tirto.id - Siapa bilang usia membatasi seseorang untuk belajar? Justru, mempelajari keterampilan baru di usia lanjut bisa menjadi langkah kecil yang membawa dampak besar bagi kehidupan seseorang. Bahkan, kini banyak orang lansia yang bekerja di perusahaan ritel sebagai konsultan atau pelayan karena keramahan dan pengalaman mereka.
Anggapan bahwa lansia sulit mempelajari hal-hal baru akibat keterbatasan fisik dan kemampuannya sebagai konsekuensi alami dari penuaan adalah keliru. Pandangan ini, selain merugikan lansia secara psikologis, juga menghambat keahlian mereka untuk terus berkembang.
Banyak penelitian ilmiah dan pendapat ahli menunjukkan bahwa orang lansia tetap berkemampuan mempelajari keterampilan baru, baik itu motorik maupun kognitif.
Selain itu, di ranah pendidikan, kita mengenal konsep pendidikan sepanjang hayat. Artinya, seseorang bisa belajar di mana saja, kapan saja, tanpa dibatasi usia.
Kemampuan Lansia Mempelajari Keterampilan Baru
Orang lansia biasanya memiliki banyak pengalaman kerja dan keahlian yang sudah teruji. Banyak orang tua yang masih membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama karena dana pensiun yang tidak mencukupi atau besarnya tanggungan keluarga.
Di bidang dan pekerjaan tertentu, orang lansia mungkin memiliki keterbatasan fisik atau kesehatan yang dianggap sebagai hambatan oleh perusahaan. Meski begitu, mereka sebenarnya masih bisa belajar, bahkan menciptakan hal-hal baru.
Pablo Picasso terus melukis hingga akhir hayatnya di umur 91 tahun. Salah satu karyanya di usia senja, seri “The Weeping Woman”, menunjukkan eksperimen terus-menerus dengan berbagai gaya dan teknik, dari kubisme analitik, kubisme sintetis, neoklasik, hingga surealisme.
Begitu pula penulis Haruki Murakami yang tetap produktif di usia senja. Karyanya sudah diterbitkan ke dalam 50 bahasa dan jutaan eksemplar telah terjual di luar Jepang. Salah satu novel fiksinya berjudul “1Q84” ditulis pada 2009, tepat di usia 60 tahun.
Sayangnya, masih ada stigma bahwa lansia kurang produktif atau tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Sering pula diasumsikan bahwa plastisitas otak menurun seiring bertambahnya usia.
Plastisitas otak, atau disebut juga neuroplastisitas, merupakan kemampuan otak—bukan hanya otak manusia—untuk berubah, beradaptasi, dan membentuk koneksi baru sepanjang hayat. Meskipun dulu diyakini hanya berlaku pada masa kanak-kanak, penelitian pada 2014 menunjukkan bahwa otak tetap memiliki kemampuan plastisitas hingga usia lanjut.
Proses neuroplastisitas melibatkan pembentukan dan peningkatan koneksi antar-neuron, yang berjumlah sekitar 100 miliar di otak manusia. Dengan terus mengasah kemampuan berpikir dan belajar, otak dapat mempertahankan plastisitasnya tanpa memandang usia, memungkinkan perbaikan serta pemulihan diri dari cedera.
Penelitian tentang keterampilan motorik juga menunjukkan bahwa orang lansia masih bisa melakukan aktivitas baru, seperti bekerja, bermain alat musik, menari, atau bahkan menguasai teknologi modern macam ponsel pintar dan komputer.
Meskipun waktu yang dibutuhkan mungkin lebih lama, proses pembelajaran ini tetap efektif. Studi yang diterbitkan oleh National Library of Medicine menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua dapat mempelajari keterampilan motorik baru. Bahkan, kinerja mereka dinilai lebih sebanding dengan orang dewasa muda.
Artinya, otak dan tubuh orang lansia masih mampu beradaptasi dan berkembang. Hasil penelitian tersebut juga menyiratkan, pelatihan untuk orang dewasa yang lebih tua mampu mencakup berbagai pengalaman belajar motorik untuk memaksimalkan kecepatan belajar dan transfer pengetahuan.
Selain manfaat fisik, mempelajari hal baru berdampak positif pada kesehatan kognitif orang lansia. Ketika terlibat dalam kegiatan yang menantang secara kognitif, seperti memecahkan teka-teki, belajar bahasa baru, atau bahkan mengikuti kursus daring, orang lanjut usia akan merangsang area otak yang berhubungan dengan pemrosesan informasi dan memori. Kegiatan seperti itu dapat memperlambat penurunan kognitif yang sering dikaitkan dengan penuaan, seperti demensia dan Alzheimer.
Dr. Rachel Wu, profesor psikologi University of California, menegaskan bahwa otak perlu terus dilatih. Makin sering otak digunakan untuk mempelajari hal-hal baru, makin kuat dan fleksibel otak tersebut. Proses ini dikenal sebagai “cadangan kognitif”, yang dapat membantu lansia tetap mandiri dan produktif di usia lanjut.
“[...]orang dewasa paruh baya dan lebih tua mungkin sama baiknya dalam belajar seperti orang yang lebih muda,” tuturnya dalam siniar dengan American Psychological Association.
Dengan kata lain, pembelajaran bagi lansia bukan hanya tentang menambah pengetahuan, tetapi juga menjaga kesehatan mental mereka.
Tak Ada yang Sia-Sia Belajar Sampai Tua
Selain bermanfaat secara kognitif dan motorik, mempelajari keterampilan baru juga memberikan dampak positif pada aspek sosial dan emosional orang lansia. Saat memutuskan untuk mempelajari hal baru, entah itu menari, melukis, atau bahkan mempelajari teknologi, mereka memasuki lingkungan yang penuh dinamika.
Kelas atau kelompok komunitas menjadi wadah yang sempurna untuk bertemu dengan orang-orang baru, berbagi cerita, dan merajut kembali hubungan sosial yang mungkin sudah mulai redup.
Bayangkan suasana riuh rendah ketika mereka di kelas memasak, tawa ceria saat belajar menggambar bersama, atau keriangan saat berbagi cerita. Semua momen tersebut tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga mengisi hati dengan kebersamaan. Dengan begitu, perasaan kesepian pun perlahan-lahan akan menghilang.
Aktivitas belajar merangsang otak untuk tetap aktif, sementara interaksi sosial yang terjadi membantu melepaskan hormon kebahagiaan seperti dopamin dan oksitosin. Ini adalah kombinasi sempurna untuk meningkatkan mood dan mengurangi risiko depresi di usia senja.
American Association of Retired Persons (AARP) pernah melakukan survei terkait kesepian yang menyergap kalangan orang lansia. Dengan melibatkan 3.020 responden berusia 45 tahun ke atas, penelitian tersebut menyebut bahwa orang dewasa paruh baya dan lansia, yang aktif di komunitas serta rutin hadir dalam kebaktian keagamaan, memiliki tingkat kesepian lebih rendah daripada mereka yang pasif.
Orang lansia tidak hanya lebih percaya diri karena mampu menguasai keterampilan baru, tetapi juga merasa dihargai dan diterima dalam lingkungan sosial.
Keberhasilan dalam mempelajari sesuatu yang baru dapat meningkatkan harga diri orang dewasa tua. Merasa mampu dan produktif adalah faktor penting untuk kesejahteraan psikologis. Misalnya, seorang lansia yang mampu mengoperasikan gawai akan merasa lebih terhubung dengan keluarga dan teman-temannya sehingga meningkatkan kebahagiaan.
Tantangan Belajar dan Berkarya di Usia Senja
Meskipun orang tua memiliki kemampuan untuk belajar, tidak dapat dimungkiri adanya tantangan yang perlu diatasi. Penurunan penglihatan, pendengaran, atau masalah kesehatan kronis, sering kali menjadi kendala utama bagi mereka yang ingin belajar.
Namun, teknologi dan inovasi telah hadir sebagai solusi. Misalnya, penggunaan kacamata dengan lensa khusus, alat bantu dengar, atau bahkan aplikasi pembaca teks, dapat membantu mengatasi keterbatasan fisik.
Pew Research Center melaporkan, penerapan teknologi di kalangan lansia cukup menonjol. 67 persen orang tua kini mampu menggunakan internet dan terdapat 42 persen yang memiliki telepon pintar.
Meski terjadi pertumbuhan secara keseluruhan, masih terdapat kesenjangan dalam penerapan teknologi di kalangan lansia berdasarkan usia, pendapatan, dan tingkat pendidikan.
Para orang tua kerap gelagapan pada teknologi baru dan harus ada bantuan serta pendampingan untuk menggunakannya. Temuan tersebut didasarkan pada survei telepon yang dilakukan terhadap 3.015 orang dewasa AS pada 2016 .
Keterbatasan waktu, kurangnya dukungan, dan pola pikir, juga tak lepas dari menjadi kendala para orang lansia. Adaptasi yang tepat, seperti menggunakan alat bantu atau memilih kegiatan yang sesuai dengan kemampuan fisik, dapat membuat proses belajar tetap efektif.
Orang dewasa paruh baya dan lansia dapat meluangkan 15-30 menit setiap hari untuk membaca, menonton video edukatif, atau mencoba keterampilan baru. Kuncinya adalah konsistensi. Dengan manajemen waktu yang baik, belajar bisa menjadi bagian yang menyenangkan dari rutinitas harian.
Orang lansia sering kali diabaikan dalam proses perekrutan, padahal mereka memiliki pengalaman dan keterampilan yang berharga. Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya solusi bersama, terutama dari pemangku kebijakan, dalam mengimplementasikan regulasi untuk melindungi hak-hak pekerja, tanpa batas usia.
Selain itu, dukungan dari keluarga dan masyarakat sangat penting. Dorongan morel dari orang terdekat dapat membuat perbedaan besar dalam meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri orang lansia.
Usia bukanlah penghalang untuk terus belajar dan berkembang. Lingkungan yang sehat dapat memotivasi semua orang untuk terus mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal.
Program-program khusus, seperti kelas komputer, kursus seni, klub sejarah, atau komunitas buku, dapat menyediakan ruang aman dan nyaman bagi orang lansia untuk belajar.
-------------
Catatan:
Tajuk artikel ini terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono berjudul "Yang Fana Adalah Waktu" (1989). Sajak aslinya berbunyi, "Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi...."
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin