tirto.id - Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belakangan banyak terjadi di berbagai industri, mengemuka modus baru perusahaan memutus kontrak buruh berkedok tes urine. Beberapa pekerja di suatu industri manufaktur sepatu di Tangerang Selatan terduga “dipaksa” resign pasca dinyatakan positif mengandung narkotika dari hasil tes urine internal.
Salah satu pekerja bernama Nurcahyono (45) bahkan sudah mengaku sama sekali tidak memakai narkoba. Pasca menjalani tes ulang di klinik swasta, RSUD, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Tangerang, hasilnya pun menunjukkan dirinya negatif narkoba.
“Saya sama sekali tidak memakai narkoba. Waktu itu surat pengunduran diri sudah ada di meja. Saya diancam harus tanda tangan saat itu juga kalau tidak ingin ‘dibawa ke polisi’,” ujarnya sembari menunjukkan hasil tes mandiri yang dinyatakan negatif saat ditemui usai menjalani tes ulang di BNN Kota Tangerang, Kamis (17/7/2025).
Nurcahyono, yang telah bekerja selama 18 tahun di perusahaan tersebut, bilang, ia bukan satu-satunya korban. Ada sekira dua rekan kerja lain yang diduga mengalami PHK dengan modus serupa.
Kuasa hukum Nurcahyono, Judistia Azis Tawakal, berpendapat kalau perusahaan telah melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan dan diduga merekayasa hasil tes.
“Tes dilakukan tanpa dokter, tanpa laboratorium tersertifikasi, dan tanpa melibatkan BNN. Itu jelas tidak sah. Lebih parah lagi, klien kami dipaksa menandatangani surat pengunduran diri agar perusahaan terhindar dari kewajiban memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan hak-hak normatif lainnya,” ujar Judistia.

Apa yang dilakukan perusahaan memang layak dipertanyakan. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar, Arif Novianto, menilai kasus ini sangat layak diduga sebagai bentuk PHK terselubung yang memanfaatkan celah tes urine sebagai alat untuk menyingkirkan pekerja dengan tanpa harus membayar pesangon PHK.
Arif, yang juga peneliti dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), Universitas Gadjah Mada (UGM) bilang, jika hasil tes positif dari perusahaan terbantahkan oleh hasil tes lanjutan di RSUD dan BNN, maka ada indikasi kuat bahwa hasil awal dimanipulasi atau tidak sahih.
“Pemaksaan tanda tangan surat pengunduran diri juga melanggar prinsip dasar hubungan industrial yang adil. Jadi ini bukan hanya jebakan, tapi bentuk pelanggaran hak pekerja secara manipulatif,” ungkap Arif kepada jurnalis Tirto, Selasa (22/7/2025).
Pelanggaran Prosedural dan Substantif
Menurut Arif, celah utama terjadinya PHK berkedok tes urine ada pada lemahnya pengawasan ketenagakerjaan dan tidak adanya mekanisme transparan serta independen dalam proses tes narkotika di tempat kerja.
Jika merujuk pada Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Hak Uji Materiil UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD Tahun 1945, PHK karena alasan narkotika hanya bisa dilakukan jika ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam SE itu sudah diterangkan, kalau pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal yang dimaksud mengatur soal kewenangan pengusaha memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, salah satunya mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.
“Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat 1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” bunyi poin 3 SE tersebut.
Sementara itu, pasal 151 ayat (1) UU 13/2003 juga telah menegaskan bahwa PHK harus diupayakan untuk dihindari, dan harus melalui proses bipartit, tripartit, bahkan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI), jika tidak ada kesepakatan. Dengan kata lain, kata Arif, apabila tidak ada proses itu dan pekerja dipaksa tanda tangan resign, artinya jelas merupakan “pelanggaran prosedural dan substantif”.
Mirah Sumirat selaku Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) juga mengatakan kalau perusahaan dilarang melakukan PHK secara sepihak. Apalagi, kata dia, medical check-up (MCU), yang umumnya difasilitasi perusahaan, merupakan cek kesehatan umum dan dilakukan terhadap keseluruhan karyawan.

Dengan begitu, kalau misalnya dilakukan tes kesehatan tertentu pada orang-orang yang dianggap “diduga” atau dicurigai oleh perusahaan, bahwa ini misalnya ada indikasi narkoba misalnya, maka perusahaan harusnya menggandeng atau bekerjasama dengan BNN atau rumah sakit yang memang punya kapasitas, alias tidak melakukan tes sendiri.
“Kalau saya baca kan kayaknya (kasusnya) itu tertentu deh. Jadi saya ulangi lagi nih urutannya, kalau yang biasa normal terjadi di mana-mana di perusahaan, di tempat saya juga, itu dilakukan namanya MCU yang dilakukan setiap tahun dan semua pekerja atau karyawan itu mendapatkan fasilitas atau juga dilakukan MCU atau tes kesehatan itu. Tapi kalau misalnya orang-orang tertentu, berarti itu berdasarkan aduan atau target yang dilakukan oleh perusahaan,” ujar Mirah saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (22/7/2025).
Ia bilang kalau perusahaan melakukan tes sendiri, maka patut diduga kuat bahwa memang ada unsur kesengajaan untuk perusahaan mengeluarkan atau mem-PHK pekerja tersebut.
“Kalau saya lihat, kalau memang betul itu ya, jadi kalau misalnya itu dicek tes ulang, ternyata dia negatif, maka demi hukum perusahaan harus membatalkan PHK tersebut, PHK yang sudah dilakukan. Kalau dia tidak membatalkan berarti ya tadi lagi-lagi patut diduga kuat bahwa perusahaan memang ada kesengajaan untuk mem-PHK,” lanjut Mirah.
Pemerintah Perlu Perkuat Pengawasan
Beberapa langkah bisa diambil para pekerja untuk merespons kasus PHK terselubung ini. Mirah mendorong para karyawan untuk melakukan penolakan, apapun bentuknya, yakni dengan membuat surat penolakan bermaterai yang menyatakan bahwa dia tidak menerima PHK yang dimaksud.
Selain itu, pekerja pun bisa melaporkan kejadian yang dialami ke dinas tenaga kerja setempat, baik di level kota/kabupaten, atau provinsi. Dengan begitu korban bisa meminta bantuan.
“Kalau ada serikat pekerjanya lebih enak lagi, kalau dia punya serikat pekerja maka serikat pekerja wajib untuk mengadvokasi, membela si anggotanya tersebut gitu. Tentu dengan tadi, adakan pengaduan, laporan kepada pihak-pihak yang terkait, kalau dia punya serikat pekerja maka lapor ke serikat pekerja, nanti serikat pekerja akan menindaklanjuti untuk bisa melaporkan atau mengadvokasi sampai ke manajemen dan juga melaporkan ke dinas tenaga kerja,” ungkap Mirah.
Dalam rangka mengatasi kejadian pelanggaran yang berulang, ia mendesak pemerintah melalui dinas tenaga kerja untuk memperkuat pengawasan ketenagakerjaan. Hal itu mengingat pengawasan di dinas tenaga kerja sangat terbatas sumber daya manusianya, kemudian dari kekuatan atau kewenangan pengawasan itu juga kini dibatasi karena masuk ke otonomi daerah.
“Nah ini harapan saya ya dalam kondisi seperti ini ya mau tidak mau pemerintah melalui Kemenaker harus memperkuat fungsi-fungsi pengawasan, fungsi-fungsi monitoring praktik-praktik pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha terkait dengan PHK secara sepihak gitu ya. Kemudian juga upah mungkin masih di bawah UMP, kemudian keselamatan kesehatan kerja yang tidak ada atau yang masih minim, maka ya itu tadi Kemenaker harus bekerja keras untuk melakukan pengawasan-pengawasan yang dimaksud,” lanjut Mirah.
Jika pemerintah kesulitan, maka mereka bisa menggandeng serikat pekerja untuk bersama-sama melakukan fungsi-fungsi itu. Sosialisasi akan penerapan peraturan perundang-undangan termasuk tidak melakukan PHK secara mudah dan sepihak juga perlu gencar diberikan kepada perusahaan.

“Karena kan negara juga saat ini sedang menghindari untuk meminimalisir jumlah PHK yang semakin banyak ini, ya jadi ini juga perlu dilakukan oleh pemerintah secepat mungkin dan sekuat mungkin,” kata Mirah.
Apalagi, Presiden Prabowo sempat melontarkan wacana pembentukan satgas PHK. Realisasi rencana ini harus dipertanyakan dan ditindaklanjuti, bukannya sekadar retorika saat perayaan Hari Buruh saja.
“Jadi kalau betul-betul mau serius gitu ya terkait dengan meminimalisir atau menghilangkan PHK di negeri ini maka ide-ide keinginan untuk membentuk satgas PHK ya diwujudkan dan pembentukan itu juga harus transparan, harus betul-betul fungsi dan tugasnya juga jelas gitu. Jangan sampai satgas PHK ini hanya untuk bagi-bagi kursi, bagi-bagi kedudukan, entah itu buat siapapun yang nanti duduk di satgas PHK,” begitu catatan Mirah.
Serumpun, Arif pun menekan pemerintah buat membentuk mekanisme audit dan pengawasan ketat terhadap prosedur tes narkotika di tempat kerja agar tidak dijadikan alat manipulatif oleh perusahaan.
Di sisi lain, pemerintah perlu memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang memaksakan pengunduran diri pekerja tanpa proses hukum yang sah. Di tengah meningkatnya gelombang PHK, negara tidak boleh bersikap netral, melainkan wajib menjamin bahwa semua PHK dilakukan sesuai prosedur dan menghormati hak pekerja atas pembelaan diri.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































