Menuju konten utama

Dengan RKUHP Baru, Aksi Seperti Ketua BEM UI Bisa Dipidana

Aksi Ketua BEM UI Zaadit Takwa di depan presiden Joko Widodo, Jumat (2/2) kemarin, jika dilakukan ketika RKUHP sudah disahkan, sangat mungkin akan berakhir di penjara.

Dengan RKUHP Baru, Aksi Seperti Ketua BEM UI Bisa Dipidana
Presiden Joko Widodo berbincang dengan para guru besar UI di sela sidang terbuka Dies Natalis UI ke-68 di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Semisal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah disahkan oleh DPR dan pemerintah, Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa bisa jadi kini telah diproses aparat kepolisian, dan sangat mungkin akan berakhir di penjara. Sebab dalam aturan yang kini tengah digodok itu, ada pasal mengenai "penghinaan terhadap presiden".

Apa yang dilakukan Zaadit dalam acara Dies Natalies UI ke-68 Jumat (2/2) lalu dapat termasuk dalam kategori itu.

Ketika Presiden Joko Widodo mengakhiri sambutan yang disaksikan banyak orang di Balairung UI, Depok, Zaadit, yang ketika itu mengenakan batik lengan panjang, meniup-niup peluit sembari mengacungkan buku lagu berwarna kuning—yang dalam sepak bola adalah kartu peringatan terakhir dari wasit kepada pemain sebelum benar-benar dikeluarkan dari pertandingan.

Dalam jumpa pers, Zaadit mengatakan bahwa aksi seorang dirinya itu memang bentuk kritik terhadap Jokowi, terutama terkait dengan tiga isu: gizi buruk dan campak yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua; rencana pemerintah mengangkat penjabat (pj) gubernur dari polisi aktif; dan draf peraturan baru organisasi mahasiswa (ormawa) yang dinilai mengekang kebebasan berserikat.

Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mengatakan bahwa tindakan mengeluarkan pendapat di muka umum dan ditujukan kepada presiden seperti seperti yang dilakukan Zaadit dapat dijerat Pasal 263 ayat 1 yang berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV [sebesar Rp300 juta]."

"Tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan Presiden dapat dianggap sebagai penghinaan. Hal demikian menunjukkan lenturnya pemaknaan pasal 263 ayat 1 RKUHP," kata Erasmus, berargumen mengapa tindakan Zaadit berpotensi masuk kategori pidana.

Terlebih sudah ada preseden mengenai ini. Dalam unjuk rasa 100 hari SBY-Jusuf Kalla pada 2005 lalu, Presiden Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Monang Johanes Tambunan ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 6 bulan. Ia dijerat Pasal 134 juncto Pasal 136 KUHP karena dalam orasinya di muka umum menjelek-jelekkan SBY.

Apa yang dikatakan Erasmus serupa dengan pendapat Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Menurutnya yang bermasalah dari aturan ini memang tafsirnya yang sangat longgar alias karet. Sepanjang pasal soal penghinaan dipertahankan, maka selama itu pula tafsir longgar soal makna penghinaan akan ada. Ia mengatakan tidak ada takaran yang jelas dalam menentukan suatu tindakan masuk dalam kategori penghinaan atau hanya kritik.

"Ini bisa jadi pemerintahan yang otoriter," katanya.

Dengan alasan tersebut, baik Erasmus maupun Wahyudi sepakat bahwa pasal tersebut, dan pasal-pasal terkait seperti Pasal 264, sebaiknya dihilangkan dari RKUHP. Terlebih aturan ini sebetulnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 Desember 2006 karena dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 soal kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

"Ini aturan dibuat oleh Belanda. Sudah tidak layak lagi sebenarnya. Menjadi aneh ketika DPR masukkan lagi ke dalam rancangan KUHP," kata Wahyudi kepada Tirto.

Presiden Joko Widodo sendiri mengaku tidak mempermasalahkan aksi Zaadit. "Yang namanya aktivis muda, mahasiswa, dinamika seperti itu biasa. Saya kira ada yang mengingatkan, itu bagus sekali," kata Jokowi di Situbondo, Jawa Timur pada Sabtu (3/2/2018) kemarin, seperti diberitakan Antara.

Jokowi yang tampak santai dengan aksi yang sudah viral ini justru mempertebal argumen bahwa pasal ini memang "karet". Taufiqurrohman Syahuri dalam buku Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (2011) mengatakan bahwa penerapan pasal ini memang akan sangat tergantung pada karakter presiden.

"Pada zaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, perbuatan yang sebenarnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan presiden ternyata tidak pernah diterapkan," tulisnya.

Tapi, katanya lagi, "siapa bisa menjamin, suatu saat—misalnya pada saat legitimasi presiden menurun—mungkin saja, para ahli hukum tata negara atau ahli ilmu politik yang berdasarkan keyakinan teorinya mengatakan bahwa presiden salah melakukan kebijakan... akan dianggap sebagai suatu penghinaan presiden." (hlm 131).

Sanksi dari Kampus

Pihak UI menyayangkan aksi Ketua BEM UI yang baru menjabat beberapa bulan ini. Direktur Kemahasiswaan UI Arman Nefi mengatakan bahwa "cara penyampaiannya [Zaadit] kurang elok."

"Padahal ada kesempatan untuk menyampaikan hasil kajian mahasiswa secara elegan dan terhormat," kata Arman kepada Tirto, Minggu (4/2) kemarin. Menurutnya pihak Istana telah menyiapkan jadwal pertemuan antara Jokowi dan BEM se-UI. Di sana mereka bisa menyampaikan aspirasinya langsung.

Arman mengatakan pihak kampus belum memutuskan apakah bakal memberikan Zaadit sanksi atau tidak. "Kalau toh ada, sifatnya mendidik dan bisa menjadi bekal bagi yang bersangkutan sebagai calon pemimpin," ujar Arman. Rencananya Zaadit akan dipanggil dalam minggu ini.

Tirto mencoba menghubungi Zaadit untuk meminta keterangannya. Akan tetapi, baik panggilan telepon maupun pesan singkat yang kami kirim tidak direspons.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema berada dalam satu barisan dengan Arman Nefi. Menurutnya ada cara yang lebih baik dalam rangka mengemukakan pendapat.

"Sebenarnya 'kan saluran untuk menyampaikan [kritik] itu ada banyak. Tentu dengan demikian kajian-analisis [mahasiswa] harus lebih diperkuat lagi," ujar Doni.

Baca juga artikel terkait DEMO MAHASISWA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino