Menuju konten utama
Aktivis UI & Fajar Orde Baru

Universitas Indonesia Menyambut Fajar Orde Baru Merekah

Kampus UI sempat ditutup Sukarno untuk menghentikan gerakan mahasiswa. Tak kendur hingga riwayat kuasanya tamat.

Universitas Indonesia Menyambut Fajar Orde Baru Merekah
Demonstran Tritura tahun 1966. FOTO/Dok.BBC

tirto.id - Artikel terakhir dari 4 seri. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.

=====

Gara-gara gelombang aksi demonstrasi 1966 dan Tritura yang mereka dengungkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendapat berbagai tekanan politik. Yang terang, Presiden Sukarno mulai jengah pada aksi-aksi mereka. Pun, kontrol informasi terhadap KAMI juga diperketat.

Sadar akan rintangan itu, pucuk-pucuk pimpinan KAMI memilih untuk bermanuver, mencari alternatif aksi lain yang mungkin lebih efektif. Maka Presidium KAMI Djakarta, KAMI Pusat, dan KAMI UI menyepakati konsensus bahwa terhitung 16 Februari 1966, garis-garis perjuangan akan menempuh langkah baru sebagai taktik politik menghadapi manuver alot dari pemerintah.

Kurang dari 96 jam sejak KAMI sepakat menganjurkan mahasiswa kembali ke bangku kuliah dan mengubah garis perjuangan menjadi lebih moderat, pemerintah mengumumkan susunan Kabinet Dwikora II beranggotakan 100 menteri.

Mahasiswa menjuluki kabinet bentukan Sukarno yang ambisius ini sebagai Kabinet Gestapu. Mereka menganggap kabinet baru tersebut semata-mata adalah perwujudan ambisi politik Sukarno yang ingin mengamankan jabatan kepresidenannya.

Seratus orang menteri yang ditunjuk Sukarno diklaim merupakan penyempurnaan yang dia pilih sendiri dan “....bukan oleh desakan siapapun, djuga bukan oleh jang menamakan dirinja KAMI”.

KAMI terang menolak kabinet baru ini dan kembali turun ke jalan. Konsekuensinya, KAMI mesti lebih siap menghadapi represi yang semakin menjadi-jadi. Aparat kini bahkan tak ragu-ragu menggunakan kekerasan dan senjata.

Arief Rachman Hakim yang tertembak peluru tajam Cakrabirawa di depan Istana Negara adalah buktinya. Setelah pawai pemakamannya, Sukarno bahkan melikuidasi KAMI dan menginstruksikan agar mahasiswa dilarang berkumpul lebih dari 5 orang.

Kombinasi instrumen kekerasan, tekanan politik yang sangat besar, dan kematian Arief Rachman Hakim menjadi stimulus yang lebih dari cukup membuat mahasiswa tiarap dan memilih bergerak di bawah tanah. Caranya lewat publikasi ilegal dan jaringan radio amatir yang mulai mengudara pada malam 28 Februari 1966 dengan stasiun siaran di Salemba 6.

Siaran-siaran dari Radio Ampera, nama jaringan itu, yang mengudara lewat jaringan gelap dimuati dengan pesan politik anti-Sukarno. Para aktivis mahasiswa juga menyebarkan pamflet-pamflet dan majalah dari tangan ke tangan, mulai dari Patriotik, Berita Ampera, Berita Perdjuangan yang berbentuk buletin, hingga majalah Gema Psychologi yang memublikasikan pertama kali puisi-puisi “Tirani” dan “Benteng” gubahan Taufiq Ismail.

Sukarno Menutup Kampus

Merunduknya gerakan mahasiswa ke bawah tanah nyatanya tidak memuaskan Sukarno. Bung Besar menganggap gerakan mahasiswa yang berporos di Universitas Indonesia masih tegak berdiri—dan memang begitulah kenyataannya. Penahanan sejumlah Presidium KAMI Pusat di Lapangan Banteng rupanya tak membuat perlawanan mengendur begitu saja.

Maka Dr. Subandrio membuat rentjana untuk membubarkan pula Universitas Indonesia dan mendjadikannja tjabang Universitas Bung Karno, atau setidaknja membersihkan pimpinan dan korps dosen UI dari unsur-unsur perlawanan yang dianggap menghasut,” catat buku putih Sedjarah Singkat Universitas Indonesia (1967, hal. 67).

Rencana Subandrio tersebut tak lepas dari keyakinannya akan “teror harus dilawan kontrateror”.

Sukarno tak hanya gertak sambal. Sepekan setelah KAMI dibubarkan paksa, melalui SK Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) No. 44, Sukarno memerintahkan Universitas Indonesia ditutup pada 2 Maret 1966. Seluruh kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler kampus kemudian dilarang sejak Kamis, 3 Maret 1966.

Tanpa daya, rapat pimpinan UI memilih bertahan dalam tiarap, dengan keyakinan bahwa penutupan kampus tak akan memulihkan “ketertiban” begitu saja. Pasalnya, mahasiswa yang dipaksa melepas jaket kuning kini telah membaur dalam unjuk rasa Kesatuan Aksi Pemuda Peladjar Indonesia (KAPPI) sebagai anggota Laskar Arief Rachman Hakim yang dibentuk pada 1 Maret 1966 dan dipimpin oleh Fahmi Idris.

KAPPI yang beranggotakan pelajar SMA dan SMP itu semula melancarkan tuntutan unuk mencopot Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan Sumardjo. Organisasi ini kemudian menjadi kendaraan baru mahasiswa untuk melancarkan aksi vandalisme ke gedung-gedung kementerian, tak kecuali Kementerian Luar Negeri pada 8 Maret 1966.

Perabotan dan peralatan kantor Menlu pengandjur ‘kontra-teror’ itu diporakporandakan hingga memenuhi halaman Departemen,” catat Christianto Wibisono dalam Aksi2 Tritura: Kisah Sebuah Partnership 10 Djanuari—11 Maret 1966 (1970, hal. 84).

Penutupan UI secara sepihak nyatanya menjadi episode terakhir sebelum Surat Perintah 11 Maret 1966 dikeluarkan. Surat yang menugaskan Mayor Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat mengambil tindakan memulihkan ketertiban ini segera membuka pasung yang dipacakkan Sukarno ke Kampus Makara selama 8 hari lamanya.

Sorak-sorai show of force oleh RPKAD pada 12 Maret, menjadi episode puncak “kemenangan” mahasiswa ini.

Kampus UI Dibuka Kembali

Tak ingin membiarkan momentum puncak berlalu, Rektor UI Prof. Soemantri Brodjonegoro bergerak mempersiapkan pembukaan kembali kampusnya. Dua pucuk surat yang diterimanya, masing-masing dari Soeharto atas nama Presiden dan dari Kodam V Jaya, menjadi kredensial bagi Soemantri melakukan hal itu.

Soemantri lantas bergerak cepat mempersiapkan administrasi dan merehabilitasi dosen-dosen yang dimasukkan dalam daftar hitam pemerintah Sukarno. Mahasiswa pun diberi jeda untuk menyimpan mental demonstran untuk siap kembali ke kampus dan memulai perkuliahan.

Senin pagi, 4 April 1966, dengan upacara serba jatmika, Soemantri menyatakan UI telah dibuka kembali untuk perkuliahan. Mula-mula akan didahului kuliah-kuliah umum sebelum seluruh kegiatan pembelajaran di kelas mulai normal pada 12 April. Dalam upacara pagi itu juga, Soemantri menganugerahkan gelar dokter anumerta kepada mendiang Arief Rachman Hakim yang tertembak dua bulan sebelumnya.

Melangkah lebih dari seremonial, Soemantri mempersiapkan civitas academica UI untuk proaktif dalam menyongsong kelahiran Orde Baru. Tidak lagi dengan aksi massa, tapi melalui seminar ilmiah yang mewadahi para cendekiawan mengemukakan berbagai masukan kualitatif yang menjadi cetak biru rezim baru.

Tak sampai sepekan setelah perkuliahan dimulai, Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FH-IPK) UI bekerja sama dengan Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia (KASI) mengadakan Seminar Pers. Beberapa hari sebelumnya, telah diselenggarakan pula seminar terbuka yang menginterpretasikan ulang makna Undang-Undang Dasar 1945 bagi kehidupan bernegara.

Di situlah kebebasan akademi dibangkitkan lagi setelah begitu lama ditindas. Sungguh UI adalah pelopor di antara semua universitas di tanah air,” komentar P.K. Ojong dalam rubrik “Kompasiana” di harian Kompas, 1 September 1966.

Mimbar Ilmiah Menyongsong Orde Baru

Tak selesai dengan dua seminar, lewat sepekan giliran Fakultas Ekonomi menggandeng KASI dan KAMI Jakarta Raya mengadakan simposium bertajuk “Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” di Aula Universitas Indonesia, Jalan Salemba 6.

Forum ini tak kurang menjadi persumuhan terbesar kaum cerdik cendekia lintas-disiplin sejak Indonesia merdeka. Ia menghadirkan 6 moderator, 23 panelis dengan referat, 52 orang pembicara umum, dan dihadiri 15 rektor dan puluhan dekan dari universitas seluruh Indonesia. Keseluruhan simposium sendiri berlangsung selama 4 hari, 6–9 Mei 1966.

Sesuai nama, Ali Wardhana selaku ketua panitia di pembukaan acara menegaskan tujuannya adalah mencari tracee baru, “[....] jang memungkinkan penjaluran kebangkitan semangat ’66 kesegala bidang, baik bidang idiologi, politik, sosial, ekonomi, maupun budaja.”

Bagi Ali, Simposium Kebangkitan Semangat ’66 menjadi kristalisasi dari semangat dan energi mahasiswa yang sungguh meluap-luap, dan karena itu harus dimanfaatkan, “[....] untuk kepentingan pembinaan Bangsa dan Negara diatas landasan Negara Pantja Sila dan UUD ’45 jang murni.”

Cita-cita Ali diamini oleh Rektor Prof. Soemantri Brodjonegoro saat naik mimbar.

Kami merasa didorong tanggungdjawab jang besar untuk memobilisir potensi2 Universitas Indonesia agar memberikan sumbangan jang njata positif dan ikut menentukan arah daripada perdjoangan kita selandjutnja, berlandaskan analisa akademis, hati nurani jang murni, tanpa vested interest, terlepas dari kepentingan golongan dan perorangan, benar2 sepi ing pamrih rame ing gawe,tuturnya.

Pamungkas pembukaan simposium adalah sambutan Mohammad Hatta yang membawa prasaran “Peranan Pemuda Menudju Indonesia Merdeka, Indonesia Adil dan Makmur”.

Hatta memuji keberanian Angkatan 1966 yang menurutnya telah membuka jalan menuju pemulihan “Pancasila garis lurus” sambil “melawan imperialisme ideologi dari utara”. Apresiasi itu juga disertai petuah yang dia pinjam dari naskah pleidoinya di muka Mahkamah Belanda pada 1928.

Simposium hari pertama memiliki satu sesi bidang ideologi yang diberi judul “Kembali ke Rel Pantjasila”. Tampil sebagai moderator Prof. Slamet Iman Santoso. Ada empat panelis yang berbicara, yakni Prof. N. Drijarkara, Timur Djaelani, David Napitupulu, dan Fuad Hassan. Masing-masing membawakan kertas kerja dalam sesi yang berlangsung hampir 4 jam lamanya.

Sesi-sesi selanjutnya berulang dalam format yang sama selama 3 hari berikutnya. Simposium hari kedua membawakan topik politik dalam dan luar negeri, lalu topik bidang sosial dan ekonomi di hari ketiga, dan hari terakhir diisi topik kebudayaan.

Infografik SC Tritura

Infografik SC Tritura. tirto.id/Fuad

Simposium Kebangkitan Semangat ’66 mengundang panelis dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, dosen, guru besar, jurnalis, hingga ABRI yang diwakili Mayor Jenderal Suwarto dari Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad).

Suasana simposium berlangsung dalam komposisi serius dan santai. Iklim kebebasan di mimbar akademik sangat terasa, hingga Rektor Universitas Andalas tak percaya.

Katanya, “Apakah saya selama dua hari ini mimpi? Kalau kebebasan berbicara ini dilaksanakan di daerah, pembesar setempat pasti turun tangan.”

Kesempatan bicara tak hanya diberikan pada panelis. Para pembicara nonpanelis dan peserta pun boleh ikut serta berpendapat. Salah satunya adalah Ir. Pangestu Sugondo dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Dia mengkritik menteri-menteri Sukarno yang sangat abai pada kepakaran teknis seorang insinyur.

Ketika jalan-jalan rusak di ibu kota,” tukas Pangestu mencontohkan, “para insinyur dari PII disuruh membetulkannya. Minta ampun. Apa dikiranya semua insinyur itu bisa bikin jalan? Tapi yang namanya perintah is perintah waktu beberapa tahun yang lampau, maka insinyur kimia yang bekerja di pabrik sabun juga membuat jalan. Hasilnya? Ya, apalagi kalau bukan jalanan sabun! Sekali turun hujan, langsung lumer dan bolong-bolong lagi!”

Kesimpulan simposium dibacakan pada hari terakhir oleh Dr. Emil Salim dari FE UI. Dia membungkus seluruh pendapat para panelis dengan harapan bahwa Orde Baru bakal menciptakan sebuah negara, “[....] dimana hukum dan keadilan dipegang teguh, dimana kebahagiaan umat manusia Indonesia tertjipta di dalam kerangka hidup kekeluargaan, dimana kesedjahteraan sosial mentjapai titik2 puntjaknja, dimana hidup kebudajaan berkembang mekar dan mewangi.”

Fajar Orde Baru

Agenda UI tidak selesai dalam simposium tersebut. Jelang Sidang MPRS pada Juni, UI menerbitkan serangkaian publikasi melalui surat-surat kabar tentang seluk-beluk sidang serta butir-butir penting yang harus disimak masyarakat dari persidangan tersebut.

Selama jalannya sidang, sejumlah dosen yang dianggap memiliki kompetensi turut serta dalam tim kerja lintas komisi. Merekalah yang kemudian turut menelurkan program-program Kabinet Ampera yang dilantik pada 25 Juli 1966.

Di luar Jakarta, UI bermitra dengan Seskoad Bandung untuk mengadakan kursus-kursus di bidang ekonomi dan politik untuk para perwira Angkatan Darat. Fakultas Sastra mengadakan Seminar Bahasa dan Sastra bekerja sama dengan IKIP pada November, sedangkan Fakultas Psikologi mengadakan praseminar Pancasila pada Desember 1966.

Puncaknya, UI mengutus sejumlah dosen menjadi anggota task force daripada Soeharto untuk merancang arsitektur perekonomian Orde Baru. Task force ini beranggotakan antara lain Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Radius Prawiro, Mohammad Sadli, dan Subroto.

Kelompok ekonom inilah yang kekal dalam julukan “Mafia Berkeley”, dengan Widjojo sebagai ketua yang selama 14 tahun duduk di kursi Badan Perancang Pembangunan Nasional antara 1967-1983.

Meski plakat “Kampus Perjuangan Orde Baru” telah dicopot dari depan gedung kampus UI di Salemba dan pusat aktivitas perkuliahan dipindahkan ke Depok sejak 1987, kisah mesra UI menegakkan Orde Baru lewat aksi massa dan mimbar ilmiah tetap tak terhapus. Heroisme jaket kuning, yang kemudian “dipinjam” sebagai atribut partai penguasa Orde Baru, menjadi bukti tak terbantah peran intelektual UI sebagai karburator mesin kekuasaan.

Baca juga artikel terkait TRITURA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Politik
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi