tirto.id - Artikel ke-3 dari 4 seri. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.
=====
Hari-hari Parlemen Jalanan yang diprakarsai mahasiswa Universitas Indonesia sejak 10 Januari 1966 tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Beberapa saat sesudah rombongan demonstrasi di hari kedua berangkat, Pembantu Rektor I Bidang Akademis Prof. Dr. Slamet Iman Santoso mengadakan rapat pimpinan.
Dia mewakili Rektor Prof. Soemantri Brodjonegoro yang tengah berada di luar negeri. Dekan 8 fakultas dikumpulkan dengan agenda memutuskan sikap terkait gerakan mahasiswa.
“Sebagai hasil ‘persuasion’ Pd. Rektor, Dekan Fakultas Ekonomi, dan Pembantu Rektor Kemahasiswaan, rapat itu memutuskan mendukung tuntutan para mahasiswa sebagai tuntutan jang wadjar dan adil. Sedjak saat itu, Pimpinan UI melaksanakan garis–kebidjaksanaan jang beraspek dua: pertama mengamankan UI terhadap represi dari pihak penguasa, dan dilain pihak mendukung aksi-aksi mahasiswa,” ungkap buku putih Sedjarah Singkat Universitas Indonesia (1967, hal. 65).
Sementara mogok kuliah hari pertama mengambil tempat di Sekretariat Negara, mogok hari kedua berpusat di Jalan M.H. Thamrin hingga Bundaran Hotel Indonesia. Kali ini, para demonstran tak sekadar duduk-duduk membuat kemacetan seperti hari pertama. Kemacetan yang berhasil timbul lantas dimanfaatkan dengan mencorat-coret kendaraan-kendaraan yang lewat, terutama bus PPD, oplet, dan sedan mewah.
Jadilah mobil-mobil yang tak bisa bergerak itu bagaikan spanduk protes mahasiswa. Rupa-rupa jargon protes terpampang di sana, seperti “Turunkan harga”, “Menteri tukang ngobyek”, “Harga gila”, hingga “Stop bini muda”. Semuanya menggambarkan ekspresi mahasiswa yang tercekik iklim politik, tapi tak kuasa mengubah keadaan.
Dalam keadaan tertekan itu pula, yel-yel penyemangat dan humor-humor gelap lahir di kalangan mahasiswa demonstran yang menjadikan kenyataan sehari-hari sebagai penggerak mereka mogok kuliah.
Mahasiswa bahkan ikut memprovokasi penumpang-penumpang bus PPD agar membayar tarif bus sesuai tuntutan mahasiswa, yakni Rp200.
“Apabila kondektur menolak, harap catat nomor mobilnya dan laporkan kepada mahasiswa,” tulis Yozar Anwar mengenang “provokasi” itu dalam catatan harian Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa (1981, hal. 12).
Selama tiga hari berikutnya, mahasiswa bergerak menyasar objek-objek vital yang dapat dijangkau, mulai dari Gedung DPR-GR di Senayan pada hari Rabu, gedung Bank Indonesia dan Departemen Migas pada hari Kamis, hingga instalasi milik Pertamina di Priok pada hari Jumat.
Semua objek itu didatangi mahasiswa dengan membawa resolusi tuntutan kepada pihak berkepentingan. Kepada petinggi Organisasi Angkutan Darat (Organda) hingga Direktur Penjualan Pertamina, misalnya, mahasiswamenuntutpenurunan tarif bus dan agar harga bensin tetap Rp250.
Stasiun-stasiun pengisian bahan bakar pun tidak luput dari pengawasan. Mahasiswa mengintimidasi sopir-sopir mobil yang mengisi bensin agar tidak mengisi lebih dari 10 liter.
Bikin Sukarno Marah
Petang hari itu, Sekretariat KAMI menerima undangan dari Istana untuk hadir di Sidang Paripurna Kabinet Dwikora. Undangan serupa juga dilayangkan ke kotak surat petinggi GMNI dan GMKI.
“Kesan pertamaku adalah bahwa ini tentu rencana Presiden untuk memecah-belah mahasiswa,” ungkap Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (2011, hal 146).
Tidak mau kehilangan muka di depan Pemimpin Besar Revolusi, Gie memprakarsai ide menggeruduk Kota Bogor dengan bersepeda.
“Belum pernah terdjadi pengerahan kendaraan jang begitu spontan, jang begitu katjau dan mendadak seperti jang terdjadi Saptu pagi itu,” tulis Christianto Wibisono dalam Aksi2 Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari – 11 Maret 1966 (1970, hal. 27).
Aksi bersepeda itu dimulai dengan menyetop kendaraan yang mampu mengangkut orang dan sepeda dalam jumlah besar, mulai dari truk, pikap, sampai jeep.
“Tidak ada yang ke kantor. Semua ke Bogor. Hari ini mahasiswa ikut sidang kabinet menghadapi menteri-menteri goblok,” teriak mahasiswa saat membajak kendaraan-kendaraan itu. Sesampai di Bogor, sepeda-sepeda diturunkan dan langsung membuat perhatian tentara yang berjaga terpecah,” tulis TEMPO dalam Gie dan Surat-Surat yang Tersembunyi (2016, hal. 17).
Tiba di Bogor tengah hari, antusiasme penduduk Bogor ternyata tidak semeriah sambutan aksi-aksi demonstrasi di Jakarta. Sebaliknya, Sukarno naik pitam dan mengutuk demonstrasi yang terjadi dalam pidato di Sidang Kabinet yang disiarkan Radio Republik Indonesia. Kontan, emosi mahasiswa meledak dan coba merangsek masuk ke Istana, hingga pasukan Cakrabirawa harus melepas tembakan peringatan ke atas berkali-kali.
“Mahasiswa-mahasiswa mendatangi Cakra[birawa] yang menembak. Secara histeris, ia mencekik leher bajunya. ‘Kau juga punya istri, bukan? Punya anak,’ katanya sambil menangis dan mengguncang-guncangkan badan Cakra tadi. Cakra tadi terdiam dan ia pun menangis (air matanya berlinang-linang),” kenang Gie dalam catatan hariannya (2011, hal. 149).
Amarah Sukarno tak terbendung. “Masakan Menteri-Menteri, orang-orang yang lebih tua dari mereka, dituduh goblok. Masakan ibu-ibu yang naik mobil dikatai dengan omongan-omongan kotor.”
Tanpa tedeng aling-aling, Sukarno menuding gerakan mahasiswa merupakan mantel dari usaha untuk mendongkelnya dari kepemimpinan revolusi Indonesia.
Kemarahan Sukarno ternyata tidak rampung di sidang itu. Malam Senin, si Bung Besar menyerukan agar mereka yang masih setia padanya membentuk “Barisan Sukarno” dan siap siaga berdiri di belakang komandonya. Dengan kata lain, KAMI telah direken sebagai lawan politik oleh Sukarno.
Karenanya, tidak ada pendekatan lain untuk menghadapinya, selain cara untuk menghancurkan lawan politik.
Seruan Sukarno kemudian ditanggapi oleh mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Bung Karno (UBK) yang didominasi eksponen GMNI pro-Sukarno. Faksi ini juga dikenal sebagai GMNI-Ali Surachman yang secara peyoratif dijuluki “GMNI ASU”.
Hari Selasa, 18 Januari 1966, grup mahasiswa UBK mendeklarasikan pembentukan “Gerakan Mahasiswa Universitas Bung Karno” atau Gema Bung Karno. Sehari kemudian, Barisan Sukarno Front Nasional terbentuk bersamaan dengan dikeluarkannya instruksi Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) Djakarta Raya yang melarang demonstrasi di seluruh Jakarta.
Jawaban KAMI
Di hari yang sama dengan terbentuknya Gema Bung Karno, delegasi KAMI sekali lagi dipanggil Sukarno ke Istana Negara. Seakan tak habis di Istana Bogor, amarah Sukarno sekali lagi ditumpahkan kepada wakil-wakil mahasiswa. Debat kusir tak terhindarkan, terutama karena mahasiswa dianggap melakukan vandalisme terhadap kediaman Hartini dan mengecam cara-cara demonstrasi yang dia yakini ditunggangi oknum anti-Sukarno.
Hari-hari sesudah 19 Januari menjadi periode ofensif terhadap KAMI yang kini dipaksa untuk menghadapi musuh ganda: rezim yang alot dan kelompok mahasiswa yang menjadi kaki-tangannya.
Serangan fisik berupa pelemparan batu, pengepungan, hingga pengeroyokan kemudian turut menyertai aksi mogok kuliah yang tetap berjalan. Poster-poster yang ditempel di depan kampus Salemba tak sekali dirobek-robek dan demonstrasi disusupi dari kanan-kiri.
Melihat mogok kuliah tak tampak membuahkan hasil selain serangan balik, terbersitlah rencana untuk menghentikan mogok kuliah. Banyak mahasiswa yang tak setuju dengan ide ini.
Apel Siaga Mahasiswa UI kemudian digelar pada 1 Februari 1966. Dalam apel itu, Pimpinan KAMI Pusat menyatakan bahwa mereka memahami kekecewaan mahasiswa atas penghentian aksi mogok selagi tuntutan belum dipenuhi. Mereka beralasan bahwa manuver ini perlu dilakukan untuk menghindari konfrontasi yang tidak diperlukan.
Meski langkah mundur telah dipersiapkan dan kebijaksanaan KAMI diterima mengingat situasi dan kondisi telah memperlihatkan lanskap pecah belah yang sengit, serangan fisik faksi-faksi mahasiswa pro-Sukarno tidak serta-merta berhenti.
Rabu pagi, 2 Februari 1966, beberapa saat sesudah UI memperingati dies natalis dua windu dengan apel serba sederhana, gerombolan massa kontra-KAMI kembali melakukan penyerangan.
“Mereka menggunakan pentungan, batu2, dan menimbulkan beberapa korban. Peladjaran ini membuktikan bahwa pemaksaan suatu ‘normalisasi’ dalam keadaan jang ‘hyper-abnormal’ adalah langkah jang tidak tepat dan tidak efektif,” catat Aksi2 Tritura (1970, hal. 51).
Realitas semacam itu menyebabkan kebijakan penghentian mogok kuliah kembali diperdebatkan. Ketua KAMI UI Abdul Gafur menyatakan bahwa aksi-aksi mahasiswa tidak akan terhenti karena mogok kuliah dicabut dan karenanya mendukung instruksi Rektor UI agar kegiatan kurikuler kembali diaktifkan sesudah 2 Februari.
Sebaliknya, Presidium KAMI Djakarta Raya menyatakan agar mogok kuliah diteruskan sampai tuntutan mahasiswa dilaksanakan.
Melangkahi perdebatan itu, mogok kuliah gelombang kedua diteruskan mulai Kamis, 3 Februari 1966, dengan agenda pertama ziarah kubur ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dari arah selatan, mahasiswa bergerak ke pusat dan mendatangi kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat sebelum merangsek Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok di Jalan Gajah Mada. Karena sambutan dingin yang diberikan pihak Kedutaan Tiongkok, perusakan pun tidak terhindarkan.
Serupa dengan ofensif terhadap mogok kuliah gelombang pertama, mogok gelombang kedua pun tidak luput dari serangan yang lebih fatal. Demonstrasi tandingan digelar dan kadang meneriakkan aspirasi yang bertolak-belakang. Pertikaian fisik terparah terjadi saat demonstrasi 7 Februari 1966, ketika seorang mahasiswa faksi GMNI-Asu menikam Ketua Senat FK UI Abdul Razak hingga terluka parah.
Lebih jauh, tekanan terhadap KAMI tak hanya disampaikan lewat kontrol informasi yang diperketat. Berita-berita terkait demonstrasi KAMI disensor redaksi surat kabar yang ditekan oleh Menteri Penerangan. Kalaupun terbit, itu hanya di halaman dalam dan merupakan berita kecil. Informasi rilis pers yang diterbitkan Biro Penerangan KAMI bahkan ditolak mentah-mentah oleh redaksi koran-koran ibu kota.
“Aku ingat tiap malam dengan sepeda dan perut lapar keliling ke kantor2 berita dan surat kabar, mengirim berita KAMI jang tak pernah dimuat bahkan tak djarang ditjemoohkan,” kisah Ismid Hadad dalam Aksi2 Tritura (1970, hal. 57).
Tekanan mematikan langkah KAMI dengan pemblokiran informasi ini mendorong lahirnya Radio Ampera yang kelak mulai mengudara pada 28 Februari 1966 dengan pemancar sederhana hasil rakitan mahasiswa Fakultas Teknik.
Apel siaga rutin digelar di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba 6, tiap pagi. Walakin, mogok gelombang dua ternyata hanya bertahan dua pekan sebelum Presidium KAMI Djakarta, KAMI Pusat, dan KAMI UI menyepakati konsensus bahwa terhitung 16 Februari 1966, garis-garis perjuangan akan menempuh langkah baru sebagai taktik politik menghadapi manuver alot dari pemerintah.
(Bersambung...)
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi