tirto.id - Ibu kota begitu mencekam. Penculikan dan pembantaian para petinggi Angkatan Darat dalam sebuah operasi berdarah telah menggegerkan seantero negeri. Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi tertuduh di balik tragedi yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Kampanye anti-komunis segera menyebar luas. Nyaris seluruh elemen bangsa bergolak, tidak terkecuali kaum muda yang tergabung dalam berbagai organisasi dengan latar belakang yang berbeda-beda tapi memiliki benang merah: tidak sejalan dengan garis ideologis PKI.
Setelah melalui proses dan dinamika yang cukup alot, pada 25 Oktober 1965, persis hari ini 56 tahun yang lalu, terbentuklah suatu wadah untuk menaungi golongan muda dan mahasiswa yang sangat yakin bahwa orang-orang PKI adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Wadah itu bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau disingkat KAMI.
Polemik Terbentuknya KAMI
Sebelum KAMI dibentuk, golongan muda dan mahasiswa Indonesia khususnya di Jakarta sudah memiliki organisasi payung bernama Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Organisasi ini merespons penculikan dengan menyelenggarakan rapat presidium pada 10-23 Oktober 1965 (Pemuda Pembangunan dan Masa Depan, 1987:25).
Namun tidak mudah bagi PPMI menyepakati satu pandangan terkait hal itu. Pasalnya, meskipun kelompok terbesar adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), unsur sayap kiri di PPMI cukup kuat, yakni Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), juga Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi). Ketiganya tak mau ada tindakan keras terhadap PKI.
Kelompok yang dengan tegas menghendaki adanya tindakan keras terhadap PKI adalah organisasi berhaluan kanan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (Somal) dan Mahasiswa Pancasila (Mapantjas) yang lebih condong berideologi nasionalis memang tidak sengotot kubu kanan, namun tampak jelas memberikan dukungan. Begitu pula dengan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Kubu yang kontra-PKI akhirnya kehabisan kesabaran. Mereka melapor kepada Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Sjarif Thajeb terkait pertentangan yang terjadi di internal PPMI. Pak Menteri lalu menyarankan agar diselenggarakan pertemuan antara seluruh perhimpunan mahasiswa pada 25 Oktober 1965. Sjarif bahkan menyediakan rumahnya untuk menggelar forum tersebut.
Rum Aly dalam artikel berjudul Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (2010) mengatakan pertemuan itu tidak menyertakan kelompok mahasiswa pro-PKI. Alhasil, GMNI harus menghadapi serangan-serangan dari kubu sayap kanan sendirian. GMNI yang merupakan organisasi mahasiswa penyokong Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah pendukung setia Presiden Sukarno yang juga masih belum bersikap tegas terhadap PKI. Maka itu, GMNI cenderung menunggu dan berupaya sekuat tenaga menghindarkan PPMI dari kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Menteri Sjarif sendiri sebenarnya bimbang dalam menyikapi pertentangan di tubuh PPMI ini. Di satu sisi ia adalah pembantu presiden, namun di sisi lain terbuka kemungkinan yang lebih menguntungkan dirinya apabila terjadi sesuatu yang buruk pada kekuasaan Sukarno.
Maka, sebagai jalan tengah, Sjarif mengizinkan dibentuknya wadah baru dengan tujuan memberikan respons keras terhadap tragedi G30S, namun dengan syarat: GMNI harus didudukkan sebagai pimpinan utama dalam kepengurusannya.
Maka disepakatilah KAMI sebagai wadah baru meskipun PPMI masih ada.
Aksi KAMI Ganyang PKI
GMNI tidak bersedia masuk dalam jajaran Presidium KAMI bahkan menarik diri. Mereka mundur karena merasa PPMI masih harus dipertahankan.
GMNI ini dipimpin oleh Bambang Kusnohadi. Mereka adalah pendukung PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman (PNI-Asu) yang berhaluan agak kekiri-kirian serta lebih dekat dengan Sukarno. Di pihak lain, ada pula PNI versi konservatif yang dimotori oleh Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja (PNI Osa-Usep (Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia, 2012:122).
PNI Osa-Usep juga punya GMNI sendiri yang dipimpin oleh Soerjadi. Maka, sepeninggal GMNI rombongan Bambang Kusnohadi pendukung PNI Asu, KAMI kemudian menggaet GMNI versi Soerjadi.
Meski Menteri Sjarif kebingungan dengan situasi ini, akhirnya ia mengambil keputusan untuk ikut dengan KAMI–namanya bahkan tercatat sebagai salah seorang pendiri KAMI–yang ternyata berdampak positif terhadap karier politiknya di orde yang baru.
Organisasi baru ini menguat dengan cepat karena mendapat dukungan dari Angkatan Darat, juga kalangan agama termasuk Pemuda Ansor dari Nahdlatul Ulama (NU), hingga para mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Tak hanya itu, kemunculan KAMI juga segera diikuti oleh munculnya perhimpunan serupa seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
Rombongan KAMI segera menjalankan misinya dengan menggelar rangkaian demonstrasi. Mereka mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni: Bubarkan PKI; Rombak/bubarkan Kabinet Dwikora; dan Turunkan harga kebutuhan pokok.
Gerakan yang melibatkan puluhan ribu orang ini ternyata tidak terkendali bahkan menjurus brutal. Kantor Pusat PKI dibakar. Sentimen anti-komunis dan anti-Cina yang kian berkobar diikuti aksi bakar-membakar rumah-rumah dan penghancuran harta, juga nyawa, yang tidak kenal ampun (Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005:283).
Puncaknya terjadi pada 24 Februari 1966, ketika demonstrasi digelar di depan Istana Negara. Massa berujung bentrokan dengan Resimen Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden) hingga menelan korban jiwa, salah satunya adalah seorang demonstran dari Universitas Indonesia (UI), Arif Rahman Hakim.
Demonstrasi besar-besaran itu dilakukan KAMI dan rombongannya sebagai protes atas reshuffle kabinet yang diumumkan Sukarno pada 21 Februari 1966. Mereka tidak puas karena Presiden masih melibatkan orang-orang PKI di pemerintahan.
Sehari setelah demonstrasi besar itu KAMI akhirnya dibubarkan pemerintah.
Meskipun berumur singkat, yakni kurang lebih empat bulan, apa yang dilakukan KAMI merupakan mata rantai penting dalam rangkaian pengganyangan PKI sekaligus meruntuhkan rezim Sukarno alias Orde Lama.
Nantinya, para mahasiswa penggerak KAMI, sebutlah Cosmas Batubara, Akbar Tanjung, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, Abdul Gafur, Zamroni, dan David Napitupulu memperoleh “imbalan” dari penguasa RI selanjutnya, Soeharto. Mereka mendapatkan posisi empuk di pemerintahan selama puluhan tahun.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 25 Oktober 2017 dengan judul 'KAMI Ada untuk Mengganyang PKI'. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Rio Apinino