tirto.id - Agenda buka puasa bersama di salah satu panti asuhan di bilangan Cimanggis, Depok, yang diinisiasi Remaja Positif (Repost) RW 02, Kelurahan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Pusat, pada Kamis 30 Mei 2019, mestinya diwarnai suka cita. Namun, kematian salah satu panitia acara sepekan sebelum kegiatan itu, membuat acara tersebut diselimuti duka.
Adam Nooryan, 19 tahun, salah satu panitia acara buka puasa itu, meregang nyawa setelah timah panas menerjang tubuhnya pada subuh, 22 Mei 2019. Adam adalah satu dari 9 korban meninggal dalam kericuhan 21-22 Mei di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Untuk mengenang Adam, panitia acara mengubah tajuk acara menjadi “Tahlil, Buka Bersama, dan Santunan”.
Andika Wicaksana, rekan Adam di Repost, menceritakan Adam punya andil besar dalam kegiatan sosial itu. Menurut Andika, biasanya Repost menggelar kegiatan sosial dalam bentuk sahur untuk 100 penghuni panti. Namun, karena alasan keamanan, Adam mengusulkan kegiatan sahur bersama diubah menjadi buka puasa bersama.
“Dia mau mengganti jadi Buka on the Panti. Karena marak begal dan gangster, dia mengkhawatirkan keselamatan seluruh partisipan, walaupun Sahur on the Panti, kami berangkat konvoi pasti rame-rame,” kata Andika kepada saya.
“Kenapa enggak buka puasa saja pas sore? Gangster dan begal pasti belum bangun," kata Andika mengulang ucapan Adam seraya tertawa.
Bisa Fotografi, Skateboard, dan Racik Kopi
Andika mengingat dua tahun lalu Adam memintanya menjadi mentor fotografi. Ia mengajari Adam dari cara menentukan angle, lighting, hingga ISO. Saat itu Adam masih kelas 3 di Sekolah Menengah Kejuruan YP IPPI Petojo, Jakarta Barat. Adam sering meminjam kamera milik Andika guna mengerjakan tugas sekolah.
“Kalau gue bilang, anak ini memang punya rasa ingin tahu yang besar. Enggak neko-neko,” ujar Andika.
Adam juga dikenal teman-temannya senang bermain skateboard. Andika berkata Adam mulai menggeluti skateboard sejak kelas 1 SMK pada akhir 2014, jauh sebelum RPTRA dan RTH Kalijodo diresmikan Ahok pada Februari 2017.
“Pas Kalijodo udah jadi, dia sering main ke sana, suka banget, karena lebih deket ketimbang tempat lain,” kata Andika. Jarak lokasi antara rumah Adam di Tambora menuju RPTRA dan RTH Kalijodo sekitar empat kilometer.
Setelah lulus SMK, medio 2017, Adam berkenalan dengan dunia kopi. Ia belajar perlahan dan mulai serius menggeluti dunia kopi bersama salah satu pegiat di Repost, Wawan Kurniawan, anak dari Ketua RW 02. Andika bercerita Adam kerap belajar dan melatih diri di Kedai Siak Bermadah, salah satu kedai kopi di Jalan Kyai Haji M. Mansur, Tambora, yang kerap menjadi tempat ngopi pegiat Repost.
“Dia belajar dari mesin manual sampai otomatis. Cita-citanya mau jadi barista banget, ditambah lagi sekarang ada kerja penuh waktu di Pluit, Jakarta Utara. Belum ada sebulan. Itu setelah kerja paruh waktu di History Café di Kota Tua. Mau gaji pertama, malah sudah pulang—meninggal,” kata Andika seraya membuang muka saat berbicara kepada saya.
Ingin Membelikan Baju Lebaran
Nur Warsito, 42 tahun, ayah Adam, juga membenarkan hobi anaknya.
Anaknya mengaku ingin sekali menjadi barista di kedai kopi ternama. Adam bergabung ke grup-grup WhatsApp pelatihan dan informasi mengenai dunia kopi. Nur berkata bangga hobi anaknya itu bisa membawanya bekerja penuh waktu pertama di salah satu kedai kopi di Pluit, Jakarta Utara.
Adam tengah menunggu gaji pertama sebelum Lebaran. Rencananya, gaji itu bakal dibelikan baju koko buat ayah dan adiknya.
“Perasaan gajian lama amat?” kata Nur.
“Iya, Yah, Adam juga nungguin. Pengen beliin baju koko lebaran buat Ayah satu, sama adik satu. Yang seragamlah," ujar Adam saat berbicara pada Selasa malam, 21 Mei.
"Kan, lebaran kurang empat belas hari lagi. Warnanya apa yang bagus? Putih?”
“Jangan putih. Cepet kelihatan kotor. Hitam sih bagus.”
“Masak hitam, sih?” timpal Adam.
Setelah percakapan itu, Nur beranjak ke Masjid Al-Mansur untuk salat salat Tarawih. Pulang ke rumah pukul 21.00, Adam masih terlihat tidur di kamar. Saat Nur ingin beranjak tidur pukul 23.00, Adam juga masih di kamar. Nur menyadari Adam tak ada di rumah saat hendak menyantap sahur sekitar pukul 03.00.
Menjelang pukul 5 pagi Rabu, 22 Mei, Nur dan Yuliana, ibu Adam, menyaksikan anak sulungnya itu meninggal di RSUD Tarakan, Tanah Abang.
Tak Mau Adam Dicap Perusuh
Tiga hari sebelum saya menemui Nur Warsito, Kepolisian Indonesia menyebut ada 9 orang meninggal dalam aksi yang disebut polisi sebagai "kerusuhan 21-22 Mei 2019". Sebelumnya, korban kericuhan aksi di sekitar Bawaslu berjumlah 8 orang.
Kepada Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menyampaikan kematian sembilan orang itu masih dalam penyelidikan Polri. Untuk menangani kasus ini, kepolisian membentuk tim pencari fakta yang diketuai oleh Irwasum Polri. Namun, sebelum proses penyelidikan ini rampung, polisi sudah menduga lebih dulu sembilan korban tewas itu "perusuh."
"Kami harus sampaikan bahwa 9 korban meninggal dunia kami duga perusuh. Penyerang. Diduga, ya," ujar Iqbal di kantor Kementerian Polhukam, 11 Juni lalu.
Namun, Iqbal tidak menjelaskan dasar dugaan itu.
Narasi yang sama diucapkan pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto. Tuduhan para korban adalah perusuh menjadi ironi karena penyelidikan Polri memang belum sempurna. Beberapa kasus salah tangkap juga sempat terjadi dan diadukan ke organisasi hak asasi manusia KontraS.
Mendengar tuduhan polisi bahwa anaknya adalah "perusuh" membikin Nur kecewa. Ia meyakini anak pertamanya bukan perusuh pada malam itu.
“Anak saya sih enggak neko-neko, cuma dia memang pengen coba banyak hal, pengen banyak kebisaan. Aktiflah. Motor pun bisa. Fotografer juga hobi. Saya tahu dia main Instagram, tapi saya enggak tahu Instagramnya apa. Terus ya, grup barista juga ikut gabung. Dia membiasakan dirinya aktif di mana-mana,” kata Nur.
Tak Suka Bahas Politik
Hal sama diutarakan Andika Wicaksana, yang menolak tudingan polisi bahwa temannya adalah perusuh. Keseharian Adam, ujar Andika, jauh dari kegiatan bermuatan politis.
“Dia enggak pernah bahas politik. Malah temen-temen yang lainnya yang ngobrol politik karena pemilih baru semua. Siapa milih siapa. Untuk pandangan politik dia [Adam] ogah ribet, dia biasa-biasa aja. Ketimbang temen-temennya yang lain yang kebawa [pengaruh] sosial media,” kata Andika.
Andika menolak keras stigma polisi itu dan memastikan Adam bukan bagian dari perusuh. Ia berkata jika Nur bersedia menuntut kematian anaknya kepada negara, ia dan teman-temannya siap membantu karena yakin Adam tidak bersalah.
Namun, memang, Nur menganggap kasus kematian anaknya sudah menjadi "takdir" dan lebih baik "diikhlaskan."
“Kalau saya boleh berpendapat, [Adam] sama sekali bukan [perusuh]. Tapi kalau stigma itu sudah kadung membeku dan meluas, kita bisa apa?” ujar Andika.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Jay Akbar