Menuju konten utama
Pekerja Anak di Dunia K-Pop

Kim Sae-ron dan Urgensi Meninjau Kembali Peran Idola Cilik K-Pop

Menampilkan anak-anak di layar kaca untuk meraih popularitas berpotensi memberi celah bagi child grooming, seperti diduga dialami mendiang Kim Sae-ron.

Kim Sae-ron dan Urgensi Meninjau Kembali Peran Idola Cilik K-Pop
Header Diajeng Seri KPop Child Idol. foto/istockphoto

tirto.id - Kim Sae-ron (24), bintang film asal Korea Selatan yang pernah terlibat dalam kasus DUI (Driving Under Influence), meninggal dunia pada 16 Februari 2025 silam.

Meski usianya tergolong muda, Kim Sae-ron sudah lama malang melintang di industri perfilman.

Dia belum genap berusia 10 tahun saat tampil memikat bersama aktor senior Won Bin dalam film paling laku di Korsel sepanjang 2010, The Man from Nowhere.

Tak lama setelah tersiar kabar duka Kim Sae-ron, muncul rumor mengenai hubungannya dengan aktor terkenal Kim Soo-hyun (37).

Melansir Soompi, Garo Sero Research Institute (HoverLab) dalam video YouTube pada 10 Maret lalu menyebutkan hubungan keduanya dimulai saat Kim Sae-ron masih 15 tahun dan Kim Soo-hyun 27 tahun.

Akun yang sama bahkan merilis beberapa rekaman foto dan video keakraban mereka berdua—yang mengindikasikan hubungan tersebut telah dimulai sejak mendiang Kim Sae-ron masih di bawah umur.

Kematian dan sederet situasi memprihatinkan yang dihadapi Kim Sae-ron ini menjadi alarm tanda bahaya terkait iklim industri hiburan yang mempekerjakan anak-anak—baik sebagai influencer, calon aktor, maupun sebagai calon idol di bawah naungan agensi K-pop.

Menampilkan anak-anak di layar kaca—sebut melalui YouTube, saluran televisi tradisional, maupun media sosial—dengan tujuan untuk meraih popularitas berpotensi memberi celah bagi child grooming, sama seperti apa yang dirumorkan telah dialami Kim Sae Ron.

Child grooming membuka peluang bagi pelaku berusia dewasa untuk melakukan pemikatan seksual kepada anak-anak yang belum matang secara emosional.

Kehadiran artis dan penyanyi cilik di industri hiburan bukanlah fenomena baru. Akar sejarahnya bisa ditelusuri sedari lama.

Forbes, majalah bisnis mentereng asal Negeri Paman Sam, bahkan pernah menyusun daftar “Top Box-Office Teen” pada 2010.

Di dalamnya termuat nama Emma Watson sampai Dakota Fanning—yang pada masa itu tentu saja masih belum masuk usia dewasa.

Nyatanya, penghargaan tersebut tidak bisa dilihat secara netral.

Menurut Yeran Kim dalam artikel penelitiannya di Journal of Gender Studies(2011), daftar yang dibuat Forbes dapat dilihat sebagai wujud pengakuan atas efek sosial, ekonomi, dan budaya yang ditimbulkan oleh para selebritas cilik.

Apa konsekuensi dari anak-anak yang berseliweran di layar kaca maupun konten media sosial dengan tujuan keuntungan tanpa regulasi tepat dan serius?

Salah satunya adalah keterbiasaan audiens atas fenomena ini.

Keterbiasaan ini bukan tidak mungkin membuat audiens menjadi abai dengan efek domino yang dihasilkan kemudian hari.

K-pop adalah contoh industri paling nyata yang menggambarkan posisi rentan anak-anak, terutama anak perempuan, di industri hiburan.

Beberapa waktu lalu, warganet di linimasa X dikejutkan dengan program survival audition K-pop bernama Under 15.

Program ini mengumpulkan gadis-gadis di bawah 16 tahun untuk bersaing agar bisa mendapatkan kesempatan debut.

Peserta termuda tercatat baru menginjak usia 8 tahun.

Acara yang diadakan stasiun televisi MBN ini menuai kemarahan publik.

Alasannya bukan sekadar karena industri K-pop dikenal sangat keras dan menuntut kepada trainee, melainkan juga karena para peserta cilik ini didandani layaknya orang dewasa dalam video perkenalan.

Kekhawatiran dari warganet Korsel dan dunia terhadap Under 15 terus disuarakan karena sebelumnya muncul berita dugaan child grooming yang dilakukan Kim Soo-hyun kepada Kim Sae-ron.

Ketika penanggung jawab program Under 15—yang tentu saja berjenis kelamin laki-laki—mengaku bahwa mereka memiliki calon peserta berusia 5 tahun, maka dapat dipahami bagaimana forum-forum diskusi daring di Korsel merespons dengan diskusi dan seruan keras untuk menghentikan penayangan.

Kasus Under 15 hanyalah satu dari segelintir problematika industri K-Pop terkait anak-anak.

Saat ini, agensi menerapkan sistem perekrutan calon idola dengan memanfaatkan sosial media.

Mereka biasanya menyeleksi anak-anak di bawah umur yang telah lebih dahulu populer di media sosial untuk menjadi trainee.

Anak-anak yang diincar oleh agensi lazimnya sudah dikenal sebagai selebritas internet atau model cilik, atau dengan kata lain: kidfluencer.

Karakter dan narasi mengenai kidfluencer ini ditentukan oleh jumlah follower dan subscriber mereka.

Selain itu, isi konten dan rutinitas kidfluencer dikelola secara profesional oleh orang tua dan agensi khusus.

Mengutip artikel “Child Idols in South Korea and Beyond” di New Media & Society (2024) oleh Jin Lee, kidfluencer diposisikan sebagai modal digital yang mengarah pada komersialisasi dan eksploitasi bakat, data, dan representasi visual.

Agensi kidfluencer lantas bekerja sama dengan agensi K-pop untuk “menyortir” talenta-talenta baru.

Platform kidfluencer itu sendiri ternyata masih belum menyamai kuasa yang dimiliki oleh agensi. Itulah mengapa, meskipun sudah mendulang popularitas, kedudukan kidfluencer masih berada di bawah idol.

Pada akhirnya, menjadi selebritas cilik di media sosial dipandang sebagai anak tangga pertama menuju ketenaran yang sesungguhnya.

Waham ini membuat sejumlah orang tua di Korea Selatan menjadikan program pelatihan dari agensi sebagai kegiatan yang menguntungkan.

“Aku mendukung orang tua untuk mengikutkan anak-anaknya dalam program K-pop, jika terlihat bakat dalam diri mereka. Mencicipi pengalaman [mengikuti pelatihan] esensial bagi anak dan juga orang tua. Sangat penting untuk membiarkan anak-anak mencoba sedini mungkin,” demikian komentar warganet di portal web populer Naver yang pro terhadap program persiapan idola cilik.

Padahal, secara data, jumlah anak yang berhasil debut sebagai idol maupun artis masih tergolong sedikit.

Berita buruknya lagi, kalangan akademisi melihat popularitas K-pop di kancah global berpotensi melanggengkan komodifikasi tubuh anak-anak muda perempuan dalam industri.

Mereka akan terus berada dalam pengawasan agensi dan juga warganet yang secara tidak langsung bertindak sebagai sistem kontrol.

Menjadi sistem kontrol memungkinkan mereka untuk menilai apakah penampilan para idola sudah sesuai standar kecantikan atau belum.

“Tubuh idola perempuan secara khusus dibuat menarik secara seksual, melalui pakaian yang terbuka, gerakan tari yang provokatif, dan agensi yang mengatur penampilan dan berat badan, lewat diet dan operasi plastik,” terang Jin mengutip sejumlah penelitian.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih