Menuju konten utama
GWS

Tentang Ketakutan Kita Menjadi Tua dan Menyebalkan

Semua orang akan menjadi tua pada akhirnya. Tapi, tak semuanya niscaya menjadi menyebalkan. Semuanya tergantung lingkungan sekitar, dukungan orang terdekat.

Tentang Ketakutan Kita Menjadi Tua dan Menyebalkan
ilustrasi lansia belajar. foto/istockphoto

tirto.id - Di sebuah warung nasi uduk langganan, kegaduhan pagi dimulai. Emak-emak yang menyerobot antrian, minta dilayani lebih dahulu. Antrean di depannya tak terima sebab sudah datang lebih awal. Salah satu dari mereka terpaksa mengalah setelah ada yang melerai. Lalu, seorang bapak-bapak datang dan meributkan kenapa anak muda sekarang “nggak tahu sopan santun”.

Minimal sekali seumur hidup, kita pasti pernah melihat fenomena seperti di atas, meski dengan nuansa berbeda. Karena itulah narasi ini hidup: "Jangan jadi tua dan menyebalkan!"

Kalimat tersebut bak alarm lembut yang mengingatkan bahwa cepat atau lambat, kita akan menua. Tapi cara kita menua, apakah tetap hangat, selalu ingin tahu, dan terbuka, atau malah jadi pengkritik tanpa empati, itulah yang membentuk cerita keseharian kita.

Aktor kenamaan Hollywood bernama Clint Eastwood menegaskan bahwa penuaan tak harus berarti penurunan. Yang penting, tetap belajar dan terbuka. Namun, harapan ini justru berpotensi menekan orang lansia. Mereka diminta adaptif, sabar, dan sosial, padahal tantangan penuaan itu nyata dan kompleks.

Perilaku “menyebalkan” seperti marah, menggurui, atau antiperubahan, sering kali lahir dari ketidakpuasan, rasa takut, atau kondisi psikologis. Itu bukan sekadar bawaan, tapi refleksi dari perjuangan batin dan respons terhadap lingkungan yang tidak mendukung.

Paradoksnya, masyarakat menuntut orang lansia untuk menyenangkan, sambil terus menyematkan stereotip negatif. Orang lansia dihormati, tapi juga dilabeli beban.

Faktor Psikologis yang Memengaruhi Perilaku Orang lansia

Penuaan bukan hanya soal rambut memutih atau kulit mengendur. Fungsi kognitif pun ikut berubah, proses informasi melambat, memori menurun, dan fokus mudah teralihkan.

Dalam obrolan sehari-hari, orang lansia mungkin lambat merespons, sering mengulang pertanyaan, atau tampak tidak menyimak. Semua itu bukanlah kesengajaan, melainkan dampak alami dari penurunan kerja otak.

Masalahnya, generasi muda sering keliru menilai. Sikap orang lansia dianggap keras kepala, tak tertarik, atau lamban, padahal otak mereka sedang berjuang menyesuaikan ritme. Akibatnya, interaksi jadi tegang dan memicu penyematan label "menyebalkan".

Yang kurang bukan kesabaran orang lansia, melainkan empati dan pemahaman dari lawan bicaranya. Dengan memahami alasan di balik perilaku orang lansia, komunikasi bisa lebih sabar, lebih manusiawi, dan stereotip pun bisa dipatahkan.

Di usia senja, cara orang lansia merasakan dan mengelola emosi bisa berubah drastis. Mereka jadi lebih sensitif, mudah tersinggung, atau cemas. Respons emosional terhadap hal kecil bisa tampak berlebihan dan sering disalahpahami sebagai sikap menyebalkan.

Penuaan juga membuat orang lansia kesulitan mengatur stres dan kemarahannya. Beberapa memilih menarik diri, sedangkan lainnya jadi mudah marah. Ada yang makan berlebihan karena emosi, ada pula yang merasa terisolasi secara sosial.

ilustrasi orang tua menyebalkan

ilustrasi orang tua menyebalkan. FOTO/iStockphoto

Menurut laporan penelitian yang terbit di jurnal Emotion (2019), orang lansia berkemampuan lebih baik dalam memilih situasi yang mendukung kesejahteraan emosionalnya. Oleh karena itulah mereka lebih sering mengisolasi diri, memilih diam, atau mengalihkan fokus ke sesuatu yang lebih positif.

Penelitian tersebut menggunakan melibatkan 149 partisipan dengan metode experience sampling untuk mempelajari pengalaman orang dewasa muda, paruh baya, dan lanjut usia, dalam mengatur emosi mereka sehari-hari. Partisipan diminta melaporkan pengalaman emosi mereka 5 kali sehari selama 10 hari.

Merujuk temuan tersebut, regulasi emosi adalah kunci. Ketika harapan tak terpenuhi, frustrasi bisa keluar dalam bentuk kritik, ketidaktoleranan, atau penolakan terhadap hal baru. Konflik pun muncul, terutama dengan generasi muda yang lebih adaptif dengan zaman.

Akan tetapi, di balik sikap keras atau sok tahu, bisa jadi ada rasa takut yang menyelimuti orang lansia: takut tak relevan, takut tertinggal, atau kehilangan kendali. Penolakan terhadap teknologi, misalnya, bisa jadi bukan soal keras kepala, melainkan kecemasan menghadapi perubahan.

Pada dasarnya, berdasarkan catatan jurnal Encyclopedia (2023), orang lansia memang rentan mengalami gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan. Sayangnya, gejala-gejala yang muncul, misalnya mudah marah, menarik diri, dan susah bersosialisasi, sering disalahartikan sebagai sikap buruk, padahal bisa jadi itu merupakan gejala kondisi medis yang belum ditangani.

Melabeli perilaku-perilaku orang lansia sebagai “menyebalkan” justru menutupi masalah sebenarnya: minimnya pemahaman dan diagnosis gangguan mental pada orang lansia. Hal itu bahkan bisa dikategorikan sebagai ageisme, diskriminasi atau prasangka terhadap seseorang berdasarkan usia.

Ageisme dan Stereotip Negatif

World Health Organization (WHO) menyebut, ageisme adalah bentuk diskriminasi yang setara dengan rasisme dan seksisme. Hal itu bisa muncul di mana saja, di rumah, tempat umum, maupun tempat kerja.

Ironisnya, perlakuan diskriminatif ini bisa memicu perilaku yang justru memperkuat stereotip: frustrasi, penarikan diri, atau kemarahan. Bukan karena mereka kesulitan mengontrol dan memilih emosinya, tapi karena lingkungan sosial membuat mereka merasa tak dihargai.

WHO mendorong pendidikan dan interaksi antar-generasi untuk membongkar stigma terhadap lansia. Sebab, ageisme bukan sekadar masalah etika. Ia berdampak langsung pada kesehatan mental, kualitas hidup, dan martabat, para orang lansia.

Media juga berandil besar dalam membentuk cara kita memandang orang lansia. Sayangnya, banyak film dan serial TV justru memperkuat stereotip negatif, misalnya dengan menggambarkan orang lansia sebagai sosok penuh canggung, gampang emosi, atau menjadikannya objek lelucon.

Artikel penelitian bertajuk “Membongkar Realitas Ageism Pada Film Layar Lebar” mengulik bagaimana orang lansia diperlakukan dalam film. Di film Sweet 20, mereka digambarkan sebagai beban. Di The Simpsons, mereka dinilai lebih cocok di panti jompo. Di Younger, usia di atas 40 dianggap penghalang karier.

Media massa pun tak jauh beda. Dalam lanskap pemberitaan, orang lansia sering direduksi perannya menjadi sosok bijak tapi kuno, mistis tapi tak relevan. Jarang ada cerita yang menggambarkan mereka sebagai individu utuh dengan kehidupan yang kompleks.

Akibatnya, stereotip seperti “menyebalkan” jadi norma umum. Generasi muda yang jarang berinteraksi langsung dengan orang lansia makin sulit memahami mereka. Kesenjangan pun melebar, empati menipis.

Padahal, representasi orang lansia yang realistis dan beragam bisa jadi kunci untuk melawan ageisme. Ini bukan cuma soal etika, tapi juga soal kesehatan publik dan keadilan sosial. Media yang bertanggung jawab bisa membantu membangun masyarakat yang lebih inklusif, di mana semua usia dihargai, bukan dijadikan bahan candaan.

ilustrasi orang tua menyebalkan

ilustrasi orang tua menyebalkan. FOTO/iStockphoto

Banyak mitos tentang orang lansia yang terus bertahan dan memicu stereotip negatif. Orang lansia dianggap tak bisa berubah, kaku dan sulit beradaptasi, selalu kesepian, serta tak tertarik pada hubungan romantis. Bahkan, tak jarang yang menilai depresi sebagai hal normal dan bagian dari penuaan.

Mitos lain menyebut orang lansia tak bisa belajar hal baru, selalu pelupa, tidak produktif, ingin tinggal bersama keluarga, dan tak peduli penampilan. Padahal, meski kepribadian inti cenderung stabil, orang lansia tetap bisa mengembangkan sikap dan keterampilan baru. Struktur otak mereka masih punya plastisitas sehingga memungkinkan untuk belajar hal baru meski lebih lambat.

Selain itu, depresi bukanlah bagian normal dari penuaan dan bisa diobati. Bahkan, sering kali depresi yang muncul diakibatkan oleh lingkungan sekitar yang tidak mendukung, bahkan cenderung melabelinya stigma negatif.

Kontras antara mitos dan fakta ini menunjukkan betapa dalamnya kesalahpahaman masyarakat. Orang lansia yang aktif dan adaptif sering dianggap pengecualian, sementara mereka yang menghadapi tantangan nyata justru diremehkan sebagai sekadar tua. Akibatnya, perilaku yang sebenarnya merupakan gejala dari kondisi yang bisa ditangani malah dilabeli “menyebalkan.”

Realitas Keragaman Pengalaman Penuaan: Melawan Generalisasi

Studi dari The Gerontologist pada 2023 menunjukkan, cara orang lansia memandang proses penuaan—dikenal sebagai self-perception of aging (SPA)—berpengaruh besar terhadap kualitas hidup.

Sikap positif terhadap penuaan terbukti berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan mental, bahkan fungsi kognitif lebih stabil. Hal itu signifikan secara statistik, menandakan bahwa persepsi bukan sekadar perasaan, tapi penentu aktif kesejahteraan orang lansia.

Sebaliknya, persepsi negatif membuat individu merasa kurang mampu secara mental, fisik, dan sosial. Perasaan tidak berdaya ini bisa memicu stres, depresi, dan perilaku yang dianggap “menyebalkan”, padahal itu adalah ekspresi dari tekanan batin yang belum tertangani.

ilustrasi orang tua menyebalkan

ilustrasi orang tua menyebalkan. FOTO/iStockphoto

Hubungan pikiran dan tubuh dalam konteks penuaan sangat kuat. Ketika orang lansia percaya bahwa dirinya masih mampu, mereka cenderung lebih aktif, lebih sehat, dan lebih terhubung secara sosial. Sebaliknya, jika merasa tak berguna, kualitas hidup mereka pun ikut menurun.

Temuan tersebut memperkuat gagasan bahwa kebahagiaan dan kesehatan saling terkait. Selain itu, dukungan keluarga dan sosial terbukti berdampak besar terhadap kualitas hidup mereka. Hal itu bukan hanya pelengkap, melainkan penyangga utama dalam menghadapi tantangan penuaan, terutama saat merawat orang lansia dengan demensia.

Jaringan komunitas juga berperan penting. Ia menyediakan koneksi dan sumber daya yang membantu orang lansia dan pengasuh tetap terhubung dan tidak merasa sendirian. Sebab, kesepian dan isolasi sosial sering kali memicu tekanan emosional dan perilaku bermasalah.

Perilaku yang dianggap “menyebalkan” bisa jadi bukan sikap alami, melainkan ekspresi dari kesepian yang tak tertangani. Dalam banyak kasus, itu adalah alarm untuk perhatian dan koneksi.

Penuaan adalah bagian tak terhindarkan dari hidup. Akan tetapi, cara setiap orang mengalaminya sangat berbeda. Bahkan, di usia yang sama, kondisi biologis bisa jauh bervariasi: ada yang menua lebih cepat, ada yang tetap bugar. Genetika, gaya hidup, lingkungan, dan kondisi psikologis, ikut membentuk perjalanan ini.

Stereotip bahwa orang lansia pasti “menyebalkan” tak punya dasar kuat jika kita melihat kenyataan bahwa penuaan sangat individual. Bahkan, yang muda, yang sekarang menghadapi tingkah "menyebalkan" orang lansia, bisa jadi akan jadi serupa saat tua nanti; itu bukan keniscayaan, melainkan karena kurang perhatian dan kesehatan mental yang tidak tertangani.

Karena itu, pendekatan terhadap orang lansia tak bisa seragam. Kita perlu melihat mereka sebagai individu dengan kisah hidup, kekuatan, dan kebutuhan masing-masing. "Menjadi tua dan menyebalkan” seharusnya bukan vonis, tapi ajakan untuk tetap punya semangat, sambil kita dengan sukarela memberi ruang, empati, dan dukungan yang sesuai.

Baca juga artikel terkait LANSIA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - GWS
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin