Menuju konten utama

Jalan Pena Soe Hok Gie

Gie adalah sosok yang mencemplungkan diri dalam persoalan-persoalan bangsa. Ia bukan sosok yang menekuni buku-buku di ketinggian menara gading.

Jalan Pena Soe Hok Gie
Ilustrasi Mozaik Soe Hok Gie. tirto.id/Nauval

tirto.id - Jenazah Soe Hok Gie diturunkan dari puncak Gunung Semeru ke kota besar terdekat, Malang. Teman Soe Hok Djin atau Arief Budiman (kakak kandung Gie) membantu menyiapkan peti jenazah.

“Untuk siapa peti jenazah ini?” tanya sang pembuat peti.

“Soe Hok Gie,” jawab teman Arief.

“Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?”

Ketika sang teman mengiyakan, sontak pembuat peti menangis. Saat ditanya mengapa menangis, ia menjawab, “Dia orang berani. Sayang dia meninggal.”

Kisah ini dipaparkan Arief saat mengantarkan Catatan Seorang Demonstran. Bersama Idhan Lubis, Gie meninggal dunia pada 16 Desember 1969 lantaran menghirup gas beracun dari kawah Semeru. Tapi dibutuhkan seminggu sampai jenazahnya tiba di Malang lalu diterbangkan ke Jakarta. Cuaca buruk menghalangi proses evakuasi dilakukan dengan lekas.

Pada 1995, dua mantan aktivis mahasiswa, Stanley dan Aris Santoso, mengumpulkan tulisan-tulisan Gie, mengikatnya menjadi satu buku berjudul Zaman Peralihan. Penerbitan ini melengkapi potret Gie. Bukan hanya aktivis jalanan seperti tergambar di Catatan Seorang Demonstran, melainkan juga pemikir dan penulis prolifik. Tulisan Gie muncul di Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan sejumlah koran lain.

Ada 36 esai yang dicemplungkan ke antologi itu. Esai-esai tersebut terbit pada periode 1967-1969, yang merupakan tahun-tahun terakhir Gie sebagai mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Indonesia.

Kalau kita membuka ulang Zaman Peralihan, segera tampak bahwa Gie bukanlah sejarawan akademis. Hanya ada dua tulisan di sana yang membahas peristiwa atau sosok di masa lalu sebagai subjek kajian. Yaitu, tulisan tentang Mas Marco Martodikromo dan risalah tipis tapi fenomenal karya Sutan Sjahrir bertajuk “Perjuangan Kita.”

Gie benar-benar mencurahkan perhatian pada situasi terkini bangsa, merespons itu semua dalam tulisan-tulisannya. Gelombang perubahan Indonesia saat itu terlalu kuat dan besar untuk dielakkan. Ada kebutuhan mendesak untuk bersuara ketika Indonesia meniti jalan transisi yang licin dan terjal, ketika zaman peralihan berlangsung dari Orde Lama ke Orde Baru.

Gie adalah sosok yang mencemplungkan diri dalam persoalan-persoalan bangsa. Ia bukan sosok yang berdiri di kejauhan, menekuni buku-buku di ketinggian menara gading.

Kemanusiaan di Atas Segalanya

Tulisan-tulisan di Zaman Peralihan dipilah menjadi empat bagian: Masalah Kebangsaan, Masalah Kemahasiswaan, Masalah Kemanusiaan, dan Catatan Turis Terpelajar.

Hal pertama yang patut dicatat, Gie mungkin cendekiawan pertama Indonesia yang menyoal pembunuhan besar-besaran pasca-G30S, khususnya di Pulau Bali. Ia menulis dengan nama samaran “Dewa” di mingguan Mahasiswa Indonesia pada Desember 1967.

“….di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka yang mengerikan, yang mungkin tiada taranya dalam jaman modern ini baik dari sudut waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka yang disembelih,” tulis Gie dalam “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali.”

Gie tak menyoal siapa di balik G30S – bahkan terkesan ia percaya PKI memang menjadi dalang. Namun, ia sangat mempermasalahkan kenapa ada banyak manusia tak berdosa menjadi korban tragedi tersebut.

Dalam esai “Sebuah Prinsip dan Kematian Seorang Profesor Tua” yang dimuat di Mahasiswa Indonesia, Juli 1968, keberpihakan Gie pada nilai-nilai kemanusiaan kembali terpancar terang. Guru besar Fakultas Kedokteran UI, Soekirno, meninggal dunia dengan berstatus tahanan politik terkait G30S. Hampir tiga tahun ia mendekam di sel tanpa pernah diadili.

Gie membandingkan dengan nasib Sutan Sjahrir yang wafat dalam status tahanan politik di masa Orde Lama. Hingga akhir hayat Sjahrir tidak pernah diadili. Gie memprotes: mengapa Orde Baru, yang memakzulkan Orde Lama, meniru praktik keji rezim yang ditumbangkannya?

“Kematian Prof Dr Soekirno telah terjadi, dan juga tak dapat dicegah. Yang dapat kita lakukan adakah memikirkan perlakuan terhadap 80.000 tawanan politik Orde Baru, yang kini ada di penjara-penjara dan kamp konsentrasi di seluruh Indonesia. Agar kepada mereka pun prinsip-prinsip yang adil juga dijalankan,” tulis Gie.

GIE DAN MAPALA

Foto Gie saat naik gunung. Dihitung dari kanan; Gie, Herman Lantang, dan Idhan Lubis. Foto/istimewa

Dalam esai lain, kritik setajam silet juga dilayangkan Gie kepada para mahasiswa, menyajikan sisi buram wajah mereka.

”Yang paling menyedihkan saya dewasa ini adalah bahwa banyak mahasiswa (baca: pemimpin-pemimpin mahasiswa) yang mengingkari hakikat kemahasiswaan dan kepemudaan. Yang tumbuh dalam kampus adalah suasana kepicikan dan kemunafikan. Di fakultas saya ada beberapa kelompok mahasiswa yang anti-dansa secara berlebihan. Seolah-olah dansa adalah iblis-iblis yang akan merusak moral pemuda,” tulis Gie dalam “Mimpi-mimpi Seorang Mahasiswa Tua.”

Lumrah belaka jika mereka gemar menonton film – bahkan yang jorok dan murahan, mendaki gunung, menggelar lomba olah raga, juga bergurau dengan sesama.

Namun, ada saatnya mahasiswa harus tegas, turun ke jalan, berani menghadapi panser-panser yang mau menginjak-injak demokrasi. Lantang bilang tidak terhadap siapa saja yang ingin merusak rule of law.

“Mimpi saya yang terbesar…agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”… Pemuda-pemudi bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda, dan sebagai seorang manusia,” tulis pria ceking yang lahir di Jakarta 17 Desember 1942 tersebut.

Bukan Sejarawan Mumpuni

Di kampus, Gie pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Teknik Studi. Adik kelasnya, Mona Lohanda (2009), bercerita bahwa mata kuliah ini memberi keterampilan pada mahasiswa baru agar mampu menyusun karya ilmiah dengan baik.

Ada satu hal diingat Mona dari penyampaian Gie dalam kuliah tersebut. Yaitu, menulis ilmiah tidak perlu harus selalu datar. Gaya penulisan bisa naratif-deskriptif, persuasif, atau provokatif. Gie mencontohkan karya sejarawan Harry J Benda berjudul The Crescent and The Rising Sun. Judul ini bersifat metaforis. Sub-judulnya yang lugas menjelaskan: Indonesia under the Japanese Occupation 1942-1945.

Judul skripsi Gie sendiri berkadar sastra: Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948.

Dalam pengantar Catatan Seorang Demonstran, guru besar UI, Harsya W Bachtiar, menulis, “Soe Hok Gie tidak dapat dikatakan sebagai sarjana dalam arti sempit karena ia kurang sabar mempelajari persoalan-persoalan sejarah secara teratur dan teliti. Memang benar ia berhasil menyelesaikan studi sehingga mendapat ijazah sarjana sastra dari universitasnya, Universitas Indonesia, tapi ia tak dapat dianggap sebagai seorang ahli sejarah yang baik.”

Harsya menggolongkan Gie sebagai cendekiawan muda yang penuh cita-cita untuk mengubah bangsa. Protes yang disampaikan berangkat dari kejujuran dan itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi selalu jujur.

Mungkin jika Gie berumur panjang dan masa transisi kelar, ia akan mencurahkan perhatian pada kajian sejarah. Mungkin ia akan seperti seniornya di Sejarah UI, Ong Hok Ham, yang rutin menulis kolom-kolom sejarah di koran.

Barangkali juga tidak: Gie bakal terus bergelut dengan persoalan-persoalan masa kini di depan mata.

Meski kerap dibilang sebagai individu yang teguh berpendirian, Gie bukan tak pernah disergap keraguan. Beberapa saat sebelum dijemput ajal, ia sempat curhat ke Arief Budiman. Intinya mempertanyakan “jalan pena” yang dipilihnya sebagai penulis.

“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar….Makin lama, makin banyak musuh saya dan semakin sedikit orang yang mengerti saya,” ujar Gie.

Pada 24 Desember 1969, pesawat Antonov milik TNI Angkatan Udara membawa jenazah Gie dari Malang ke Jakarta. Arief Budiman, yang kelak menjadi sosiolog terkemuka, ikut di pesawat.

Pesawat sempat transit di Yogyakarta. Pada saat itulah, pilot berbicara ke Arief, ”Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak kalau dia hidup terus.”

Hanya 27 tahun tapi Gie menjalani hidup yang nir-mubazir, sangat berguna. Juga pilihannya untuk menulis, menyuarakan kebenaran dan membela mereka yang dinistakan.

Baca juga artikel terkait SOE HOK GIE atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono