Menuju konten utama

Legenda Hijau Hitam Mahasiswa Islam

Berdiri tidak lama dari kemerdekaan Indonesia, HMI telah menjelma menjadi organisasi mahasiswa yang besar dan kuat. Akarnya sudah menancap di berbagai institusi pemerintahan, legislatif dan yudikatif. Melewati berbagai krisis sejarah bangsa, HMI sering mendapat sorotan karena kerap membuat kericuhan.

Legenda Hijau Hitam Mahasiswa Islam
Aktivis HMI meneriakan slogan saat demo 4 November di Jakarta. [Tirto/Aqwam]

tirto.id - Nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tercoreng lagi. Kericuhan yang terjadi pada malam hari demonstrasi 4 November disebut-sebut dipicu oleh para aktivis HMI. Barisan HMI memulai kegaduhan disertai lemparan potongan bambu ke arah aparat. Barisan aparat terdobrak lalu demontrasi pun akhirnya berakhir dengan bentrokan.

Bukan sekali ini saja HMI menjadi berita karena kericuhan. Kurang lebih setahun lalu, pada 21 November 2015, ratusan anggota HMI asal Makassar yang kecewa dengan panitia Kongres HMI di Riau memblokir jalan. Mereka juga diberitakan tak membayar makanan di warung.

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah menjadi sasaran. Pada 9 Mei 2016, para aktivis HMI berdemonstrasi karena marah dengan ucapan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, yang dianggap melecehkan HMI. Di sebuah televisi swasta, Saut berbicara tentang alumni-alumni HMI yang tersangkut kasus korupsi. Saut saat itu berkata: “Kalau dia HMI minimal dia ikut LK 1, saat mahasiswa itu pintar, tapi begitu menjabat dia jadi curang, jahat, greedy."

Marah mendengar ucapan Saut, anggota HMI datang ke gedung KPK. Lemparan batu memecahkan kaca gedung. Mereka juga mencoret-coret tembok KPK. Di antaranya adalah: “Saut PKI.” Dalam sejarahnya, PKI alias Partai Komunis Indonesia adalah musuh HMI nomor satu.

Begitulah sepak terjang HMI dalam satu terakhir. Organisasi mahasiswa Islam paling tua yang masih hidup ini memang punya sejarah panjang.

HMI berdiri pada 5 Februari 1947. Ketika itu Belanda mulai mengancam kembali kedaulatan Republik. Bersama Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu) dan Mansyur, Lafran Pane mendirikan organisasi mahasiswa Islam ini di ibukota perjuangan Republik Indonesia di Yogyakarta.

Mereka mendirikan HMI karena organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) mereka anggap tidak menyalurkan aspirasi keagamaan. Ketika itu Soetan Sjahrir masih memimpin kabinet sehingga tidak heran jika PMY dipengaruhi semangat sosialisme. Perdana Menteri Syahrir adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Para pendiri itu berasal dari kampus yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam (STI) dan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada yang pada waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra. Ketika itu, Lafran Pane masih kuliah di hukum di STI. STI belakangan menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Lafran dan kawan-kawannya membentuk perhimpunan tersebut dengan memakai jam kuliah Tafsir Husein Yahya. Lafran Pane tidak dengan tangan kosong mendirikan HMI. Dia datang bersama Anggaran Dasar yang sudah jadi sebelum dia tiba.

Di masa Orde Lama, HMI dianggap sebagai underbouw Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai Islam yang menjadi partai nomer dua terbesar setelah PNI dalam Pemilu 1955. Sukarno menganggap Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatra sehingga Masyumi (dan PSI) pun dibubarkan.

Di pengujung kekuasaan Orde Lama, HMI menjadi bagian penting dari kontestasi politik dan ideologi yang sengit. Musuh HMI bukan lagi mahasiswa sosialis, tapi mahasiswa komunis yang tergabung dalam Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). CGMI berusaha keras membubarkan HMI pada 1965. Saat itulah organisasi yang identik dengan warna hijau hitam ini berada di ujung tanduk.

Kendati posisinya sangat rentan, namun HMI masih dibela oleh banyak orang. Menurut pengakuan Ridwan Saidi, mantan Ketua PB HMI, dalam buku Selamat Berkarunia (2008), Wakil Perdana Menteri III Johannes Leimena berusaha mencegah Presiden Sukarno membubarkan HMI. Ketika tokoh-tokoh Islam hendak mencari tempat aman untuk menggelar rapat, tokoh Kristen menyediakan Gereja Imanuel di depan Stasiun Gambir.

Ridwan Saidi penasaran mengapa Om Jo alias Johannes Leimena melakukannya? Saidi yang memang berteman dengan Nanda Leimena, anak Johannes, akhirnya bertanya: “Kenapa begitu gigih membela Masyumi dan dan HMI?”

Om Jo hanya memberi jawaban ringkas: “Pembubaran Masyumi dan HMI sangat bertentangan dengan demokrasi dan HAM.”

Menurut Ridwan Saidi, “Bagi Om Jo, semua memiliki hak yang sama untuk hidup di Republik ini.”

Setelah dihalangi Leimena, menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September (2010), Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu angkat bicara memperkeruh suasana. Dalam sebuah pidato di hadapan para aktivis CGMI, D.N. Aidit mengatakan dengan jelas:

“Kalau pemerintah tidak mau membubarkan HMI, jangan kalian (CGMI) berteriak-teriak menuntut pemerintah pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri. Dan kalau kalian tidak mampu, lebih baik kalian jangan memakai celana, tukar dengan kain sarung perempuan.”

Ketika itu, Hussein Haikal, yang belakangan menjadi profesor sejarah di sebuah kampus di Yogyakarta, masih muda. Pada 1965, dia masih mahasiswa pendidikan sejarah di Yogyakarta. Dia menjadi saksi kucelnya anak-anak CGMI. Sementara anak-anak HMI necis-nesis. Kalau mau masuk HMI harus bayar uang pendaftaran. Tapi masuk CGMI gratis. Anak-anak CGMI bahkan disediakan banyak buku-buku bagus ketimbang anak-anak HMI. Ketika kerusuhan 1965 terjadi, Haikal sempat sembunyi beberapa waktu.

HMI belum mati dalan pusaran panas politik Indonesia 1965. Justru CGMI yang nyatanya berkalang tanah. Tahun suram HMI berlalu. Tahun 1966 HMI mulai mengecap kejayaan. CGMI berhasil digulung laskar Hijau Hitam ini. HMI menjadi bagian penting Angkatan 66 yang merontokkan Sukarno dan memuluskan lahirnya Orde Baru.

Infografik HMI Himpunan Mahasiswa Islam

Sejak itu, organisasi ekstra kampus ini makin bertambah anggotanya. Di sekitar kampus negeri maupun swasta, sekretariat organisasi ini sangat mudah ditemukan.

Sebagai organisasi besar, yang menampung para mahasiswa dengan latar belakang yang beragam, sangat wajar jika terjadi perbedaan pemikiran di dalam HMI. Dari zaman Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Cak Nur, perbedaan itu sangat dinamis.

Puncak perbedaan di tubuh HMI terjadi pada terpecah juga. Ada kubu HMI yang menerima Pancasila sebagai azas tunggal (kemudian disebut HMI Dipo karena berkantor di Jalan Diponegoro) dan ada yang mempertahankan azas Islam (mereka membuat Majelis Penyelamat Organisasi, makanya dikenal sebagai HMI MPO).

Pemicunya terjadi pada Kongres HMI ke-15 di Medan pada 1983 di mana HMI menerima azas tunggal Pancasila. Saat itu Orde Baru memang memaksakan kehendak untuk menjadi Pancasila sebagai azas semua organisasi yang berdiri di Indonesia.

Kelompok HMI MPO, memang tak sebesar HMI Dipo, namun mereka kritis betul kepada Orde Baru. Disemangati oleh revolusi Iran yang menggulingkan pemerintahan sekuler, HMI MPO membangun politik identitas yang kuat dan serius.

Para senior HMI yang terlibat dalam penggulingan Sukarno saat itu sudah banyak yang berada di lingkaran kekuasaan. Kooptasi memang tidak terhindarkan karena Suharto sedang jaya-jayanya. Akbar Tanjung adalah salah satunya. Yang menjadi pengusaha kaya di antaranya Jusuf Kalla. Mantan HMI jadi menteri atau pejabat lembaga negara lain adalah hal biasa. Kebanyakan dari generasi HMI setelah tahun 1960an. Mereka kebanyakan mengalami masa sulit di tahun 1965.

Tentu saja generasi HMI 1960an dan sesudahnya melampaui nasib kanda-kanda mereka. Kanda Lafran Pane memilih jadi pendidik calon guru di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Karangmalang Yogyakarta. Menurut PB HMI, Lafran Pane, tidak lulus di STI. Setelah mendirikan HMI, dia kuliah ilmu politik di Universitas Gadjah Mada dan lulus sebagai Sarjana Ilmu Politik.

Lafran Pane juga dikenal sebagai sosok yang sabar dan sederhana. Setelah menjadi guru besar ilmu sosial di IKIP Yogyakarta, ia mudah ditemui sedang mengayuh sepeda onthelnya. Ketika sepedanya dijahili mahasiswanya, dia tidak marah. Tidak melempar sepedanya pada mahasiswanya, tidak melemparkan bambu pada mahasiswanya, juga tentu makan di warung dengan membayar.

Baca juga artikel terkait HMI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS