasus Diversi dalam Penyelesaian Pengadilan Pidana Anak
Salah satu contoh kasus pidana anak yang diselesaikan dengan cara diversi adalah kasus dari Ahmad Bagus Setiawan (15 tahun) dan Erik Pratama (15 tahun).
Dilansir dari laman Tribatanews Polri Jateng, kedua remaja tersebut adalah pelaku utama percobaan pencurian di rumah Bagus Aria Teja Loh Bahagia (35 tahun) pada 15 Januari 2018 lalu.
Pihak keluarga korban telah mengikhlaskan perbuatan kedua pelaku dan menyambut baik upaya diversi yang ditempuh oleh Unit PPA Sat Reskrim Polres Jepara.
Proses diversi ini dilakukan dengan pendekatan musyawarah dengan melibatkan anak (terlapor) dan orang tua/walinya, korban, pembimbing kemasyarakatan, dan Dinas Kabupaten Jepara yang berkompeten membidangi kasus anak.
Setelah proses diversi selesai dan berhasil, pihak terlapor dan keluarga menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada korban.
Mereka juga mengungkapkan terima kasih kepada pihak yang berpartisipasi dalam upaya pemberian diversi khusunya dari Unit PPA Sat Reskrim Polres Jepara.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Dhita Koesno