tirto.id - Unjuk rasa pada 12 Januari 1966, tepat hari ini 55 tahun lalu di Jakarta, terjadi karena polemik pelik tak lama setelah tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pemerintah Orde Lama yang dipimpin Presiden Sukarno dianggap gagal. Protes pun mengalir lewat gerakan mahasiswa yang tercatat dalam sejarah sebagai Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura.
Tiga Tuntutan Rakyat mewakili masalah dan sebagai pernyataan sikap tegas atas kinerja pemerintah kala itu, yakni: (1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia atau PKI; (2) Rombak Kabinet Dwikora; dan (3) Turunkan Harga.
Pertama mengenai pembubaran PKI. Hal ini bermula dari lambannya pemerintah menindak tragedi berdarah G30S 1965 yang dituduhkan terhadap partai pimpinan D.N. Aidit tersebut. Empat bulan sejak penculikan dan pembunuhan beberapa petinggi Angkatan Darat, Sukarno masih bimbang mengambil keputusan tegas. Padahal, gelombang kegeraman masyarakat telah meluas.
Oleh sebab itu, para pemuda dan mahasiswa di Indonesia, terutama di Jakarta yang sebelumnya sudah memiliki organisasi kemahasiswaan yaitu Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), akhirnya terbelah dua.
Sebagian anggota yang berhaluan ideologi kiri di badan PPMI, seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), juga Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) turut meragu menuduh PKI sebagai dalang peristiwa G30S 1965 karena belum ada bukti kuat.
Dalam Pemuda Pembangunan dan Masa Depan (1987) karya Babari, rapat presidium PPMI digelar pada 10-23 Oktober 1965 untuk menentukan sikap gerakan mahasiswa terhadap G30S. Perbedaan pendapat ini kemudian melahirkan wadah baru di tubuh PPMI, yaitu KAMI atau Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. KAMI meyakini bahwa orang-orang PKI adalah dalang di balik peristiwa berdarah tersebut. Mereka menuntut tegas pemerintah untuk segera membubarkan PKI.
Kedua, tuntutan terhadap perombakan Kabinet Dwikora muncul lantaran pemerintahan Sukarno dianggap tidak becus mengendalikan stabilitas sosial-ekonomi yang mengalami penurunan drastis. Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008) menuliskan bahwa goncangan ini terjadi akibat konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan usaha merebut kembali Irian Barat. Perombakan Kabinet Dwikora juga dituntut karena di tubuh kabinet tersebut terdapat orang-orang PKI. Padahal, sebagian masyarakat saat itu menghendaki agar orang-orang PKI segera dibersihkan dari pemerintahan.
Ketiga, tuntutan turunkan harga disebabkan karena kesalahan fatal kebijakan ekonomi pemerintahan. Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 27 untuk mengatur kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada 13 Desember 1965. Peraturan Presiden ini merupakan inisiatif dari pejabat di Kabinet Dwikora yang mendevaluasi rupiah dari kurs Rp 1000 menjadi Rp 1. Tindakan ini terpaksa diambil karena di kebijakan fiskal, uang sudah meningkat lima kali antara tahun 1964 dan 1965 yang sebanyak Rp2.982,4 miliar.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) mencatat, tarif kendaraan umum rata-rata dinaikkan sampai 1000 persen, beras dinaikkan 300 hingga 500 persen. Gie dalam bukunya yang berjudul Zaman Peralihan (1995) juga menyebutkan bahwa harga bensin dalam setengah bulan naik dari 400 rupiah menjadi 1000 rupiah. Akibatnya, tarif angkutan umum naik tinggi.
Akumulasi dari berbagai masalah tersebut menjadikan masyarakat kian geram. Akhirnya, pada 10 Januari 1966, ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara memprotes ketidakstabilan negara dan menyuarakan tiga tuntutan Tritura. Organisasi-organisasi yang turut serta dalam demonstrasi tersebut antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.
Oleh pemerintah, unjuk rasa tersebut disambut dengan panser, bayonet, serta semburan gas air mata. Tuntutan mahasiswa belum juga dijawab. Pejabat yang ingin ditemui saat itu adalah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III Chaerul Saleh, sedang tidak berada di tempat. Demonstrasi terus terjadi hingga desakan Tritura sampai ke presiden. Lambannya respons pemerintah menjadikan tuntutan demonstrasi melebar hingga terdengar desas-desus untuk menurunkan Sukarno dari jabatannya.
Akibat desakan tersebut, pada 21 Februari 1966 Sukarno akhirnya mengumumkan reshuffle kabinet. Namun, hal ini malah kian memanaskan suasana karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri di dalam tubuh kabinet tersebut.
Massa kembali menuntut presiden melalui demonstrasi pada 24 Februari 1966 yang berakhir bentrok antara mahasiswa dan Resimen Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden). Tembakan yang dilepaskan salah seorang anggota resimen menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arif Rahman Hakim.
Sukarno yang berang terhadap ulah mahasiswa akhirnya membubarkan KAMI atas kericuhan tersebut. Kendati KAMI sudah dibubarkan, gelombang protes tetap tinggi beberapa hari setelahnya. Akhirnya, keluarlah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menunjuk Soeharto, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu, untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara.
Namun, Supersemar justru dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Sukarno sampai akhirnya ia menjadi Presiden RI ke-2 hingga 32 tahun lamanya. Oleh rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, Sukarno dijadikan sebagai tahanan rumah hingga wafat pada 1970.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Januari 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Iswara N Raditya & Irfan Teguh