tirto.id - Senin pagi (2/9/2019) di kota Seoul ditandai dengan orang-orang yang bergegas menuju tempat kerjanya. Sibuk, tumplak jadi satu di area transportasi publik dan menyebar ke hampir seluruh sudut kota. Maklum, selain ibukota, Seoul adalah pusat politik, budaya, sosial dan ekonomi di Korea Selatan, bahkan pula Asia Timur.
Seorang kakek berusia 60 tahun yang tinggal di distrik Jongno, Kim Hee Kyun, tak mau ketinggalan larut dalam kesibukan pagi itu. Pagi-pagi usai sarapan, ia bersiap menuju Jongmyo Park, sebuah taman yang ada di pelataran kuil kerajaan, Jongmyo Shrine. Oleh UNESCO, Jongmyo Shrine digolongkan sebagai situs warisan dunia karena telah menjadi tempat penghormatan dan ritual upacara sejak abad ke-14 pada zaman Dinasti Joseon.
Di keranjang depan motor listrik yang juga berfungsi sebagai kursi rodanya, Kim meletakkan papan catur. Cuma butuh waktu lima sampai tujuh menit untuknya menyusuri jalan hingga sampai ke Jongmyo Park. Di sana teman-teman Kim sudah menunggu, berkumpul di bawah pohon sambil menyusun bidak-bidak catur mereka.
“Kami main di sini setiap hari, kecuali saat salju dan hujan,” kata Kim, saat saya tanya seberapa sering ia mengunjungi Jongmyo Park.
Taman itu berada di sisi kanan depan dari arah jalan utama, berbentuk setengah lingkaran dengan jalan-jalan kecil di dalamnya. Ada sebuah toko mungil dan toilet di tengah taman tersebut. Beberapa kursi panjang yang tersedia dipenuhi oleh para manula laki-laki dan hanya sedikit manula perempuan yang terlihat. Kim dan teman-temannya duduk di sisi paling ujung taman, tepat di samping toko.
Saya tiba di taman itu sekitar jam 10 pagi. Suasananya sudah ramai oleh para manula yang duduk-duduk, mengobrol, olahraga, bermain, atau sekadar melihat kawan mereka beradu strategi catur. Namun, jangan terburu membayangkan permainan catur di sana memakai bidak berbentuk kuda, prajurit, raja, dan ratu berwarna hitam putih.
Meski cara bermainnya hampir sama, catur Korea, atau yang biasa mereka sebut dengan Janggi, punya bidak unik berbentuk persegi delapan. Tulisan di sisi atas bidak menandai jabatan atau kedudukan bidak-bidak tersebut.
Siang itu Kim tidak ikut bermain. Ia memilih menonton saja sambil meladeni saya berbincang dengan sesekali mengajari beberapa suku kata bahasa Korea. "Oh, datang dari Indonesia, ya? Sini saya ajari ngomong Korea," ujarnya.
Saat saya menunjukkan kepadanya aplikasi percakapan dalam Google Translate, Kim sontak terpukau: "Wah, ternyata begini caranya, hebat sekali."
Lalu Kim menyebutkan beberapa kata--yang saya sudah paham artinya--seperti Annyeonghaseyo (halo), Kamsahamnida (terima kasih), dan Ne (iya). Sepanjang kurang lebih setengah jam, begitulah cara kami berdialog dengan terjemahan Inggris-Korea.
Melihat Kim antusias bermain dengan gawai saya, temannya yang berada di pohon sebelah ikut penasaran dan minta diajari juga cara memakai Google Translate. Jangankan Kim dan teman sesama manula, banyak anak muda di Korsel yang memang kurang fasih berbahasa Inggris.
Sekalipun itu hanya percakapan dasar, seperti menjelaskan rute kepada wisatawan.
Miskin, Tersisih, dan Depresi
Laporan cuaca di Seoul memperkirakan suhu udara siang itu cukup hangat, 27-28 derajat celcius. Kendati begitu, Kim tetap memakai jaket tipis, kaus kaki panjang, dan topi untuk menghalau angin yang kadang-kadang berhembus dari arah utara. Katanya, jika tidak begitu, malam hari tulang-tulang rentanya akan terasa sangat linu.
Sakit hanya akan membuat hidup Kim bertambah susah karena ia hidup seorang diri. Istrinya sudah meninggal lebih dulu, sementara ia juga tidak mau jadi beban anak-anaknya. Pensiunan pekerja pelayanan publik ini hampir tak punya kegiatan berarti setiap harinya. Sebab itulah, ia bisa datang ke Jongmyo Park, bertemu komunitas dan bermain Janggi dari pagi hingga sore hari.
“Karena sering bertemu, kami jadi saling kenal,” ujar Kim, sambil membawa saya keliling, berkenalan dengan teman-temannya.
Manula di Jongmyo Park adalah potret yang umum ditemui di hampir setiap taman kota di Korsel. Kesendirian membawa mereka bertemu, membentuk komunitas, dan menghabiskan waktu sepi bersama-sama. Pada tahun 2018 lalu, proporsi masyarakat Korsel di atas umur 65 tahun melebihi 14 persen dari populasi total.
Dari jumlah tersebut, saat ini sekitar seperempat persennya hidup sendiri. Fenomena ini terjadi karena tradisi merawat orangtua kian memudar di sana. Bermain Janggi, bergosip, atau sekadar jalan-jalan di taman hanyalah upaya mereka menjaga kewarasan demi terhindar dari depresi. Sebab itulah, risiko bunuh diri pada manula di Korsel jauh lebih tinggi dibanding kaum muda.
Korsel adalah negara yang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi ke-10 di dunia. Kondisi ini diperparah dengan depresi pada manula yang memicu naiknya angka bunuh diri: dari 35/100 ribu [tahun 2000], menjadi 82/100 ribu [tahun 2010].
Studi yang terbit dalam Journal of Mental Health (2014) memaparkan, para manula seringkali merasa tertekan karena ekonomi, penyakit yang mereka derita, dan stres akibat kondisi fisiknya sudah terbatas.
“Sekitar 45,7 persen manula di Korsel hidup miskin, jauh di atas standar ideal sebesar 12,9 persen,” tulis sebuah laporan Survei Ekonomi Korea (Juni 2018, hal 5).
Data yang dilansir Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sebuah organisasi dunia dengan anggota negara-negara penganut ekonomi pasar bebas, malah menunjukkan angka yang lebih tinggi: sekitar 48,6 persen orang Korsel berusia lebih dari 65 tahun berada dalam garis kemiskinan.
Jumlah tersebut adalah rekor tertinggi di antara 34 negara OECD.
Recehan dan Kesepian: Bacchus Lady
Nasib Kim sebagai manula di Korsel boleh jadi lebih beruntung dibanding kelompok manula lain. Ia masih punya uang pensiun untuk menopang kebutuhan harian dan sedikit bersenang-senang bersama kawan-kawannya.
Dan, ya, para manula di komunitas Kim semuanya berpakaian necis dan punya berbagai macam alat penunjang aktivitas (seperti kursi roda elektrik dan alat bantu pendengaran) yang bagus.
Tapi, bergeser sedikit saja dari sudut di mana Kim dan komunitasnya biasa membicarakan masalah politik, keluarga, dan cucu-cucu mereka, ada sisi lain taman dengan pemandangan kontras. Seorang manula dengan tangan diperban, pakaian kotor, dan rambut berantakan duduk di area depan.
Ia menggunakan lembaran koran dari berita minggu lalu sebagai alas duduk. Ada sebotol air minum yang isinya kurang dari seperempat, tergeletak tumpah di sampingnya, tumpukan kardus, serta koran bekas yang tak seberapa jumlahnya.
Kata Kim, ada banyak orang seusianya masih harus bekerja keras demi mengumpulkan recehan.
Kemiskinan juga memaksa para perempuan manula di sana menghabiskan tahun-tahun senja mereka dengan menjadi Bacchus Lady, sebutan bagi profesi manula sebagai pekerja seks komersial.
Saya memang tak sempat berinteraksi dengan Bacchus Lady di Jongmyo Park, tapi, laporan dari The Hankyoreh menyebut para nenek ini memang sengaja menghindari penjaga dengan berkumpul di area luar taman, dekat pintu masuk.
“Dari 56 kasus pelacuran sekitar Jongmyo Park, 28 kasus adalah Bacchus Ladyberusia 60-an dan 7 kasus berusia 70-an,” ungkap laporan statistik kasus Kantor Polisi Hyehwa, masih dari laman yang sama.
Dari sekitar 200 PSK di distrik Jongno, sekitar 15 persennya adalah Bachus Lady berusia 70-an tahun. Mereka biasanya beroperasi mulai dari jam satu siang hingga sore hari. Sementara untuk lokasi esek-eseknya, mereka biasa menuju sejumlah motel di gang-gang sempit di belakang taman. Harga sewanya murah belaka: 5 ribu won (setara Rp59 ribu).
Kendati menjajakan jasa prostitusi, namun tak semua pelanggan Bacchus Lady meminta layanan seksual. Kebanyakan dari mereka "hanya" diminta mandi di motel, berbaring sambil berpegangan tangan, lalu tidur siang sambil pelukan.
Sementara untuk kalangan kakek-kakek yang sering berkunjung ke taman seperti dalam komunitas Kim, biasanya relasi mereka dengan para Bacchus Ladylebih mirip interaksi dua manula kesepian yang saling membutuhkan.
“Kami lebih senang perempuan yang seumur karena mereka juga kesepian, jadi bisa ngobrol banyak,” tutur seorang pelanggan Bacchus Lady. Dan setuju atau tidak, serangkaian aktivitas keintiman tersebut sejatinya memang dibutuhkan para manula.
Editor: Eddward S Kennedy