Menuju konten utama

Tirto Gelar FGD Auto Dynamics Bedah Stagnasi Industri Otomotif

Mengundang berbagai pemangku kepentingan industri otomotif, Tirto.id menyelenggarakan FGD untuk menganalisis penyebab stagnansi penjualan mobil domestik.

Tirto Gelar FGD Auto Dynamics Bedah Stagnasi Industri Otomotif
Ilustrasi suasana Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Membedah Persaingan & Perlindungan Usaha di Industri Otomotif" di Swiss-Belresidences Rasuna, Jakarta, Rabu (4/9/2024). (FOTO/Istimewa)

tirto.id - Tirto.id menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Membedah Persaingan & Perlindungan Usaha di Industri Otomotif" yang bertempat di Swiss-Belresidences Rasuna, Jakarta, Rabu (4/9/2024).

FGD ini mengundang berbagai pemangku kepentingan industri otomotif, termasuk Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Direktorat Pengembangan Ekspor Produk Manufaktur Kementerian Perdagangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta berbagai merek otomotif seperti Isuzu Astra Motor, Hyundai Motors Indonesia, Mitsubishi Fuso, dan Eurokars Mazda Indonesia.

Kegiatan ini digelar untuk menganalisa penyebab stagnasi penjualan mobil domestik yang selama lebih dari satu dekade bertahan di angka 1 juta unit per tahun. Fenomena ini dianggap mengherankan mengingat banyaknya pemain baru yang masuk ke pasar, serta rasio kepemilikan mobil di Indonesia yang masih relatif rendah, hanya 99 unit per 1.000 penduduk. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan Malaysia (490 unit), Thailand (275 unit), dan Singapura (211 unit).

Diskusi mengangkat dua agenda besar, yakni analisa struktur pasar dan tingkat persaingan industri, dan perlindungan usaha dan mendorong persaingan sehat. Para pemangku kepentingan diajak untuk berbagi pendapat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait kondisi industri saat ini.

Hasil diskusi kelompok untuk agenda pertama menyimpulkan bahwa sejatinya industri otomotif sudah cukup kompetitif, namun regulasi pemerintah yang acapkali tidak sejalan dengan target industri menjadi salah satu hambatan utama.

Belum lagi sarana perlindungan usaha yang masih terlalu fokus ke para pemain hulu, dan kurang mempertimbangkan kepentingan di tengah dan hilir. Padahal potensi investasi pada kelompok ini juga tidak kalah besarnya.

Oleh karena itu dibutuhkan lembaga baru, setingkat Badan, yang memang khusus untuk memfasilitasi pelaku industri mendampingi Gaikindo sebagai integrator yang menghubungkan para pemangku kepentingan.

“Dibutuhkan lembaga baru (setingkat Badan) yang memang khusus mengurus industri otomotif mendampingi Gaikindo dan AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia), seperti halnya SKK Migas atau BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol). Lembaga baru ini tidak hanya diisi oleh pemerintah, tapi juga pelaku industri dan stakeholder otomotif,” ungkap Andrea, perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, pada Rabu.

Sementara itu, hasil diskusi agenda kedua menitikberatkan pada kebutuhan penegakan regulasi yang lebih tegas dan konsisten, terutama dalam menghadapi praktik persaingan tidak sehat. Selain itu Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinilai perlu diperbarui. Hal ini mengingat sudah lebih dari dua dekade tetapi belum ada inisiatif amandemen, padahal industri bergerak sangat dinamis dan peraturan tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman serta tidak lagi optimal memfasilitasi dinamika persaingan usaha saat ini.

Selain itu, ranah kepentingan Komisi Pengawas Perlindungan Usaha (KPPU) yang merupakan agen dari penegakan UU No.5/1999 masih berprinsip pada azas melindungi kepentingan umum. Padahal, aturan ini dibuat juga untuk dapat melindungi serta menjaga posisi setara antara para pelaku usaha, sehingga memiliki nilai tawar yang sama dalam melakukan perikatan dan menjalankan kegiatan usaha.

Alhasil, kasus-kasus ketidakadilan pelaku usaha, perjanjian yang berat sebelah, adanya ketentuan eksklusivitas dalam perjanjian, belum dapat sepenuhnya difasilitasi dan dilindungi oleh KPPU. Padahal, pelaku usaha hilir khususnya dalam hal ini bidang otomotif, juga memiliki andil besar dalam perekonomian nasional sehingga memiliki hak perlindungan yang sama dengan pelaku usaha hulu.

Oleh sebab itu, seyogianya kesetaraan dan keadilan bagi pelaku usaha perlu diperhatikan. Dengan kata lain, asas fair play tidak dapat dipisahkan dari hal ini. Pembentukan UU No. 5/1999 pada dasarnya mengusung prinsip persaingan yang sehat, adil, dan tidak monopolistik. Namun sayangnya, pengimplementasiannya belum optimal, padahal undang-undang ini seharusnya menjadi payung hukum yang dapat melindungi para pelaku usaha dalam persaingan bisnis yang setara. Dengan demikian, dibutuhkan kehadiran dan peran KPPU untuk menjalankan fungsi pengawasan, monitoring, dan evaluasi guna memastikan terlaksananya iklim persaingan yang sehat dan adil di Indonesia.

Para pelaku industri yang hadir dalam kegiatan ini berharap KPPU untuk lebih aktif berkomunikasi dengan tidak fokus pada kajian saja. Bahkan jika memungkinkan dewan komisioner KPPU harus memiliki komposisi perwakilan yang adil dari semua pelaku industri, tidak hanya industri tertentu saja. KPPU juga diharapkan dapat berkolaborasi lebih lanjut dengan pemangku kepentingan lain dalam menegakan UU No. 5/1999. Salah satu pihak yang diusulkan untuk dapat memulai kolaborasi bersama KPPU dalam penegakan persaingan usaha (selain pemerintah Indonesia) adalah Japan External Trade Organization.

Industri otomotif ini bukan industri jangka pendek, industri otomotif merupakan industri yang penting dan strategis yang berdampak terhadap peningkatan jumlah lapangan kerja hingga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu perlu aturan yang kuat, konsisten atau bersifat jangka panjang, holistik, berkesinambungan, namun terbuka dengan dinamika pasar.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis