Menuju konten utama

Riwayat Gerakan Mahasiswa: dari Dema hingga BEM

Sebutan dan fungsi lembaga eksekutif mahasiswa berganti-ganti sejak mula dikenal pada 1950-an, mengikuti kebijakan dan arah politik pemerintah.

Riwayat Gerakan Mahasiswa: dari Dema hingga BEM
Anggota Dewan Mahasiswa Unpad Hatta Albanik (kiri), Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar (tengah), dan Dewan Mahasiswa ITB Komarudin (kanan) dalam sebuah pertemuan di Bandung (1974). FOTO/Istimewa

tirto.id - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, terutama ketuanya, Zaadit Taqwa, sedang menjadi sorotan belakangan ini. Sosok Zaadit menjadi viral gara-gara aksinya meniup peluit dan mengacungkan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo dalam acara Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia (UI), Jumat (2/2/2018) lalu. Aksi itu mengundang beragam reaksi dari berbagai pihak di dunia maya.

Joko Widodo yang menjadi sasaran aksi Zaadit tak terlalu mempermasalahkannya. Alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) itu menganggap aksi Zaadit adalah hal biasa bagi seorang aktivis mahasiswa. Presiden malah mewacanakan untuk mengirim pengurus BEM UI ke Asmat untuk melihat sendiri kondisi di sana.

Zaadit, atas nama BEM UI, menampik rencana itu. Ia menolak berangkat ke Asmat dengan menggunakan uang negara dan memilih berangkat dengan menggalang donasi. Lewat pernyataan itu, Zaadit jelas ingin menegaskan posisi BEM UI sebagai organisasi mahasiswa yang punya independensi.

Sejak dulu, organisasi mahasiswa intrakampus memang memosisikan diri sebagai “pengontrol” kebijakan pemerintah. Prinsip gerakan independen ini sudah terbentuk sejak era awal terbentuknya organisasi mahasiswa pada 1950-an.

Pada Mulanya adalah Dema

Sebelum disebut dengan nomenklatur BEM, organisasi mahasiswa intrakampus di Indonesia dikenal sebagai Dewan Mahasiswa atau biasa disingkat Dema. Dema mulai dibentuk di universitas-universitas di Indonesia pada 1950-an. Kala itu, Dema menjadi wadah belajar berpolitik karena berfungsi sebagai student government.

Semangat untuk belajar berpolitik lebih mengemuka dibanding semangat untuk berpolitik praktis. Menurut Adi Surya Culla dalam Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998) (1999), umumnya mahasiswa di era itu melihat dirinya sebagai the future man, calon pengisi pos-pos birokrasi pemerintahan Indonesia yang baru dibangun. Kegiatan-kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi kegiatan seperti piknik, olahraga, jurnalistik, dan klub belajar.

Sementara menurut Dody Rudianto dalam Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional (2010), pengaruh politik mulai masuk ke dalam kehidupan mahasiswa melalui organisasi-organisasi ekstrakampus yang berebut menguasai Dema. Organisasi ekstrakampus di era Demokrasi Parlementer itu umumnya berbasis ideologi dan berafiliasi dengan partai politik.

Sebut saja misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berafiliasi pada gerakan Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI, Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang berbasis Katolik, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII) yang dekat dengan NU, atau Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sebagian besar organisasi-organisasi ektrakampus ini membuka sekretariat terselubung di dalam kampus. Karena itu kehidupan berorganisasi di kampus laiknya miniatur perpolitikan negara. Dody Rudianto menulis, “Statemen seorang Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang dirilis pers (dimuat di berbagai media umum) mempunyai nilai politis, mendapat perhatian luas dari masyarakat maupun pejabat-pejabat pemerintah terkait dengan isu yang diangkat oleh seorang Ketua Dewan Mahasiswa tersebut.”

Gerakan mahasiswa yang paling menonjol di era Dema tentu saja adalah demonstrasi-demonstrasi pasca-G30S. Gerakan itu efektif mempreteli kewibawaan politik Presiden Sukarno dan menjadi pemulus lahirnya Orde Baru. Sejak itu pula gerakan mahasiswa menjadi identik dengan gerakan politik.

Independensi politik mahasiswa kemudian menguat setelah tumbangnya Sukarno. Menurut Bambang Yuniarto dalam Pandangan dan Sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Terhadap Jalannya Reformasi (2016), pada masa awal Presiden Soeharto berkuasa, peran mahasiswa sebagai alat kontrol sosial dan kelompok penekan masih cukup kuat. Kritik utama mahasiswa terhadap Orde Baru terutama menyangkut kebijakan pembangunan yang timpang dan korupsi yang merajalela.

Orde Baru Soeharto lalu mulai jengah dengan protes-protes mahasiswa. Itulah awal mula pemberangusan suara-suara kritis di lingkungan kampus. Diawali dengan meletusnya Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) dan dilanjutkan Gerakan Mahasiswa 1977/1978 (Gema 77/78).

“Gerakan mahasiswa di tahun 1978 berkembang dari kritik dan protes mahasiswa yang mulai dirasakan menjelang pemilihan umum 1977 dilaksanakan. Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk ‘Gerakan Anti Kebodohan’ (GAK) untuk melawan kecenderungan berbagai manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa,” tulis Bambang Yuniarto.

Gerakan mahasiswa memuncak saat perwakilan Dema se-Indonesia berkumpul di kampus Institut Teknologi Bandung pada Oktober 1977. Gerakan ini kemudian menelurkan Ikrar Mahasiswa yang dipublikasikan pada hari Sumpah Pemuda. Ikrar ini menjadi pembuka gerakan-gerakan protes sporadis di kampus-kampus dan meluaskan tuntutan mundurnya Soeharto.

Inilah yang menjadi tengara berakhirnya era Dewan Mahasiswa sebagai student government di kampus-kampus. Untuk meredam suara kritis dari kampus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 yang dimaksudkan untuk “mengembalikan fungsi mahasiswa” sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan.

Kebijakan ini dikenal sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berasal dari inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef. Sejak itu, Dewan Mahasiswa di kampus-kampus dibubarkan. Sebagai gantinya adalah Senat Mahasiswa yang tidak lagi memiliki fungsi eksekutif dan paling tinggi hanya ada di tingkat fakultas.

Memanfaatkan Celah lewat Senat Mahasiswa

Kebijakan Daoed Joesoef berubah pada 1990. Mendikbud Fuad Hassan kembali membuka ruang gerak mahasiswa di dalam kampus dengan mengizinkan berdirinya Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Itu pun terbatas sebagai wadah koordinasi para ketua Senat Mahasiswa Fakultas dan ketua-ketua himpunan mahasiswa jurusan.

Konsep SMPT ini lahir dari tidak terkontrolnya aktivitas mahasiswa di luar kampus yang kemudian bersinergi dengan suatu gerakan politik. Karena itu, pemerintah merasa perlu melokalisasi aktivitas mahasiswa di lingkup kampusnya sendiri. Pembentukan Senat Mahasiswa ini pun awalnya mendapat penolakan.

Tapi kemudian para aktivis mahasiswa perlahan melihat peluang baru dalam pembentukan Senat Mahasiswa. “Ternyata tidak semua kampus menolak. Banyak juga yang menerimanya dan malahan menganggap sebagai langkah awal untuk terciptanya peluang gerakan intra mahasiswa yang lebih leluasa daripada sebelumnya di alam NKK-BKK,” catat Dody Rudianto.

infografik sejarah bem

Dalam aturan baru itu memang ada satu peluang yang kemudian dimanfaatkan para aktivis mahasiswa. Dalam Surat Keputusan yang dikeluarkan Mendikbud Fuad Hassan disebut bahwa pelaksanaan teknis terkait pembentukan SMPT diatur sendiri oleh masing-masing perguruan tinggi. Celah inilah yang dimanfaatkan para aktivis mahasiswa untuk membentuk Senat Mahasiswa yang independen.

Soal ini, Fadli Zon, pada artikelnya yang terhimpun dalam bunga rampai Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 (1999), menulis, “SMPT-SMPT itu menjadi beragam strukturnya. SM-UGM, misalnya, mempunyai kongres yang membawahi SMPT, UKM, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) secara sejajar. Ada mekanisme legislatif-eksekutif. SM-UI mengambil celah melalui pemisahan tugas antara Ketua Umum SMPT, yang bertindak sebagai legislatif, dan Ketua Harian SMPT, sebagai eksekutif.”

Setelah Reformasi bergulir, konsep Senat Mahasiswa kemudian berubah menjadi lembaga legislatif mahasiswa. Lalu untuk mengeksekusi program-program Senat Mahasiswa dibentuklah Badan Pelaksana Senat Mahasiswa. Belakangan, nama badan pelaksana diganti dengan istilah yang lebih praktis: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Awalnya, pengurus BEM dipilih dan bertanggung jawab kepada Sidang Umum Senat Mahasiswa.

Namun sekarang, kedua lembaga ini masing-masing berdiri sendiri. BEM menjadi lembaga eksekutif mahasiswa, sementara Senat Mahasiswa berubah bentuk menjadi Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) dengan fungsi legislatif. Ketua kedua lembaga pun kini sama-sama dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum mahasiswa.

Baca juga artikel terkait GERAKAN MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Mild report
Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan