tirto.id - Keinginan kalangan transgender Amerika Serikat untuk jadi prajurit terpaksa tertunda ketika Trump menyatakan transgender dilarang masuk dinas militer AS.
Menurut Trump dalam rangkaian kicauannya di twitter, militer AS harus berorientasi menang. Ini menyiratkan bahwa perang tidak bisa dimenangkan oleh personel transgender. Alasan lain yang dikemukakan Trump adalah biaya kesehatan yang menurutnya akan membengkak jika para transgender jadi tentara.
Pernyataan itu berbuntut panjang. Pihak Pentagon menunjukkan sikap bertentangan dengan Trump. Jim Mattis selaku Menteri Pertahanan mengatakan bahwa Pentagon punya pandangan sendiri terkait transgender di tubuh militer. Singkatnya, larangan Trump ini tak dapat segera dieksekusi menjadi aturan baku.
Dalih biaya kesehatan yang membengkak juga dipertanyakan. Menurut data RAND Corporation, biaya medis anggota transgender meningkat 2,4 juta ke 8,4 juta Dolar AS per tahunnya. Namun, angka tersebut hanya memakan 0,04 sampai 0,13 persen saja dari total jumlah pengeluaran Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Jumlah tersebut bahkan jauh lebih kecil dibanding pengeluaran Pentagon untuk Viagra yang tembus 41 dolar AS pada 2014.
Aturan Trump soal pelarangan transgender masuk militer ini berkebalikan dengan keputusan presiden pendahulunya. Pada 30 Juni 2016, Barack Obama telah menetapkan aturan bahwa transgender dapat secara terbuka mengabdi untuk militer AS mulai 1 Oktober 2016. Tapi belum sampai tanggal tersebut dicapai, Trump malah melucuti aturan tersebut.
Setelah pro dan kontra bergulir, akhirnya pihak Pentagon secara resmi menerima satu prajurit transgender untuk bergabung dengan militer AS pada 23 Februari 2018 lalu. Tanpa persetujuan Trump, tentunya.
"[Pentagon] mengkonfirmasikan bahwa pada tanggal 23 Februari 2018 ada satu orang transgender yang meneken kontrak untuk bertugas di Militer AS," kata Mayor David Eastburn selaku juru bicara Pentagon seperti yang dilaporkan Reuters. Dikabarkan juga bahwa calon prajurit tersebut belum memulai pelatihan dasar.
Melawan Keputusan Trump
Semasa kampanye pilpres 2016, Trump menyebut dirinya sekutu LGBT. Namun memang untuk urusan transgender masuk militer, Trump sudah menunjukkan gelagat tak setuju.
Dilansir dari Independent, sejak resmi duduk di Gedung Putih pada awal 2017, Trump sudah menandatangani perintah untuk mengembalikan aturan yang melarang transgender untuk bertugas di dinas militer.
Jaksa Agung Jeff Sessions yang duduk di Departemen Kehakiman adalah salah satu orang yang bertanggung jawab membatalkan kebijakan warisan Obama yang memperluas hak-hak kaum LGBT. Menurut Sessions—seorang Republikan dan konservatif garis keras—Departemen Kehakiman era Obama keliru menafsirkan Undang-Undang Hak Sipil sehingga dipakai untuk melindungi pekerja transgender. Definisi jenis kelamin, demikian implikasi pernyataan Sessions, hanya mencakup laki-laki dan perempuan. Otomatis transgender tidak termasuk.
Gedung Putih tak bisa segera mengeksekusi aturan baru ini, terlebih lagi bahwa perintah Obama untuk membuka pendaftaran bagi para transgender yang berminat masuk militer AS saja belum dieksekusi per 1 Oktober 2017 karena masih mempersiapkan segala administrasi. Dilansir dari The New York Times, dari delapan petugas Departemen Pertahanan yang ditanya, semuanya tidak ada yang bisa mengatakan dengan jelas.
Merespon kicauan Trump, kantor berita Reuters sempat menyelenggarakan jajak pendapat kepada para warga AS. Hasilnya, 58 persen orang dewasa Amerika setuju bahwa “orang-orang transgender harus diizinkan bertugas di militer”. 27 persen memilih “tidak” dan sisanya menjawab “tidak tahu”.
Yang menarik, dalam survei yang diadakan mulai tanggal 26 sampai 28 Juli 2017 itu, mayoritas simpatisan Partai Demokrat mendukung wacana transgender berdinas di kesatuan militer. Sementara suara para simpatisan Republikan terbelah.
Sebanyak 49 persen responden Republikan menunjukkan menyatakan tak setuju jika para transgender diizinkan masuk militer; 32 persen saja sepakat, sementara 19 persen lainnya memilih “tidak tahu”.
Kelompok advokasi hak-hak sipil dan transgender mengkritik keras kebijakan Trump. Sementara para pejabat Pentagon tak kalah cemasnya, karena jika suara yang menentang kebijakan Trump semakin keras dan mengajukan tuntutan hukum, Pentagon bisa ikut terseret.
Sebelum keputusan Trump dibatalkan, sejumlah hakim federal melakukan beberapa langkah penting. Di Baltimore, Washington, Seattle dan Riverside, California, hakim-hakim ini mengeluarkan keputusan bahwa larangan transgender bertugas di militer telah melanggar konstitusi AS.
Perlawanan sejumlah orang ini membuahkan hasil. Awal Desember 2017, hakim federal menyatakan bahwa keputusan Obama tetap berlaku sembari menunggu peninjauan hukum lebih lanjut.
Secara resmi, kaum transgender diizinkan untuk mendaftar jadi calon prajurit per 1 Januari 2018.
Namun, jauh sebelum keputusan Obama, tak sedikit transgender di dalam militer AS. Laporan Williams Institute pada 2014 menyebut ada sekitar 15.500 anggota militer transgender yang terus mengalami diskriminasi karena tak ada perlindungan hukum yang jelas. Kendati pun seorang transgender (atau LGBT pada umumnya) masuk dinas militer, mereka akan mendapat perlakuan diskriminatif.
Di bawah pemerintahan Clinton pada 1993, Departemen Pertahanan AS telah memberlakukan aturan longgar yang melarang diskriminasi terhadap LGBT di militer. Aturan tersebut secara populer dikenal sebagai "Don't ask, don't tell" (DADT). Di sisi lain, aturan yang sama juga melarang keras prajurit LGBT untuk berbicara secara terbuka tentang orientasi seksual mereka. Selama pemberlakukan DADT, ada sekitar 14.000 anggota militer yang dipecat karena mengungkapkan orientasi seksual mereka, demikian laporam Williams Institute.
Di saat Trump ingin mengembalikan aturan dan norma lama, angkatan bersenjata di sejumlah negara lain sudah membuka diri untuk LGBT.
Dilansir dari CNN, selain AS, sekitar 19 negara kini telah mengizinkan transgender berdinas di militer. Belanda menjadi negara tertua yang memiliki kebijakan tersebut sejak 1974, disusul Swedia (1976), Denmark (1978), Norwegia (1979), Australia dan Canada (1992), Israel (1993), Republik Ceko (1999), Prancis, Inggris, Jerman, Estonia, Finlandia (2000), Belgia (2003), Austria (2004), Spanyol (2005), Thailand (2005), dan yang terbaru Bolivia (2010).
Namun khusus untuk Thailand, transgender hanya boleh berdinas untuk urusan administrasi. Bukan dalam kerja-kerja di lapangan dan peperangan.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf