tirto.id - K-pop dicintai dan dicaci. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di negeri asalnya sendiri, Korea Selatan.
Baru-baru ini, ustaz yang cukup terkenal di jagat dunia maya, Fuadh Naim, dalam sebuah kajian di sebuah Masjid di Jakarta Selatan menasihati agar umat Islam sebaiknya menjauhi terpaan gelombang budaya Korea termasuk K-pop dan drama Korea. Ia menuding budaya pop Korsel mempromosikan gaya hidup lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan seks bebas.
Dikutip dari The Jakarta Post, Fuadh mengatakan bahwa industri K-pop menampakkan citra LGBT, salah satunya melalui kontak fisik (berupa sentuhan tangan dan pelukan) antara idol laki-laki. Namun, alih-alih menolak, lanjutnya, sejumlah fans K-pop malah senang melihat adanya kontak fisik tersebut.
“[Gelombang kebudayaan Korea] menawarkan sesuatu yang menarik dan menyegarkan layaknya air, yang kemudian menarik Muslim ke dalam api [neraka],” sebut Fuadh. “Mulai sekarang, saatnya move on dan mencurahkan hati kita untuk Allah dan Muhammad nabi-Nya.”
Saat berita ini ditulis, akun Instagram Fuadh sudah memiliki 56,4 ribu pengikut. Ia memang vokal menentang budaya populer Korsel lewat akunnya itu. Fuadh sendiri adalah murid Felix Siauw, seorang ustad yang dalam beberapa tahun terakhir cukup kontroversial karena dukungan dan simpatinya pada gagasan khilafah dan Hizbut Tharir Indonesia (HTI).
Fuadh mengklaim telah memperoleh banyak dukungan terkait sikap penolakannya tersebut, khususnya dari mereka sibuk dengan isu moralitas generasi muda.
Bacaan Feminis
Kendati tak persis sama, penolakan berlandaskan konservatisme serupa sesungguhnya terjadi tidak hanya di Indonesia namun juga di Korea Selatan sendiri.
Di negeri ginseng tersebut, para idol K-Pop juga mengalami sejumlah tekanan dari kelompok masyarakat, terutama kaum konservatif, yang masih menjunjung tinggi ajaran Konfusianisme di mana patriarkisme adalah salah satu pilarnya.
Dalam setahun terakhir, misalnya, Irene, penyanyi utama dari girlband populer Red Velvet, menjadi pusat kontroversi di Korea Selatan. Seperti dilaporkan South China Morning Post (SCMP), Irene menjadi sorotan bukan hanya karena ia pernah berdiri di samping supreme leader Korea Utara Kim Joung Un usai konser di negara tersebut, tetapi juga karena ia membaca buku terkait feminisme.
Kontroversi itu berawal pada Maret 2018. Kala itu, Irene mengatakan kepada para penggemarnya dalam sebuah jumpa fans bahwa ia membaca buku berjudul Kim Ji Young, Born 1982. Sebagai catatan, buku karangan Cho Nam Ju tersebut menceritakan bagaimana budaya patriarki di Korsel membuat perempuan merasa lebih rendah derajatnya dibanding lelaki.
Dikutip Quartz, buku ini menjadi populer di Korsel bukan pada saat diluncurkan, melainkan setelah pengaruh gerakan #MeToo atau #WithYou sampai di negara tersebut. Bagi sebagian masyarakat, gerakan ini dipandang sebagai sebuah gerakan seksis terhadap pria. Kim Ji Young, Born 1982 pun menjadi salah satu buku terlaris di Korsel.
Sejumlah penggemar pria bereaksi keras. Mereka tidak hanya mencaci maki Irene namun juga membakar foto-fotonya dan mengunggah aksi mereka dalam sejumlah forum penggemar di internet.
Situasi ini tidak hanya dialami oleh Irene, namun juga oleh sejumlah idol wanita lainnya. Salah satunya anggota girlband APink bernama Son Naeun. Billboardmelaporkan, idol wanita itu mengunggah foto dirinya yang sedang memegang ponsel pintar yang berselimutkan pelindung ponsel dari Zadig & Voltaire bertuliskan “girls can do anything” (perempuan dapat melakukan apa saja).
Para warganet langsung beramai-ramai mengkritik Naeun dan menuduhnya sengaja mempromosikan feminisme. Agensi yang menaungi APink dengan segera memberikan klarifikasi bahwa pelindung ponsel tersebut merupakan pemberian jenama Zadig & Voltaire dan dipakai hanya untuk kepentingan sesi foto. Tak butuh waktu lama, foto Naeun pun menghilang dari akun media sosialnya.
Selain Irene dan Naeun, salah satu anggota girlband ternama SNSD, Soo Young, juga turut masuk dalam radar para pengkritik feminisme Korea setelah menamai serial reality show-nya “Chou Sooyoung, Born 1990” karena terinspirasi dari novel Cho Nam Ju tersebut.
Kendati demikian, tokoh dan selebriti pria yang membaca novel yang sama tak mendapat pengalaman seburuk Soo Young. Seperti dilaporkan Korea Herald, presenter pria ternama Korsel Yoo Jae-Suk, misalnya, tidak mendapat kritikan yang masif kendati membaca novel yang sama. Politisi An Hee Jung yang terlibat skandal pelecehan seksual malah mendapat pujian karena membaca buku tersebut.
Perlu dicatat pula, tidak semuanya mengkritik keberpihakan para idol itu. Para penggemar wanita Naeun di Korsel, salah satunya, membalas kritik terhadap idol dengan cara membuat gerakan online #girlscandoanything yang menjadi topik yang trending di Twitter melalui lima tanda tagar berbeda.
Standar Ganda Seksisme?
Yang menarik, patriarki Korea beriringan dengan eksploitasi keseksian para bintang perempuan. Idol perempuan diminta untuk tampil seksi, namun ketika turun dari panggung mereka harus menjadi idol yang santun dan tunduk pada pria.
CNN melaporkan, James Turnbull, seorang penulis yang menggeluti isu seksualitas dan feminisme mengatakan para idol wanita sering menanggung beban standar ganda dalam masyarakat Korsel tersebut.
Turnbull yang tinggal di Busan, Korsel, mengatakan masyarakat Korsel lebih suka bintang K-Pop wanita yang belum menikah dan punya citra polos. “Beberapa penulis lagu dan sutradara (video musik) kemudian disiapkan untuk ‘menyajikan’ mereka sebagai perempuan dewasa dengan pengalaman, kapasitas bertindak, dan hasrat seksual."
Citra polos itu kerap bertabrakan dengan dandanan para idol yang menurut Turnbull sengaja dirancang untuk memuaskan pandangan laki-laki.”
Heather Willoughby, profesor di Ehwa University, Seoul, mengungkapkan hal senada. Dikutip dari NPR, Willoughby menyatakan agensi atau perusahaan hiburan di Korsel tidak memberi ruang cukup luas bagi para idol untuk dapat memegang kontrol atas citra publik mereka sendiri. Industri K-pop seolah ingin mengatakan bahwa para perempuan muda cukup dinilai dari penampilan luar mereka saja.
Bagi Willoughby, masyarakat Korsel masih "memandang perempuan sebagai obyek".
Dikutip dari Korea Times, Profesor Studi Asia Timur di University College Cork di Irlandia, Kevin Cawley, menyoroti bagaimana video musik “Gentleman” dari artis ternama Psy sebagai contoh obyektifikasi perempuan Korsel. Perempuan dalam video itu diperlakukan sebagai ‘obyek’ yang tak hanya harus cantik tapi juga memenuhi hasrat pria.
“Hampir semua video klip K-pop menampilkan perempuan sebagai obyek seks, termasuk para penyanyi wanita solo dan grup K-pop yang isinya perempuan,” ujar Cawley. “Banyak dari mereka menjalani operasi plastik serta berpakaian dan menari secara provokatif namun masih diharapkan untuk mematuhi norma-norma Konfusianisme yang ketinggalan zaman terkait perilaku seksual dalam kehidupan pribadi mereka, sementara pria dapat melakukan apapun yang mereka mau.”
Apakah masyarakat Korsel tidak mengalami perubahan? Tampaknya survei yang dilakukan oleh surat kabar harian Joongang Ilbo tentang sikap politik mahasiswa dapat menjadi indikator.
Seperti dikutip dari Korea Expose, survei itu menunjukkan bahwa 60 persen responden menyatakan diri mereka "progresif", dibandingkan dengan hanya 18,9 persen yang mengaku konservatif. Ketika diminta untuk menggambarkan sikap politik mereka pada skala 0 (progresif) hingga 10 (konservatif), respons rata-rata adalah 4,21.
Sayangnya, terlepas dari sikap politiknya, tak banyak yang mau secara terbuka menunjukkan sikap politik mereka. Sebanyak 88,3 persen responden mengatakan mereka tak mau berpartisipasi dalam aktivisme mahasiswa. Namun, masifnya gerakan #MeToo di Korsel mungkin adalah tanda bahwa perubahan tengah berlangsung.
Editor: Windu Jusuf