tirto.id - Tidak ada hari yang lebih melelahkan selain Kamis itu bagi Ismid Hadad. Tak sekalipun terbersit dalam benaknya bahwa di hari itu, 24 Februari 1966, seorang Kepala Biro Penerangan dan Juru Bicara Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat harus mengerjakan tugas yang tak pernah dia duga akan menjadi tanggung jawabnya: mengurus jenazah.
Sejak pagi, agenda kerja Ismid memang agak berbeda. Kemarin-kemarin, dia biasa larut dalam lautan massa berjaket kuning yang sudah satu setengah bulan berdemonstrasi tanpa jeda. Namun pagi itu, dia hanya menjaga pos humas di Salemba 4—kampus bekas gudang candu yang selama 4 bulan terakhir telah dinisbatkan sebagai rumah pergerakan mahasiswa se-Jakarta.
Ismid ingat, dia sedang mencari seseorang di ruang atas Fakultas Kedokteran ketika beberapa orang tiba-tiba datang menghampirinya. Mereka berkata tengah mencari pimpinan KAMI.
“Kebetulan, saat itu saya satu-satunya anggota Presidium Pusat [yang] berada di markas besar. Karena banyak dan derasnya berita tentang kematian dan penembakan terhadap kawan-kawan, tak kuduga sama sekali bahwa akulah yang menerima berita Pahlawan Ampera korban pertama perjuangan generasi muda ini,” ungkap Ismid kepada Christianto Wibisono, sebagaimana dicatat dalam Aksi2 Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari – 11 Maret 1966 terbitan Pusat Sejarah ABRI (1970).
Selain menyampaikan berita, tiga orang kawan yang menghampirinya itu juga menyerahkan sebuah KTP, arloji, dan dua kartu mahasiswa berlogo makara berlumur darah.
“Dia telah tertembak dan gugur seketika di depan istana siang tadi,” pembawa pesan itu berkata singkat.
Ismid tak siap dengan semua itu.Seketika dia bingung apa yang harus dikerjakan.
“Aku tak pernah menerima berita kematian semacam itu, tapi aku harus bertanggung jawab untuk mengurusnya,” tukas Ismid.
Dia lantas bergegas. Seorang dokter kenalan yang sedang memeriksa mahasiswa lain yang terluka diajaknya untuk mencari mobil. Sebelum berangkat, dia menitip pesan ke pos piket, “Saya ke Tanahtinggi untuk memberitahu orang tua korban ini. Tuliskan namanya pada daftar korban di tembok itu: Arief Rachman Hakim, Fakultas Kedokteran UI, mati tertembak.”
Demonstrasi Mahasiswa 1966
Mengapa mahasiswa turun ke jalan? Bagaimana pula hingga Arief Rachman Hakim tewas? Mari kita mundur hingga beberapa bulan sebelumnya.
Demonstrasi besar di mana Ismid Hadad terlibat mulai menggelombang sejak awal 1966. Ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Hulunya adalah tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965.
Beberapa pentolan PKI dan segelintir perwira Angkatan Darat terlibat dalam tragedi itu. Namun, Presiden Sukarno hampir tak berbuat apa-apa dan tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah ini.
Padahal, kemarahan rakyat sudah merebak di mana-mana. Masalah ini masih ditambah lagi dengan keadaan sosial-politik negara yangmemanas imbas dari konfrontasi dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat.
Kekacauan politik yang dibiarkan berlarut-larut itu diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat. Di tengah kekacauan politik, pemerintah malah menaikkan harga sembako hingga meroket sampai 500 persen.
“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membubung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang,” tulis Soe Hok Gie dalam bunga rampai esai Zaman Peralihan (2005, hlm. 4).
Muak dengan pemerintah yang tak becus, mahasiswa lantas melakukan demonstrasi besarpada awal Januari 1966. KAMI yang dibentuk pada 27 Oktober 1965 menjadi penggerak gelombang demonstrasi ini.
Selain KAMI, masih ada beberapa elemen intelektual yang juga turut aksi. Di antaranya Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.
Puncaknya pada 12 Januari 1966, ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga dan mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan ekonominya.
Dalam setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan rakyat yang kemudian masyhur disebutTritura. Pada pokoknya, yang mereka tuntut adalah pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga. Namun, pemerintah bergeming dan berdalih semua itu butuh waktu.
Tuntutan yang tidak segera dipenuhi itu kemudian berubah menjadi desakan agar Bung Karno “turun takhta”.
Presiden Sukarno akhirnya memang merombak kabinet pada 21 Februari 1966. Namun, mahasiswa tak puas dan berdomonstrasi lagi karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri dalam kabinet baru.
Unjuk rasa besar-besaran jilid kedua itu pun berujung kaotis. Pada 24 Februari 1966, terjadi bentrokan antara demonstran dan Resimen Cakrabiwara (pasukan pengawal presiden) di depan Istana Negara. Dalam bentrokan itulah Arief Rachman Hakim tewas tertembak.
Drama Sebelum Pemakaman
Dalam perjalanan ke rumah seorang saudara Arief, kegelisahan Ismid menjadi-jadi.
“Dok, apa yang harus aku katakan pada orang tuanya? Saya tak mampu menyatakan hal sebenarnya.”
Beruntung, sang dokter memahami kecemasan itu. Dia mengambil alih tugas berat itu.Sesampai di rumah saudara Arief, Ismid hanya jadi pendamping dan sang dokterlah yang menyampaikan berita duka. Tidak berapa lama, Ismid bersama sang dokter dan adik perempuan Arief bertolak ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, tempat layon Arief terbujur.
“Di kamar mayat Rumah Sakit Angkatan Darat itu kami saksikan tubuh Arief yang sudah dingin berselubung sehelat kain, yang membekas dengan lingkaran-lingkaran darah di bagian dadanya. Ketika adik perempuan Arief dengan tersedu-sedu membuka selubung wajah Arief, terlihat bagian keningnya membenjol dengan bekas darah yang mengering. Mayat itu belum dibersihkan, belum ada yang mengurus,” ungkap Ismid.
Segera, Ismid keluar dan mencari perawat. Namun belum sempat Ismid menemukan perawat, dia berpapasan dengan Prof. Sjahriar Rasad, Dekan Fakultas Kedokteran UI, yang datang bersama seorang dokter lain. Mereka sama mencari keberadaan jenazah Arief.
Kepada pihak keluarga dan disaksikan Ismid, Prof. Sjahriar berjanji mengurus segala sesuatu tentang pemakaman Arief keesokan harinya. Ismid mencoba menenangkan diri dan kembali ke Salemba 4. Di sana, pihak keluarga dan kawan-kawan Arief sudah berkumpul.
Malam kian larut, tapi Ismid tidak bisa tidur. Dia lalu memutuskan untuk menengok kembali ke RSPAD dan mendapati kenyataan pahit bahwa jenazah Arief belum diapa-apakan. Tak disentuh. Tak dibersihkan. Masih berselubung kain yang sama persis seperti sewaktu dia tinggalkan jenazah itu beberapa jam sebelumnya.
Kontan, perasaan Ismid beraduk. Rasa cemas dan marah membuat dadanya sesak. Bukan saja karena jenazah Arief yang dibiarkan telantar, tapi karena sadar bahwa dia sendirian. Dokter dan perawat RSPAD berdalih tidak berani mengambil tindakan sebelum mendapatkan izin dari atasan. Ambulans RSPAD juga tidak ada di tempat.
Ismid pontang-panting pergi ke Rumah Sakit Carolus dengan becak untuk memintakan layanan ambulans. Nihil. RS Carolus tidak memiliki ambulans yang dapat digunakan malam itu.
Ismid kembali ke RSPAD dengan kecewa, meski juga timbul sedikit kelegaan karena beberapa kawan sudah tiba di sana. Mereka kembali mendesak dokter jaga dan perawat untuk membersihkan jenazah Arief.
Berkat kemurahan hati seorang dokter militer, Ismid berhasil meminjam jip Gaz dengan bak terbuka. Jenazah Arief dinaikkan ke bak didampingi adik perempuannya. Dari belakang, beberapa anggota Resimen Mahajaya mengawal.
Di bawah rintik hujan malam itu, Ismid pun menyetir sendiri kendaraan itu sampai ke rumah duka di Tanahtinggi.
“Kulihat badan Arief tergoncang-goncang di atas mobil bak setengah terbuka. Kakinya terjulur keluar dan tersiram air hujan. Kemalangan tak sampai di situ saja. Di Jalan Tanahtinggi yang berlubang-lubang, mobil jip tiba-tiba mogok, dan sepanjang satu kilometer, kendaraan itu terpaksa didorong oleh rekan-rekan Mahajaya.”
Sesampai di rumah duka, masalah tidak lantas selesai. Keluarga hanya memiliki kain simpanan yang tidak cukup digunakan untuk membalut jenazah. Alhasil, beberapa anggota Mahajaya terpaksa berkeliling menembus malam, menggedor apotek dan toko kelontong yang masih buka demi mendapatkan kafan beberapa gulung dan sekantung kapur barus.
Pemakaman Arief Jadi Momentum
Keesokan harinya, 25 Februari 1966, jenazah Arief disemayamkan di Aula Universitas Indonesia.
Sesuai dugaan, persemayaman dan kemudian prosesi pemakaman Arief menjadi momen kemartiran yang memiliki makna politis sangat pekat. Prosesi konvoi dari Salemba ke Taman Pemakaman Umum Blok P, Kebayoran Baru, seperti memiliki dua rupa: upacara pemakaman pahlawan yang khidmat, sekaligus demonstrasi perkabungan provokatif.
“Mobil ambulance putih, jeep kontingen Bandung, spanduk kumal bertuliskan KAMI. Mahasiswa2 membawa karangan bunga. Gadis berdjaket kuning, dengan wadjah berkabung, di keningnja pita hitam. Muka2 jang terbakar matahari, ber-sesak2 diatas truk, berdjuntaian diatap bus dan mobil2. Djalan raya telah berpagar manusia jang menitikkan airmata,” catat Christianto Wibisono (1970, hal. 76).
Sambutan di pusara Arief disampaikan ganti-berganti oleh banyak tokoh, mulai dari Rektor Universitas Indonesia Prof. Soemantri Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Brigadir Jenderal Sjarief Thajeb, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Arudji Kartawinata, hingga istri mendiang Jenderal Ahmad Yani Yayu Rulia.
Tak ketinggalan, tembakan salvo dari peleton Kodam Jaya turut mengantar Arief ke peristirahatan terakhirnya.
Sejarah mencatat fragmen kematian Arief Rachman Hakim sebagai pamungkas sekaligus awal episode perjuangan Universitas Indonesia dalam ontran-ontran 1965–1966. Pamungkas karena sesudah pawai pemakaman itu, Sukarno memerintahkan langsung pembubaran KAMI. Awal babak baru karena kematian Arief menandai pergantian kekuasaan yang menguji Kampus Makara untuk membuktikan diri sebagai bidan yang turut mempersiapkan kelahiran rezim Orde Baru.
(Bersambung...)
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi