tirto.id - Artikel ke-2 dari 4 seri tentang hubungan aktivis UI dan fajar Orde Baru. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.
Fragmen kematian dan kemudian prosesi pemakaman Arief Rachman Hakim menjadi pamungkas bagi KAMI. Namun, peristiwa itu jugaa merupakan awal peran eksponen Universitas Indonesia dalam kejatuhan Sukarno pada 1966. Sesudah pawai pemakaman itu, Sukarno memerintahkan langsung pembubaran KAMI.
Itulah ujian pertama bagi aktivis-aktivis Kampus Makara untuk membuktikan diri sebagai salah satu “bidan” yang mempersiapkan kelahiran rezim Orde Baru.
Keterlibatan institusional UI dalam hari-hari panjang sesudah G30S 1965 terjadi bertahap dan bersifat bottom up. Mula-mula, pemimpin teras sejumlah organisasi mahasiswa ekstrakampus dengan dukungan dari Brigadir Jenderal Sjarief Thajeb mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada 25 Oktober 1965.
Thajeb bahkan membuka ruang tamu rumah dinasnya bagi para pemimpin organisasi mahasiswa untuk berunding dan mendirikan kesatuan aksi pertama di Indonesia.
Aksi mahasiswa semula hanya berupa demonstrasi menuntut penindakan terhadap pelaku G30S 1965, seperti lazimnya mobilisasi massa antikomunis di sekitar bulan tersebut. Usaha konsolidasi dilakukan secara terbatas mengingat sejumlah organisasi di bawah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) tidak sepenuhnya menyetujui pembentukan organisasi baru ini.
Tensi mulai naik saat menteri-menteri bidang ekonomi dan keuangan Kabinet Dwikora merumuskan kebijakan devaluasi. Kebijakan itu lantas diluluskan Sukarno melalui Penetapan Presiden Nomor 27/1965.
Kebijakan ini kontroversial lantaran mengubah nilai tukar uang Rp1.000 menjadi Rp1. Ia berlaku terhitung sejak pukul 20.00 WIB tanggal 13 Desember 1965. Bersamaan dengan hal itu, defisit anggaran akan ditekan serendah mungkin dan pinjaman luar negeri akan dihentikan.
Langkah pemerintah ini diikuti kebijakan turunan, antara lain Surat Keputusan Menteri Negara Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 216/M/Migas/66 tertanggal 3 Januari 1966 yang menaikkan harga bensin dari Rp250 uang lama menjadi Rp1 uang baru (naik empat kali lipat). Sementara itu, harga minyak tanah dari Rp150 uang lama menjadi 40 sen uang baru (naik tiga kali lipat).
Akibat langsung kebijakan ini adalah kenaikan harga drastis di semua sektor. Perusahaan Pengangkutan Djakarta, misalnya, merespons kenaikan harga ini dengan melipatgandakan harga karcis bus kota menjadi Rp1.000 uang lama.
Tarif jasa pos juga naik 10 kali lipat dan tarif kereta api naik 500 persen. Tak habis di situ, harga beras pun melambung menjadi Rp5.000 uang lama per liter.
Suara kritis UIpertama kali disampaikan oleh Rektor Prof. Soemantri Brodjonegoro saat pemerintah menggariskan kebijakan agar semua mobil dinas pemerintah dijual. Kebijakan ini sebenarnya dimaksudkan untuk memangkas anggaran bahan bakar. Namun, tarif transportasi umum sudah terlalu mahal sehingga efeknya jadi tak terlalu signifikan.
Prof. Soemantri juga cenderung melihat efek samping yang disebabkan kebijakan inkonvensional ini.
“Beleid itu akan menghentikan samasekali pelaksanaan tugas dosen dan karjawan UI jang djelas tidak akan mampu naik kendaraan umum, sedangkan mobil-mobil jang didjual hanja akan dimiliki oleh beberapa gelintir orang sadja,” tulis buku putih Sedjarah Singkat Universitas Indonesia susunan Team RedaksiDjurusan Sedjarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1967, hal. 64).
Demonstrasi dan Mimbar Akademis
Efek domino kebijakan ini tentunya juga dirasakan mahasiswa.
“Ketika aku tiba di ruang Senat, terlihat suasana resah. Beberapa kelompok mahasiswa asyik berbicara secara serius, tetapi panas, tentang kenaikan harga bus [dari] Rp200 menjadi Rp1.000. Suasana seperti [ini] sudah lama kuduga, jadi tidaklah terlalu mengejutkan bagiku,” catat Soe Hok Gie di buku hariannya tanggal 7 Januari 1965 yang terhimpun dalam Catatan Seorang Demonstran (2011, hal. 123).
Tiga hari sesudah Gie mencatat peristiwa itu, UI benar-benar bangun melawan kekuasaan untuk pertama kalinya. Pukul 09.00, rapat umum dimulai di pekarangan Fakultas Kedokteran, Salemba 6. Bintang utama hari itu tak lain dari Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat Sarwo Edhie Wibowo.
Sang Komandan tengah jadi tokoh populer dan dielu-elukan saat itu. Terlebih, dia baru saja pulang dari “operasi penumpasan komunis” di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Suatu kehormatan besar bagi saya selaku komandan Pasukan, berbicara di depan massa mahasiswa ibukota yang tergabung dalam KAMI,” buka Sarwo Edhie ketika naik ke mimbar, yang dibuat ugahari dari meja praktikum yang diberi mikrofon.
“Untuk itu, terima kasih kepada Bung Aidit dengan Gestapunya telah mempersatukan kembali mahasiswa seperti sekarang ini. Kalau Aidit tidak membuat huru-hara, saya belum tentu dapat bicara di depan mahasiswa,” sambungnya.
Kelakar ini ditanggapi hangat dalam riuh rendah mahasiswa yang kian menyemut saat hari semakin siang.
Rapat umum pagi itu ditutup dengan pembacaan resolusi Tritura yang mengumandangkan tiga tuntutan mahasiswa: pembubaran Partai Komunis Indonesia, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-harga kebutuhan pokok.
Pembacaan itu sekaligus jadi upacara pelepasan untuk mobilisasi pertama demonstrasi mahasiswa yang bergerak dari Salemba menuju Gedung Sekretariat Negara di Harmoni. Perjalanan barisan jaket kuning dimulai dari Salemba lalu memutar Jalan Pegangsaan Timur, memotong lewat Cikini, Menteng, dan tembus Jalan Medan Merdeka Selatan.
“Barisan kelihatan semakin berkembang, yel2 jang dikumandangkan mulai mengiringi barisan, semakin lama semakin keras, semakin panas, dan semakin ber-api2,” catat Christianto Wibisono (1970, hal. 15). Hujan sempat turun saat rombongan tiba di Bundaran Bank Indonesia, tetapi keadaan basah kuyup tidak mengurangi seruan mereka yang semakin keras.
Sementara demonstrasi berjalan, KAMI FE UI menggelar “Pekan Ceramah dan Seminar Ekonomi Keuangan dan Moneter” untuk merespons situasi krisis ekonomi saat itu.
“Maksud seminar ialah mencoba membahas situasi ekonomi secara ilmiah dan saran-saran konstruktif kepada Pemerintah dalam mengambil kebijaksanaan ekonomi”, tukas Yozar Anwar dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa (1981, hal. 12).
Menggeruduk Chairul Saleh
Setiba di depan Sekretariat Negara, mahasiswa kian gemuruh danekspresif dengan protesnya.
“Turunkan harga beras! Turunkan harga bensin! Ganyang menteri goblok!” demikian teriakan-teriakan yang terdengar di antara massa.
Segera, rombongan dihadang oleh pasukan Cakrabirawa yang menjaga kawasan ring satu pemerintahan. Sebuah panser bahkan kemudian mengambil ancang-ancang bergerak ke arah kerumunan demonstran.
“Tetapi para mahasiswa tidak gentar menghadapi semua. Mereka secara serentak tidur di jalanan menghadang panser, sambil berteriak-teriak ‘Hidup ABRI!’. Melihat spontanitas dan semangat yang begitu suci daripada mahasiswa, tentara akhirnya mundur,” kenang Gie dalam catatannya (2011, hal. 128).
Cosmas Batubara sebagai eksponen mahasiswa hari itu mewakili para demonstran masuk ke Gedung Sekretariat Negara. Beberapa saat kemudian, keluarlah dia dengan didampingi Brigadir Jenderal Djunarso yang hendak mewakili Presidium Kabinet. Kontan, maksud Djunarso diblokir oleh mahasiswa yang menolak berurusan dengan seorang pembantu menteri.
Tuntutan massa mahasiswa jelas: bertemu langsung dengan Chairul Saleh.
Seorang staf Sekretariat Negara lalu mencoba keluar dan menyatakan di depan massa bahwa Chairul Saleh tidak ada di tempat. Hilang sabar, mahasiswa menantang, “Kami tunggu sampai Bapak Menteri datang. Kalau perlu sampai sore. Nginap pun jadi!”
Demikianlah, pasukan jaket kuning memulai mogok duduk, menghentikan lalu lintas di Jalan Veteran dan Jalan Nusantara (kini Jalan Ir. H. Juanda). Saat hari menuju siang, mahasiswa beragama Islam beramai-ramai melakukan ibadah salat Zuhur bersajadah koran dengan berwudhu dari leding di depan kantor Sekretariat Negara.
Tiga jam memblokir jalan, lewat pukul tiga, Cosmas menunjuk Liem Bian Koen beserta beberapa mahasiswa untuk menemui Chairul Saleh di kediaman dinasnya di Jalan Teuku Umar. Bian Koen yang mengajak tiga orang wakil mahasiswa pun diantar dengan jeep polisi bersama dua pengawal.
Mula-mula, mereka harus terlibat perdebatan sengit dengan perwira piket yang menolak kedatangannya. Namun, akhirnya mereka berhasil juga bertemu Chairul.
“Kalau toh Jang Mulia tidak bersedia, kami tidak bisa mendjamin apabila massa bergerak dari Sekneg kerumah Jang Mulia. Bukan salah kami, bila mereka mendatangi rumah ini,” paksa Bian Koen. Chairul mengalah, dan Bian Koen cs dipersilakan kembali ke Sekneg dengan kabar Waperdam bersedia ditemui.
Butuh 46 menit sejak delegasi kembali ke Sekneg hingga Chairul datang pukul 16.00. Chairul kemudian lebih dulu berdialog dengan Cosmas di ruang kerjanya dan kemudian berhadap-hadapan dengan demonstran. Cosmas cekak aos menyatakan aspirasi demonstran yang telah berpeluh menunggu tiga setengah jam itu.
“Mahasiswa sekarang tidak bisa pergi kuliah sebab ongkos bis tidak terbayar. Mahasiswa juga tidak bisa bayar uang pondokan. Orang tua mahasiswa tidak lagi mampu membiayai. Sebelum harga turun, kita akan mogok kuliah!”
Chairul merespons tuntutan itu dengan jawaban klise, “Saya sepakat dengan wakil-wakil Saudara. Resolusi saya terima dengan seluruh isinya. Semua akan disampaikan kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Kalau Presiden bilang PKI bubar, ya, bubar. Kalau Presiden mengatakan Kabinet harus disempurnakan, ya, akan disempurnakan. Kalau Presiden katakan ubah politik keuangan dan moneter, juga akan dilaksanakan.”
Tepat pukul 16.30, sesudah Chairul menanggapi tuntutan dengan jawaban seadanya itu, demonstrasi bubar dan tarif bus pun ditetapkan seharga Rp200 uang lama.
Meski bubar, hal ini tidak berarti mahasiswa puas. Hari-hari berikutnya, mogok kuliah memindahkan kelas ke jalan dan untuk pertama kalinya Indonesia kini memiliki dua parlemen: Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan DPR Jalanan yang diprakarsai mahasiswa.
(Bersambung...)
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi