tirto.id - “Terima kasih sebesar-besarnya kepada Universitas Indonesia, sebab, UI penyumbang terbanyak menteri-menteri di Kabinet Kerja. Sampai saat ini, ada enam alumni UI yang membantu saya di Kabinet Kerja,” ujar Jokowi kepada para tamu undangan Dies Natalis ke-68 UI di Depok, Jawa Barat, Jum’at (2/2) lalu seperti dilansir Antara.
Jokowi lantas menyebut satu per satu menteri anggota Kabinet Kerja yang merupakan alumni UI, antara lain Darmin Nasution (Menko Perekonomian), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), sampai Bambang Brodjonegoro (Kepala Bappenas). Setiap Jokowi menyebut nama-nama menteri tersebut, ratusan mahasiswa bertepuk tangan.
Ketika Jokowi selesai memberikan sambutan dan masih berdiri di atas panggung untuk sesi foto bersama, tiba-tiba seorang pria dengan batik lengan panjang meniupkan peluit dan mengacungkan buku warna kuning. Menyaksikan aksi tersebut, pasukan Paspampres langsung mengamankan sang peniup peluit ke luar ruangan.
Seperti diwartakan Kompas, buku kuning yang ditujukan kepada Jokowi merupakan tanda peringatan terhadap kinerja pemerintahan selama kurang lebih 4 tahun terakhir. Diketahui belakangan bahwa sang peniup peluit bernama Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI 2018. Masih menurut Kompas, BEM UI disebut-sebut sekadar ingin menyampaikan kritik dan masukan kepada Jokowi terkait sejumlah masalah. Keinginan itu diklaim sudah disampaikan jauh-jauh hari ke pihak rektorat.
Karena pertemuan tak kunjung diagendakan, BEM UI berinisiatif menggelar aksi damai di dekat Stasiun UI. Namun atribut yang mereka persiapkan untuk aksi telanjur diamankan pihak kepolisian.
Tak Jadi Mengunjungi UGM
Gejolak mahasiswa merespons kedatangan presiden di kampusnya tidak hanya terjadi di UI. Pada 2001, situasi serupa terjadi di UGM. Situasinya bahkan bisa dikatakan lebih parah daripada yang dialami Jokowi. Presiden Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpaksa membatalkan kunjungannya ke UGM akibat kerasnya penolakan elemen mahasiswa.
Berdasarkan laporan Liputan6, Gus Dur dijadwalkan hadir di UGM untuk menghadiri acara "Gerakan Pelestarian Pohon Meranti" di Fakultas Kehutanan. Sedianya lawatan tersebut dilaksanakan seusai Gus Dur mengunjungi Hutan Penelitian UGM, Wanagama I, di Desa Banaran, Kabupaten Gunung Kidul dan setelah salat Jum’at di Kagungan Dalem Mesjid Agung Wonokromo.
Namun, beberapa lama sebelum Gus Dur menginjak kompleks Bulaksumur, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kontra Politisasi Kampus (AMKPP) telah bersiap menolak kehadirannya. Berdasarkan pengamatan Kompas, elemen mahasiswa melakukan blokade di setiap jalan menuju UGM yang dilewati rombongan Gus Dur usai salat Jum’at. Beberapa titik yang diblokade antara lain jalan masuk UGM via perempatan asrama Syantikara sampai Bundaran Bulaksumur.
Mengutip Kompas, elemen-elemen AMKPP terdiri dari AMPRI, Depera-UGM, Famtret, KAMMI, HMI DPO, Dema UNY, dan Dema UPN. AMKPP menolak Gus Dur dengan alasan bahwa sang presiden sedang “mencari dukungan dari kalangan akademisi dan mahasiswa.”
Alasan tersebut berangkat dari kenyataan bahwa internal pemerintahan Gus Dur sedang goyah. Mahasiswa pun tak satu suara. Kelompok pro-Gus Dur terdiri dari BEM Indonesia (BEM-I). Sementara yang anti adalah BEM se-Indonesia (BEM SI) yang getol mengkritik Gus Dur dan meminta MPR/DPR menggelar sidang istimewa.
Situasi di lapangan sempat memanas akibat aksi saling dorong antara mahasiswa dengan aparat keamanan di daerah Selokan Mataram. Melihat kerasnya penolakan mahasiswa, Gus Dur akhirnya membatalkan kunjungannya ke UGM dan melanjutkan lawatan ke Asrom Galeri untuk menghadiri pameran kerajinan rakyat. Acara di Fakultas Kehutanan sendiri dipindah ke salah satu ruang di markas TNI Angkatan Udara Adisutjipto.
“Saya minta maaf tidak jadi ke Gadjah Mada, demi menghindari pertumpahan darah,” ujar Gus Dur pada Jum’at sore seperti dilansir Kompas.
Demonstrasi di UGM adalah satu dari sekian aksi protes terhadap pemerintahan Gus Dur saat itu. Seperti dikabarkan Kompas, di Makassar, sekitar 5.000 foto resmi Gus Dur “dijaring” dalam dua kali aksi “pembersihan”. Seratus di antaranya diserahkan enam orang delegasi DPRD Sulawesi Selatan kepada wakil ketua DPR masa itu, Soetardjo Soerjogoeritno.
Gelombang sweeping foto Gus Dur dilakukan sejak 2 Februari 2001 oleh kesatuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Makassar. Kompas mencatat bahwa dalam aksi-aksi tersebut para mahasiswa mendatangi setiap kantor pemerintahan maupun swasta untuk menyerahkan foto Gus Dur sebagai aksi simbolis menuntutnya mundur dari kursi kepresidenan.
Aksi serupa terjadi di Jakarta pada Maret 2001. Sekitar 20.000 demonstran berdiri di luar Istana Negara meneriakkan “Gus Dur Mundur!” Para demonstran juga meminta Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan posisi Gus Dur. Demo tersebut, mengutip CNN, merupakan “demo terbesar semenjak Gus Dur menjabat.”
Posisi Gus Dur saat itu memang di ujung tanduk. Mengutip Greg Barton dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002), memburuknya ekonomi dalam negeri, ledakan konflik etnis dan agama di sejumlah daerah, hingga rendahnya dukungan politik (termasuk dari koalisi partai Islam yang mendukung Megawati naik jabatan jadi presiden) merupakan sejumlah faktor yang memuluskan pelengseran Gus Dur.
Di antara itu semua, pukulan terberat yang menghantam singgasana Gus Dur adalah isu Buloggate yang terus dihembuskan lawan-lawannya lewat DPR dan MPR. Suasana semakin memanas tatkala pendukung Gus Dur dan penentangnya tiap hari menggelar demonstrasi dan unjuk kekuatan di depan istana.
Gus Dur sempat mengeluarkan senjata pamungkas berupa Dekrit Presiden. Salah satu pokok dekrit tersebut adalah pembekuan DPR dan MPR. Namun, posisi Gus Dur sudah terlalu lemah sehingga segala jurus yang dikeluarkannya sia-sia karena minim dukungan. Gus Dur akhirnya benar-benar mundur pada 23 Juli 2001.
Bagaimana Gus Dur Menghadapi Demonstrasi?
Kendati sering didemo, Gus Dur beberapa kali terlihat menerima para demonstran dengan tangan terbuka. Momen pertama terjadi saat demonstrasi pegawai Departemen Sosial (Depsos) serta Departemen Penerangan. Pangkal persoalannya, kedua departemen tersebut hendak dibubarkan Gus Dur.
Dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002), Greg Barton menjelaskan bahwa “korupsi dan praktik-praktik pemerasan" jadi alasan Gus Dur untuk membubarkan Depsos. Adapun Gus Dur yang Saya Kenal (Muhaimin Iskandar, 2004) menyebutkan bahwa Gus Dur membubarkan Depsos “untuk mengurangi peran negara serta terus memperbesar peran masyarakat dalam kehidupan sosial di Indonesia.”
Sementara itu Departemen Penerangan dibubarkan sebab dianggap tidak cocok lagi dengan iklim demokrasi pasca reformasi 1998. Departemen Penerangan, selama masa-masa itu, dikenal sebagai alat represi negara yang siap membredel pers mana pun yang kritis.
Aksi demonstrasi dipimpin langsung oleh Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan di era Habibie. Seperti yang dituturkan Mahrus Irsyam lewat Langkah Awal Reformasi Birokrasi (2000), Yosfiah merasa kebijakan Gus Dur “kurang arif dan tergesa-gesa.”
Pada 29 Oktober 1999, demo pun digelar. Pegawai dari dua departemen menyuarakan tuntutannya di depan Istana Negara dan mendesak Gus Dur membatalkan keputusannya. Melihat aksi tersebut, Gus Dur yang baru saja melantik menteri-menterinya, langsung keluar istana dan menemui para pegawai guna menjelaskan duduk perkara pembubaran dua departemen.
Setahun berselang, Gus Dur kembali melakukan hal serupa. Pada 6 April 2000, Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Talib menggelar demonstrasi dengan melangsungkan Tabligh Akbar di Senayan. Dari tampilannya, mereka bukan demonstran biasa. Meski tak bersenjata api, mereka mirip milisi: bersepatu lars, wara-wiri dengan handy talky, juga menyandang pedang dan panah. Mereka tak ubahnya calon mujahidin yang bakal diberangkatkan ke Afganistan saat berperang dengan Uni Soviet (1979-1989).
Aksi Laskar Jihad didorong oleh konflik berdarah di Maluku serta rencana Gus Dur mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 yang melarang komunisme. Gus Dur dianggap tidak membela umat Islam karena menolak mengirim bala bantuan ke Ambon. Selain itu, Gus Dur ingin menghapus Tap MPRS No. XXV/1966 karena diskriminatif dan tidak “sesuai amanat reformasi.”
Sehari kemudian, pada 7 April 2000, seperti yang diceritakan Greg Barton dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002), Gus Dur menemui wakil demonstran. Dalam pertemuan itu, rupanya Gus Dur dianggap tak bisa memenuhi tuntutan para demonstran berupa pengiriman bantuan ke Ambon.
“Bapak presiden mengusir kami,” tegas salah seorang pendemo. Mereka menilai Gus Dur telah “berat sebelah dan cenderung memihak orang-orang non-muslim.”
Kendati demikian, masih seperti yang dituturkan Barton, pihak Gus Dur menyatakan bahwa setelah para demonstran diterima, mereka justru memaksakan kehendak hingga melontarkan kata-kata kasar. Belakangan, muncul cerita yang menjelaskan antara pendemo dan Gus Dur saling gertak dan memaki dalam pertemuan tersebut.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf