Menuju konten utama
24 Februari 1966

Tertembaknya Arif Rahman Hakim Mempercepat Pelengseran Sukarno

Tubuh berlubang.
Pertanggungan amanat
penderitaan.

Tertembaknya Arif Rahman Hakim Mempercepat Pelengseran Sukarno
Ilustrasi penembakan Arif Rahman Hakim. tirto.id/Gery

tirto.id - Selasa, 24 Februari 1966, tepat hari ini 52 tahun lalu. Sudah sedari subuh berbagai kelompok mahasiswa memblokir jalanan. Mereka menyetop berbagai kendaraan di wilayah-wilayah strategis ibukota, mengempesi ban-ban, hingga membuat lalu-lintas lumpuh total.

Tujuan mereka: menggagalkan acara pelantikan anggota Kabinet Dwikora II yang diumumkan Presiden Sukarno tiga hari sebelumnya. Lewat aksi tersebut, para mahasiswa berharap menteri-menteri tak bisa datang.

Namun, upaya mereka gagal. Pelantikan kabinet baru tetap berhasil dilakukan. Sebabnya, “banyak dari menteri-menteri itu diangkut menggunakan helikopter, beberapa di antaranya bahkan datang berjalan kaki atau naik sepeda,” tulis John Maxwell dalam Soe Hok-Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual (1997: 174).

Lewat tengah hari, sewaktu kerumunan mahasiswa semakin banyak dan Istana Negara tinggal beberapa ratus meter saja dari jangkauan mereka, terdengar suara peluru yang ditembakkan dari bedil pasukan Tjakrabirawa.

Panik pun pecah. Beberapa demonstran mengalami luka-luka yang cukup serius. Dua orang demonstran meninggal. Pertama, Arif Rahman Hakim, mahasiswa tingkat empat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Kedua, Zubaedah, seorang siswi SMA.

Esoknya, sebelum dikebumikan, jenazah Arif Rahman Hakim diarak secara besar-besaran dari Universitas Indonesia sampai Kebayoran. Salvo ditembakkan di atas pusara. Soeharto dan A. H. Nasution mengirimkan karangan bunga. Seperti dicatat Maxwell, hari itu “gerakan mahasiswa [Indonesia] baru saja melahirkan martir pertamanya” (hlm. 175).

Bermula dari Kup yang Gagal

Semua bermula dari sebuah percobaan kup yang tak lama umurnya. Pada dini hari 1 Oktober 1965, enam petinggi Angkatan Darat diculik dari kediaman masing-masing oleh sepasukan pria bersenjata dan dibawa ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma. Tiga jenderal meninggal ketika berusaha melawan saat penculikan dan tiga lainnya meninggal tak berapa lama setelah tiba di Halim.

Dalam satu hari, operasi misterius yang kemudian dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S) ini berhasil dilumpuhkan. Namun, akibat yang ditimbulkannya memiliki efek luas. Keseimbangan kekuatan yang cukup stabil namun mencemaskan antara Angkatan Darat, PKI, dan Sukarno yang menjadi kerangka politik Demokrasi Terpimpin mulai runtuh.

Beberapa hari setelahnya, meski dalang gerakan tersebut belum jelas, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pihak tertuduh. Sentimen anti-PKI pun dengan cepat menjalar ke semua lapisan masyarakat termasuk kaum pemuda dan mahasiswa. Dari pertengahan Oktober sampai pengujung Desember, anggota dan simpatisan PKI menjadi korban pembantaian massal (hlm. 131-132).