tirto.id - Ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai caleg terpilih yang bakal duduk di kursi parlemen, ternyata tidak menjamin Tia Rahmania melenggang ke Senayan. Caleg dari PDIP itu gagal menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029 karena dipecat partai politiknya sendiri. Tia digantikan rekan separtainya yang juga menjadi caleg dari dapil Banten I, Bonnie Triyana.
Polemik pemecatan Tia ramai dibincangkan di media sosial, bahkan menjadi trending di X (Twitter). Banyak warganet yang berasumsi pemecatan Tia berkaitan dengan kritiknya secara terbuka terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron. Sebelumnya, tersebar potongan video yang menampilkan Tia sedang mengkritik keras Ghufron dalam forum terbuka.
Belakangan, diketahui peristiwa itu terjadi saat pembekalan kepada calon anggota DPR dan DPD terpilih 2024-2029. Acara ini digelar KPU dan Lembaga Ketahanan Nasional. Di video itu juga terdapat suara yang meminta Tia berhenti berbicara. Tak lama, Tia keluar dari acara tersebut setelah mengkritik Ghufron yang menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut.
“Daripada Bapak bicara yang teori seperti ini, kita semua tahu Pak, negara ini berada dalam kondisi tidak baik-baik saja. Mending Bapak bicara kasus Bapak,” ucap Tia kepada Ghufron di acara tersebut.
Tak ayal warganet menduga Tia dipecat sebab kritik pedasnya untuk Ghufron. Tidak sedikit warganet menyayangkan sikap PDIP yang memecat Tia. PDIP dituding arogan karena main pecat kadernya yang lantang bersuara. Terlebih, Tia sendiri sudah sempat ditetapkan KPU sebagai sebagai anggota DPR periode 2024-2029.
Kendati demikian, PDIP menegaskan pemecatan dan pergantian kursi DPR yang diraih Tia, didasari sengketa internal partai. Pada Mei 2024 lalu, Tia dan Bonnie berselisih di Bawaslu Banten. Bonnie menduga terjadi penggelembungan suara oleh delapan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Lebak dan Pandeglang.
Bawaslu Banten akhirnya memutuskan anggota PPK yang dituding, terbukti melanggar tata cara, prosedur, dan mekanisme pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat kecamatan hingga di kabupaten/kota. Dengan adanya putusan ini, Bonnie melaporkan kasusnya ke Mahkamah Partai PDIP karena merasa ada pergeseran suara.
Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat, membenarkan bahwa Tia diduga tersandung sengketa suara internal partai di Dapil. Masalah sengketa di internal pun sudah diselesaikan di tubuh partai berlogo moncong putih tersebut.
"Kalau ada perselisihan hasil suara di antara kader internal partai, itu, kan, diselesaikan di partai. Nah itu ada gugatan, ada laporan tentang perselisihan perolehan suara,” kata Djarot saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (26/9/2024).
Tak hanya Tia, PDIP juga mengganti dan memecat caleg terpilih dari Dapil Jawa Tengah V, Rahmad Handoyo. Pergantian Tia dan Rahmad tertuang dalam surat keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum Nomor 1368 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan KPU Nomor 1206 Tahun 2024 tentang Penetapan Calon Terpilih Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Rahmad Handoyo digantikan kolega separtainya, Didik Haryadi, yang meraih 74.750 suara. Rahmad digantikan dengan alasan tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR karena sudah dipecat PDIP. Padahal, Rahmad peraih suara terbanyak ketiga di dapilnya.
Djarot menjelaskan, Mahkamah Kehormatan PDIP sudah memeriksa Tia, Rahmad, dan para pelapor. Hasilnya, kata dia, Tia dan Rahmad terbukti melakukan pengalihan suara di Dapil masing-masing.
“Misalnya, mengalihkan suara si A atau si B, itu terbukti dengan formulir C1 itu, maka itu harus dikeluari, ya kan? Kemudian dijumlah, dilihat, dan itu detail, semuanya terekam,” kata Djarot.
Dalam keterangan terpisah, Kuasa hukum Tia Rahmania, Jupryanto Purba, mengakui kliennya pernah dilaporkan Bonnie Triyana ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran administasi Pemilu. Menurut dia, hasil persidangan menyatakan bahwa Tia tidak terbukti melakukan pelanggaran administrasi pemilu. Hal tersebut tertuang dalam putusan nomor: 002/LP/ADM.PL/BWSL.PROV/11.00/IV/2024.
Selain itu, putusan laporan tindak pidana pemilu dengan nomor: 005/REG/LP/PL/11.00/IV/2024 tidak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur tindak pidana pemilu dan tercantum pada formulir model B.18 Bawaslu Provinsi Banten.
Jupryanto menduga pergantian Tia di DPR didasari keputusan tidak sesuai fakta. Tia, lanjut dia, dituduh melakukan penggelembungan suara dengan mengambil suara dari calon lainnya.
"Faktanya bukan Ibu Tia yang melakukan itu, kan sudah ada keputusan Bawaslu daerah bahwa ada pelanggaran administratif yang dilakukan penyelenggara, bukan Bu Tia," ujar dia melalui keterangan pers tertulis, Kamis.
Lebih lanjut, Jupryanto mengatakan, kliennya baru mengetahui perubahan nama di KPU pada Senin 23 September 2024 malam, di hari yang sama ketika Tia mengkritik keras Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Sedangkan surat pemecatan fisik baru diantarkan ke rumahnya pada Kamis (26/9/2024). Atas hal tersebut, kuasa hukum akan menempuh langkah hukum.
Sementara itu, Bonnie Triyana menegaskan bahwa proses pemecatan Tia sudah sesuai mekanisme dari sidang mahkamah etik PDIP. Ia menyebut bahwa pemecatan Tia dilakukan PDIP karena menindaklanjuti putusan Bawaslu Banten di mana Tia terbukti melakukan penggelembungan suara.
Bonnie menyayangkan adanya anggapan bahwa pemecatan Tia terkait dengan kritiknya kepada Nurul Ghufron. Menurutnya, hanya kebetulan saja proses pergantian dirinya sebagai caleg terpilih bertepatan dengan viralnya video tersebut.
“Ini kan kasusnya sudah lama sekali saya laporkan ke Bawaslu. Sudah ada putusan ya diproses dong di etik partai, adapun pemecatan yang bersangkutan sebetulnya sudah dari 3 September dari partai, tapi kan ada proses di KPU pergantian nah itu barengan video viralnya,” jelas Bonnie kepada reporter Tirto, Kamis.
Di sisi lain, Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Talapessy, mengatakan pihaknya siap menghadapi upaya hukum Tia Rahmania. "Silakan saja, tentunya nanti kita akan lihat ke depannya dan kita akan hadapi,” tegas dia, Kamis.
Tragedi Demokrasi
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang sikap parpol memecat kader yang telah dinyatakan lolos sebagai caleg terpilih sebagai tragedi demokrasi. Fenomena ini seolah-olah mau mengatakan bahwa Pemilu bagi Parpol hanya formalitas belaka.
“Pemilu bagi parpol hanya basa-basi saja,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis.
Ia menambahkan, meskipun kualitas pemilu masih banyak catatan, harus ditegaskan bahwa yang menentukan legitimasi caleg adalah perolehan suara yang diraihnya. Semakin tinggi suara yang diraih caleg saat pemilu langsung, semakin tinggi pula legitimasi kursi yang akan didudukinya.
Karena suara yang diraih kandidat diperoleh langsung dari pemilih atau konstituen, maka legitimasi kursi yang diraih seorang caleg terpilih harusnya sangat kuat. Raihan suara itu mesti dibaca sebagai ekspresi kepercayaan pemilih terhadap seorang caleg, terlepas dari parpol yang mengusungnya.
“Oleh karena itu, sebuah tragedi ketika caleg yang telah mendapatkan kepercayaan pemilih melalui pemilu langsung, justru disabotase oleh parpol,” terang Lucius.
Menurutnya, pemecatan kader parpol atau caleg terpilih biasanya disebabkan karena punya sikap berbeda dengan elite partai dalam beberapa hal. Lucius turut memandang fenomena ini sebagai tanda semakin tidak demokratisnya institusi parpol di Indonesia.
Sebagai pilar utama demokrasi, parpol gagal menunjukkan ke publik bahwa mereka menjadi rumah berseminya alam demokrasi negeri ini. Parpol yang menjalankan praktik pemecatan caleg terpilih, bisa dikatakan cuma memaknai partai semata alat atau kendaraan politik.
“Bukan rumah bagi bersemayamnya ideologi tertentu,” sambung Lucius.
Pemecatan kader atau caleg terpilih tersebab berseberangan sikap dengan pimpinan parpol diduga terjadi di tubuh PKB. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, memecat empat kader PKB yang telah jadi caleg terpilih periode 2024-2029. Mereka digantikan oleh kader lain di dapil masing-masing lewat Keputusan KPU Nomor 1349 Tahun 2024.
Empat kader yang dipecat dan digantikan sebagai caleg terpilih adalah H Mafiron dari Dapil Riau II, Irsyad Yusuf dari Dapil Jatim II, Ghufron Sirodj dari Dapil Jatim IV, dan Ali Ahmad dari Dapil Jatim V. Sebetulnya ada satu caleg terpilih lagi dari PKB yang digantikan, yakni Fathan dari Dapil Jateng II, namun dia digantikan karena mengundurkan diri dari parpol.
Pemecatan dan pergantian lima caleg terpilih dari dari PKB diduga berkaitan dengan konflik Cak Imin dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Terkait dengan keputusan ini, Ghufron Sirodj dan Irsyad Yusuf menggugat Cak Imin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2024) lalu.
Ketua PBNU, Abdullah Latopada, menyayangkan pemecatan dan penggantian caleg terpilih PKB. Menurut dia, Ghufron Sirodj dan Irsyad Yusuf tidak pernah diberitahu oleh PKB ihwal pemecatan dan penggantian tersebut.
"Janganlah berlaku zalim. Mereka ini mendapatkan mandat suara dari rakyat. Besar lagi suaranya. Tiba-tiba dicoret begitu saja tanpa ada kejelasan," ucap Abdullah dikutip dari Antara.
Anggota DPR RI yang juga Politikus PKB, Faisol Riza, menegaskan proses pergantian dan pemecatan caleg terpilih sudah sesuai dengan internal partai. Faisol enggan membeberkan alasan keputusan pimpinan PKB melakukan pergantian caleg terpilih dengan alasan ‘urusan internal’.
“Kalau internal tentunya untuk internal saja dan pihak-pihak terkait. Selanjutnya kalau dirasakan perlu nanti akan disampaikan ke publik,” kata Faisol dihubungi reporter Tirto, Kamis.
Sementara itu, Komisioner KPU, Idham Holik, menerangkan bahwa pergantian caleg terpilih memang bisa dilakukan oleh parpol. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 425 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 48 Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024.
Dalam PKPU, disebut bahwa penggantian calon terpilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota dapat dilakukan apabila calon terpilih meninggal dunia; mengundurkan diri; tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, atau anggota DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, jika caleg terpilih terbukti melakukan tindak pidana pemilu atau pelanggaran larangan kampanye. Tindak pidana pemilu yang dimaksud bisa berupa politik uang atau pemalsuan dokumen yang sudah didasarkan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap.
“Tentunya ada faktor administrasi penerbitan keputusan tentang pelantikan anggota DPR dan DPD yang membutuhkan waktu beberapa hari sebelum pelantikan dilaksanakan,” kata Idham dikonfirmasi Tirto, Kamis.
Lagu Lama Main Pecat
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai bahwa pemecatan caleg terpilih merupakan modus lama yang dilakukan parpol ketika kader dianggap tidak sejalan dengan pimpinan atau elite partai. Selain itu, ini merupakan jalan pintas untuk menempatkan orang-orang pilihan partai yang tidak dipilih rakyat untuk bisa bercokol di kursi kekuasaan.
Alasannya, kata Kholil, bisa karena apa saja, mulai dari yang remeh temeh atau masalah serius. Namun pada intinya, alasan ini merupakan pembenaran yang dapat digunakan partai untuk menurunkan seseorang dari jatah kursinya.
“Mumpung belum dilantik, kalau dipecat setelah dilantik lebih rumit karena akan melibatkan proses peradilan yang cukup panjang dan melelahkan,” kata Kholil kepada reporter Tirto, Kamis.
Sikap partai yang dengan mudahnya memecat caleg terpilih dinilai mencurangi prosedur demokrasi dan mengkhianati kehendak rakyat. Pasalnya, pilihan rakyat sewenang-wenang diganti dengan orang yang tidak dikehendaki rakyat.
Kholil mengingatkan, Indonesia menganut sistem proporsional terbuka. Artinya, walaupun parpol adalah peserta pemilu dan mereka yang menempatkan kadernya dalam daftar calon, namun caleg terpilih yang ujungnya dipilih oleh rakyat dengan suara terbanyak.
“Sederhananya, rakyat menginginkan caleg terpilih itu untuk mewakili mereka di DPR dan menitipkan aspirasi mereka untuk diwujudkan,” tegas Kholil.
Selain itu, perjuangan seorang caleg hingga terpilih juga dapat dikatakan murni dari usaha sendiri. Yakni mengeluarkan biaya politik besar dan caleg juga merumuskan janji politik yang mampu menarik dukungan. Bisa jadi, caleg justru dipilih karena janji yang ia kampanyekan.
“Sehingga jika ada caleg terpilih yang dipecat partai, artinya ada janji politik dan aspirasi warga yang teringkari karena yang bersangkutan disingkirkan partai,” ucap Kholil.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengatakan pemecatan caleg terpilih menunjukkan ketegangan antara ketaatan individu terhadap aturan kepentingan parpol. Partai politik juga punya kepentingan menjaga soliditas serta kepatuhan garis ideologi atau kebijakan internal.
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai cara partai politik untuk menegaskan kontrol dan disiplin internal. Namun, Annisa mengingatkan, pemecatan caleg yang sudah terpilih secara sah dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
Konstituen yang telah memilih caleg tersebut merasa bahwa suara mereka tidak dihargai. Sikap ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses politik dan demokrasi. Selain itu, jika caleg yang dipecat merupakan figur yang punya komitmen kuat di dapilnya, langkah ini akan merugikan rakyat yang butuh representasi dalam isu-isu penting di parlemen.
“Terutama pemecatan dianggap lebih didorong oleh ambisi politik atau konflik kepentingan elite partai, daripada pertimbangan etis atau ideologis,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky