tirto.id - Interaksi digital seketika menjadi sebuah kenormalan baru tatkala pandemi COVID-19 melanda dan memaksa semua manusia berdiam di rumah. Segala hal, mulai dari bekerja, menuntut ilmu, bersenda gurau, semua dilakukan secara daring dengan layar komputer atau gawai sebagai perantara. Sejak saat itu, industri berbasis digital mengalami kebangkitan besar-besaran, termasuk di dunia kesehatan.
Di sini, secara khusus, kita akan berbicara mengenai kesehatan mental dan bagaimana akses terhadap layanan tersebut makin terbuka lebar seiring masifnya digitalisasi di semua bidang.
Bahkan, pada 2024, terapi kesehatan mental secara daring telah menjadi salah satu tren paling populer. Ini tentu tidak lepas dari dampak pandemi COVID-19 yang membuat orang-orang kian sadar akan krusialnya kesehatan mental.
Dengan kata lain, terapi digital ini adalah sebuah tren yang lahir dari perpaduan dua perubahan sosial yang muncul pasca-pandemi. Interaksi daring menjadi sebuah kenormalan baru dan kesehatan mental mulai diperhatikan, bahkan menjadi prioritas karena masa-masa itu memang mengajarkan betapa pentingnya menghargai hidup.
Sebenarnya, sejak sebelum pandemi pun berbagai platform telemedisinsudah bermunculan di Indonesia. Platform Alodokter dan Halodoc, misalnya, selain menyediakan layanan pengobatan untuk penyakit fisik, juga mengakomodasi konsultasi kesehatan mental yang ditangani langsung oleh para psikolog serta psikiater.
Lewat aplikasi, pengguna bisa memilih terapis yang mereka rasa cocok, lalu membayar sesuai tarif, kemudian konsultasi pun dimulai. Per sesi biasanya seorang pasien bisa berkonsultasi selama 30 menit.
Meski begitu, sebelum pandemi, layanan daring seperti itu belum benar-benar menjadi pilihan utama. Untuk berobat, biasanya orang masih lebih memilih untuk datang langsung ke tempat praktik, klinik, atau rumah sakit.
Khusus untuk kesehatan mental, meski kampanye untuk menjadikannya prioritas sudah digaungkan, efeknya belum begitu terasa karena kala itu semua masih terkesan "baik-baik saja".
Baru ketika pandemi melanda, ketidakpastian pun muncul di mana-mana. Rasanya, semua yang dimiliki seperti bisa hilang dalam sekejap, entah itu orang tercinta maupun harta benda.
Kesepian dan depresi pun, seperti dilaporkan WHO, melonjak drastis pada masa tersebut. Itu semua, dikombinasikan dengan larangan bepergian serta instruksi untuk menjaga jarak fisik, membuat orang, mau tidak mau, menjajal terapi digital.
Di Indonesia, menurut data GoodStats pada 2022, platform konsultasi kesehatan mental paling populer masih dipegang nama-nama beken, macam Alodokter dan Halodoc, yang sebetulnya tidak mengkhususkan diri pada persoalan tersebut. Namun, di urutan empat dan lima, terdapat dua platform khusus kesehatan mental yang akhirnya terkerek popularitasnya, yaitu Riliv dan Bicarakan.
Dari sini bisa ditarik sebuah hipotesis bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan kesehatan mental sudah makin baik. Mereka bisa mengetahui dengan persis platform yang secara khusus mendedikasikan diri untuk urusan tersebut. Di sisi lain, ini menunjukkan pula bagaimana layanan terapi mental digital sangat memudahkan mereka yang merasa dirinya tidak baik-baik saja.
Menjangkau yang Tak Terjamah
Terapi digital memberikan sejumlah keuntungan yang justru tidak bisa diraih dari terapi konvensional.
Pertama, tentunya, adalah soal aksesibilitas. Kemunculan platform-platform ini membuat semua layanan kesehatan mental, secara harfiah, berada dalam genggaman kita. Mereka yang tinggal jauh dari pusat kesehatan mental, khususnya, bisa dengan mudah mengakses layanan asalkan memiliki ponsel yang terhubung dengan internet. Tak cuma itu, layanan seperti ini biasanya tersedia 24/7 sehingga, kapan pun kita butuh, ia akan selalu ada.
Kedua, persoalan biaya. Harus diakui, layanan kesehatan mental tidaklah murah. Liputan6 melaporkan, rata-rata tarif konsultasi psikolog di klinik berkisar Rp250.000-700.000 per sesi. Di puskesmas, biayanya jauh lebih murah, yaitu Rp10.000-30.000 (untuk pasien BPJS bahkan bisa gratis), tetapi tidak semuanya bisa diakses kapan saja.
Sementara, untuk konsultasi daring, dengan harga yang kurang lebih sama dengan tarif konsultasi di puskesmas, pasien sudah bisa mengakses layanan kesehatan mental.
Layanan kesehatan mental digital juga memudahkan mereka yang takut dan malu untuk pergi ke psikolog atau psikiater. Kendati kesehatan mental sudah diakui sebagai persoalan serius, masih ada stigma yang melekat pada mereka yang pergi ke ahli kesehatan mental.
Selain itu, terkadang, seseorang lebih nyaman bercerita dengan teks tanpa tatap muka untuk bisa mengungkapkan semua yang dirasakan. Untuk ini, layanan terapi digital jelas lebih unggul ketimbang terapi konvensional.
Layanan kesehatan mental sekarang tidak cuma terbatas pada akses konsultasi dengan ahli secara daring. Berbagai platform "suplemen", seperti Calm dan Headspace, sebenarnya juga masuk dalam kategori layanan terapi digital karena fungsinya sama, yaitu membantu pengguna mencapai kondisi mental terbaik.
Calm, misalnya, bisa membantu seseorang melakukan meditasi untuk menenangkan pikiran, memudahkan seseorang terlelap di malam hari, serta menawarkan berbagai program kesehatan mental digital yang telah disusun oleh ahli psikologi. Semua layanan Calm diharapkan mampu memperbaiki pola hidup pengguna serta mereduksi stres yang bisa berujung pada terganggunya kesehatan mental.
Selain aplikasi-aplikasi "suplemen" tersebut, muncul pula keterlibatan kecerdasan buatan (AI). Biasanya, pada bagian awal penggunaan, klien akan diminta menjawab beberapa pertanyaan. Dari jawaban-jawaban itu, AI akan memproses data yang masuk, lalu mengubahnya menjadi rekomendasi layanan. Keberadaan AI juga membantu pengakses layanan agar tak perlu menerka-nerka hal yang mesti dia lakukan.
Tantangan yang Belum Terselesaikan
Walau begitu, bukan berarti layanan terapi digital sudah sempurna. Di Indonesia, misalnya, layanan di beberapa platform belum bisa diakses menggunakan BPJS. Bahkan, baru pada Juni 2024 lalu Kementerian Kesehatan mulai mengkaji kemungkinan tersebut.
Artinya, dalam waktu dekat, rasanya BPJS belum bisa digunakan untuk terapi daring. Selain itu, tidak semua asuransi mengover layanan kesehatan daring. Untuk urusan pembiayaan, masih ada gap antara layanan yang tersedia dan kebutuhan masyarakat.
Persoalan lain adalah perihal privasi data. Seperti layanan-layanan digital lainnya, keamanan data senantiasa menjadi perhatian tersendiri, terlebih untuk hal sesensitif kondisi kesehatan fisik dan mental.
Menurut Dr. Nurul Wahdah melalui tulisannya di kolom ANTARA, saat ini di Indonesia belum memiliki peraturan yang secara khusus mengatur keamanan serta privasi data telemedisin.
Yang terakhir, perkara aksesibilitas. Hal yang menjadi kelebihan layanan kesehatan mental daring, di sisi lain juga membawa kekurangan. Sebab, bisa-tidaknya seseorang mengakses layanan macam ini sangat bergantung pada kepemilikannya atas ponsel pintar serta akses internet.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per Februari 2024, 57 juta orang Indonesia belum memiliki akses ke internet. Artinya, kurang lebih sebanyak itulah orang yang belum bisa mengakses layanan kesehatan mental secara daring.
Namun, terlepas dari segala kekurangan dan tantangan-tantangan yang ada, mesti diakui bahwa layanan kesehatan mental daring di Indonesia sudah cukup maju. Demikian halnya dengan kesadaran masyarakat terkait itu.
Satu hal paling penting dan mesti ditegaskan adalah jangan pernah malu atau takut mengakses layanan kesehatan, termasuk kesehatan mental, karena itu semua bisa menyelamatkan Anda.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin