tirto.id - Presiden Joko Widodo dituduh meremehkan aspirasi para ulama dan umat Islam karena tidak menemui perwakilan massa demonstran yang berunjukrasa pada 4 November 2016 lalu. Ketidakhadiran presiden di istana selama berlangsungnya demonstrasi menjadi amunisi lanjutan untuk mendiskreditkan presiden.
Para pendukung presiden beranggapan bahwa konstitusi tidak mewajibkan presiden untuk menemui demonstran. Bahkan sempat berseliweran pernyataan yang menganggap presiden tidak menemui demonstran sebagai hal biasa saja karena tidak ada dalam sejarahnya presiden menemui demonstran.
Pernyataan bahwa tidak ada presiden yang pernah menemui para demonstran adalah pernyataan yang tidak berdasar. Ada banyak fragmen dalam sejarah yang menunjukkan bagaimana Presiden Indonesia pernah menerima demonstran.
Tidak usah jauh-jauh. Bahkan Presiden Jokowi sendiri, beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 2 Agustus 2016, bersedia menemui sembilan perempuan dari Pegunungan Kendeng yang memperjuangkan tanah dan sawahnya dari penggusuran untuk pembangunan pabrik semen. Sebelum ditemui presiden, sembilan perempuan—yang saat itu dikenal sebagai Kartini-nya Kendeng—melakukan demonstrasi melalui aksi dramatis mengecor kedua kaki dengan semen di kawasan Monumen Nasional (Monas).
Dalam pertemuan di Istana Merdeka itu, tercapai kesepatan untuk menghentikan semua izin proyek terkait pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng hingga Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dianggap tuntas. Perjuangan para petani Kendeng mencapai klimaks pada 10 Oktober 2016 menyusul dikabulkannya tuntutan pembatalan pendirian pabrik semen oleh Mahkamah Agung di tahapan kasasi.
Jauh sebelum itu, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga pernah memperlihatkan sikap demokratis dengan bersedia menemui para demonstran. Dari beberapa fragmen dalam karier kepresidenan Gus Dur, ada dua momen terkait demonstrasi yang diterima dengan tangan terbuka oleh Gus Dur.
Pertama, demonstrasi pegawai Departemen Sosial (yang didukung oleh, di antaranya, kaum difabel) dan Departemen Penerangan yang menolak pembubaran tempat mereka bekerja.
Departemen Sosial (Depsos) sudah eksis sejak awal kemerdekaan. Menteri Sosial pertama adalah Iwa Kusumasumantri yang menjabat sejak 19 Agustus 1945 di kabinet pertama dalam sejarah Indonesia. Setelah dilantik menjadi presiden, Gus Dur memutuskan untuk membubarkan Depsos.,
Menurut Muhaimin Iskandar, sang keponakan yang di kemudian hari menjadi lawan politiknya, Gus Dur membubarkan Depsos dengan alasan hendak mengurangi peran negara dan terus memperbesar peran masyarakat dalam kehidupan sosial di Indonesia (Gus Dur yang Saya Kenal, 2004. Sedangkan Departemen Penerangan (Deppen) dibubarkan karena dianggap sudah tidak cocok dengan iklim demokrasi yang dipicu oleh reformasi 1998. Deppen selama ini dianggap sebagai alat represi negara untuk membungkam sikap kritis pers.
Demonstrasi saat itu dipimpin langsung oleh Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan pada kabinet sebelumnya di bawah kepemimpinan Presiden Habibie. Menurut Mahrus Irsyam dalam Langkah Awal Reformasi Birokrasi (2000), Yunus Yosfiah merasa kebijakan Gus Dur kurang arif dan tergesa-gesa.
Pegawai dari dua departemen itu berdemonstrasi di depan Istana Negara. Mereka datang untuk meminta pertanggungjawaban presiden dan mendesak Gus Dur membatalkan keputusannya. Mereka berdemo pada 29 Oktober 1999.
Ketika itu, Gus Dur baru saja melantik menteri-menterinya. Mengetahui aksi demonstrasi itu, Gus Dur menuju pagar istana. Ia sendiri yang berusaha menjelaskan mengapa kedua departemen itu dihapuskan di masa pemerintahannya. Sekitar 20 menit Gus Dur menemui mereka. Gus Dur merasa apa yang ingin disampaikan para pendemo itu haruslah dihormati. Gus Dur melakukannya dengan menemui mereka.
Tidak kali itu saja Gus Dur menemui pendemo. Dalam demonstrasi yang dilakukan Laskar Jihad yang dipimpin Jafar Umar Talib, pada 7 April 2000, Gus Dur juga mau berbicara dengan wakil demonstran. Sehari sebelumnya, massa Laskar Jihad melaksanakan Tabliqh Akbar di Senayan. Bahkan di antaranya mereka bersliweran di pusat ibukota dengan membawa senjata tajam.
Tentu saja, mereka bukan demonstran sembarangan. Meski tak bersenjata api, mereka mirip milisi. Bersepatu ala tentara, wara-wiri dengan handy talky, juga menyandang pedang dan panah. Mereka seperti orang-orang yang siap perang. Laskar yang mengaku siap perang laksana kaum Mujahidin Afganistan yang memebaskan negeri mereka dari Uni Sovyet.
Politikus Amien Rais, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR, mendukung sepenuhnya demonstrasi Laskar Jihad. Pemicunya adalah konflik berdarah di Maluku dan soal Ketetapan MPRS No XXV/1966 soal komunisme. Gus Dur dianggap tidak berpihak pada umat Islam dalam konflik Ambon. Gus Dur tidak setuju dengan ide untuk mengirimkan Laskar Jihad ke Ambon. Sedangkan isu Tap MPRS dipicu oleh pernyataan Gus Dur yang ingin menghapuskannya karena dianggap diskriminatif dan tidak sesuai semangat reformasi.
Rupanya Gus Dur tak bisa memuaskan keinginan para pendemo yang ingin berangkat ke Maluku untuk berperang itu. Belakangan, muncul cerita soal pembicaraan tersebut. Antara pendemo dan Presiden rupanya saling gertak dan dihiasi makian.
"Bapak Presiden mengusir kami," ujar salah seorang dari pendemo. Mereka menilai "presiden berat sebelah dan memihak orang-orang non muslim". Sedangkan dari pihak Gus Dur mengatakan bahwa setelah para demonstran diterima, mereka memaksakan kehendak dan mengungkapkan kata-kata kasar yang tidak enak didengar.
Gus Dur melakukan apa yang pernah dilakukan Sukarno pada 17 Oktober 1952. Sukarno juga menemui pendemo, dan sama-sama tidak mau tunduk pada kemauan para demonstran. Jika Gus Dur didemo pegawai negeri di Departemen Penerangan dan Sosial yang lebih kalem pada 29 Oktober 1999 dan Laskar Jihad yang siap angkat senjata pada 7 April 2000, maka Sukarno didemo oleh tentara.
Ketika itu, petinggi tentara risih dengan parlemen yang dianggap turut campur dalam masalah internal Angkatan Darat. Itu sebabnya massa dikerahkan bersama tentara. Tak hanya melibatkan manusia tapi juga tank, panser dan meriam. Menurut ajudan setia Sukarno, Mangil Martowidjojo, dalam Kesaksian Tentang Bung Karno (1999), istana dikepung dari depan dan belakang.
“Meriamnya diarahkan tepat ke depan istana,” kata Mangil.
“Bubarkan Parlemen! Bubarkan Parlemen!” teriak massa di depan Istana.
Pagi hari itu, ketika pendemo dan senjata-senjata berat berseliweran di depan istana, Sukarno baru saja selesai berolahraga pagi. Sukarno menemui para perwira Angkatan Darat. Setelah mengobrol sebentar, Sukarno hanya memperbolehkan Mangil yang menemaninya untuk menemui para demonstran. Dengan berjalan kaki saja.
Ketika itu, Sukarno masih sangat yakin bahwa para demonstran, baik sipil maupun militer, tak bukan hanya mau mendengarnya tapi juga masih menghormatinya. Jadi tak perlu ragu dengan keselamatannya. Cukup bersama Mangil saja.
Kepada para demonstran, presiden memberi jawaban yang sebetulnya bertentangan dengan kemauan mereka yang ingin parlemen dibubarkan. “Pokoknya, saya tidak mau jadi diktator. Jangan paksa saya membubarkan parlemen. Saya tidak akan pernah mau,” tegas Sukarno dengan suara nyaring.
Massa bukannya marah besar dan mengamuk. Tak juga memaki-maki kasar secara terang-terangan. Massa hanya berteriak. “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!” teriak massa yang akhirnya bubar. Bukan parlemen yang bubar.
Tak semua Presiden bersedia menemui para pendemo. Tentu saja dengan berbagai macam alasan.
Tentu saja tak semua demonstran ditemui oleh Gus Dur maupun Sukarno. Pada 4 November 2016 silam, Presiden Joko Widodo lebih memilih meninjau proyek pembangunan jalur kereta listrik Bandara Soekarno Hatta. Para pendemo nyatanya memang tidak puas jika ditemui hanya menteri-menteri kabinetnya. Harus Presiden.
Presiden sebelum Joko Widodo, pun tak jauh beda. Pada demo Hari Anti Korupsi 29 Desember 2009, Susilo Bambang Yudhoyono berada di Bali. Demi sebuah acara internal. Tak lupa sang presiden mengkritik pada pendemo. Dalam demo lain hari di depan istana pun Presiden tidak di Istana. Karena ada acara peresmian di dalam negeri atau sedang lawatan ke luar negeri.
Dalam sejarah, bahkan Presiden Soeharto saja pernah menemui demonstran. Hariman Siregar, tokoh mahasiswa pada pertengahan dekade 1970an, diterima oleh Soeharto. Hariman kelak dianggap sebagai tokoh demonstrasi yang meledak menjadi kerusuhan Malari pada 15 Januari 1974. Menariknya lagi, Hariman diterima presiden sebelum insiden Malari terjadi.
Dua Presiden Indonesia dengan masa jabatan singkat, Baharudin Jusuf Habibie dan Megawati Soekarno Putri, dikenal bukan presiden yang suka menemui demonstran. Menemui pendemo bukan hal mudah bagi presiden-presiden Indonesia. Ada banyak alasan mengapa mereka tidak melakukannya. Demi alasan keselamatan, terutama ketika negara dalam kondisi tidak stabil, sering kali posisi Presiden tak jauh dari pesawat terbang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS