tirto.id - Sepakbola Amerika Latin tidak hanya memberikan dunia segudang keindahan yang tak terpermanai, tetapi juga segepok hal ajaib, sureal, hingga yang kriminal, tapi benar-benar terjadi.
Dari Brazil ada kisah Roberto Rivelino. Salah seorang jenius lapangan hijau yang menjadi idola Diego Maradona ini pernah mencetak gol spektakuler ketika laga baru berjalan tiga detik, saat klub yang diperkuatnya, Corinthians, mengalahkan America Rio Preto di Liga Brasil, Agustus 1974.
Gol tersebut terasa ajaib bukan sekadar karena berlangsung dengan super cepat, tetapi juga lantaran prosesnya. Ketika itu kiper lawan, Pirangi, masih berlutut untuk berdoa. Rivelino yang melihatnya dari tengah lapangan pun segera menendang bola usai peluit ditiup. Usai berdoa, Pirangi pun kebingungan dengan apa yang terjadi: bola telah masuk ke gawangnya sendiri.
Keesokan harinya, surat kabar lokal, Folha de Sao Paolo, melaporkan kejadian itu dengan kalimat bersayap yang surealis dan menggemakan teknik menulis Gabriel Garcia Marquez, penubuh terbesar genre "realisme magis" dalam mengacak dan mempermainkan batas antara fantasi dan kenyataan: "Banyak penonton yang kebingungan. Kiper butuh waktu lebih lama dari orang lain yang ada di stadion untuk tahu bahwa ia telah kebobolan."
Pada 6 September 1995, dalam laga persahabatan antara Kolombia versus tuan rumah Inggris, di Stadion Wembley, Rene Higuita pernah melahirkan salah satu momen paling sureal dalam sejarah sepakbola. Sebermula dari tendangan lambung Jamie Redknapp yang mengarah ke gawang Kolombia, Rene tiba-tiba saja melompat secara horisontal sambil mengangkat kedua kakinya ke atas hingga tubuhnya melengkung seperti kalajengking dan dengan tumit yang terangkat itulah ia menghalau laju bola.
Kelak, penyelamatan yang masyhur itu dikenal dengan sebutan: Scorpion Kick.
Surealisme sepakbola Amerika Latin tentunya juga tidak dapat terlepas dari bagaimana kriminalitas yang muncul dari lapangan hijau. Kisah Andres Escobar, mantan pemain tim nasional Kolombia yang tewas ditembak mati hanya karena mencetak gol bunuh diri ketika Kolombia kalah 1-2 dari Amerika Serikat di babak penyisihan grup Piala Dunia 1994, adalah contoh terbaik mengenai hal ini.
Kematian Escobar merupakan ulah dari salah satu sindikat kartel di Kolombia. Mereka menganggap pemain itu telah bekerja sama dengan bandar judi internasional, sehingga menyebabkan kartel terkait mengalami kerugian besar. Pelaku penembakan Escobar bernama Castro Munoz, seorang pembunuh bayaran yang biasa disewa oleh kartel-kartel di Kolombia.
Sebelum mengeksekusi Escobar, ia sempat mengatakan: “Gracias por tu autogol, hijueputa!" (Terima kasih atas gol bunuh dirimu, anak pelacur!). Sejurus kemudian, pistol kaliber 38 mm yang ia bawa ditembakkan sebanyak 12 kali. Setelahnya, Munoz tancap gas dengan mobil pick-up Toyota. Mayat Escobar terbaring di atas genangan darahnya sendiri.
Kisah Escobar menjadi penting untuk memahami betapa sesungguhnya batas antara (pertunjukan) sepakbola dengan kematian sangatlah tipis. Terutama di Kolombia pada medio 80-an, ketika kartel menguasai nyaris segala lini kehidupan dan membuat negara seolah tak berfungsi. Namun, sebab itu pula surealisme sepakbola mereka selalu terjaga mutunya.
Relasi Sepakbola Latin dengan Sindikat Kejahatan
Pada 1983, Menteri Kehakiman Kolombia, Rodrigo Lara Bonilla, menyebut ada enam klub sepakbola di negara tersebut yang dimiliki oleh kartel. Atletico Nacional (Pablo Escobar, kartel Medellin). Millonarios (Jose Gonzalo Rodriguez Gacha, kartel Medellin), dan Lara (Miguel dan Gilberto Rodriguez Orejuela bersaudara, dua dari empat pemimpin kartel Cali, kompetitor utama kartel Medellin).
Pada 21 Juli 1998, salah satu pemain legendaris Kolombia, Anthony de Avila—biasa dijuluki “Smurf”—bahkan pernah mendedikasikan golnya ke gawang Ekuador yang meloloskan mereka ke Piala Dunia 1998, kepada Miguel dan Gilberto Rodriguez Orejuela. Avila ketika itu bermain untuk MetroStars, sebuah klub sepakbola Amerika yang kini berubah nama menjadi New York Red Bulls.
Kasus kriminalitas dalam wilayah sepakbola Amerika Latin juga pernah melibatkan ayah dari Lionel Messi, Jorge Messi. Pada 2014 lalu, Jorge pernah diperiksa otoritas perpajakan di Spanyol sehubungan dengan terungkapnya kasus pencucian uang yang dilakukan kartel narkoba Kolombia dalam sebuah laga amal.
Berdasarkan berita yang dilansir El Mundo, kartel terkait menggunakan pengaruh Jorge agar dapat melibatkan Messi dan sejumlah pemain bintang lainnya dalam laga amal bertajuk "Messi and Friends Vs The Rest of the World". Sebelumnya laga akan dilangsungkan di Medellin pada 29 Juni 2013, tapi kemudian dipindah ke Chicago, AS, 3 Juli 2013. Kartel Kolombia tersebut ditengarai telah memborong tiket dalam jumlah besar pada laga tersebut dan Jorge mendapat keuntungan 10-20 persen.
Juni 2015 lalu, seturut laporan El Comercio, setidaknya ada delapan klub sepakbola di Kolombia yang terindikasi memiliki relasi dengan kartel narkotika. Lima klub bermain di divisi teratas Liga Kolombia: Once Caldas, Aguilas Doradas, Envigado FC, Boyaca Chico FC, dan Cortulua. Sementara tiga lainnya berada di divisi kedua: Union Magdalena, Valledupar FC, dan Depor FC.
Kini, kelima klub tersebut tengah dalam penyelidikan pihak berwenang. Kejaksaan Agung Kolombia mengatakan penyelidikan itu "berpusat pada hubungan antara klub dengan uang dari kartel obat bius," sekaligus memastikan apakah uang yang dihasilkan turut digunakan dalam transfer pemain.
Khusus Envigado FC, klub tersebut sejak dulu sudah termasuk ke dalam daftar yang sudah ada dalam "US Kingpin List" (kebijakan AS mengenai sanksi kejahatan narkotika di Amerika Latin) yang diduga terlibat pencucian uang dan memiliki relasi dengan sindikat kriminal Envigado dan Urabeños.
Pada 26 September 2018 lalu, pihak berwenang Argentina menciduk 15 suporter asal Kolombia yang tergabung dalam "Barras Bravas"—istilah ini bisa diartikan kelompok suporter yang terorganisir dari klub sepakbola di Amerika Latin, sering pula dianggap sebagai istilah untuk suporter garis keras di Argentina—karena kedapatan membawa narkotika untuk dijual di Buenos Aires.
Dalam beberapa tahun belakangan, banyak suporter "Barras Bravas" di Amerika Latin yang bersalin rupa menjadi kartel dengan memanfaatkan jejaring mereka. Hal ini jamak ditemui di berbagai negara Amerika Latin dengan kultur sepakbola yang kuat seperti Argentina, Brazil, hingga Uruguay.
Kasus kriminal yang berasal dari kartel-suporter tersebut juga melibatkan beberapa klub sepakbola. Lagi-lagi di Argentina, pada April 2016, sebuah klub bernama El Porvenir yang bermarkas di Buenos Aires pernah diselidiki otoritas setempat karena diduga kuat terlibat kasus pencucian uang milik kartel Kolombia.
Pada Piala Dunia 2018 ini, kartel narkotika juga kembali menjadikan sepakbola sebagai salah satu media untuk bertransaksi. Di bandara Bogota, Kolombia, 22 Juni 2018, polisi menyita 14 seragam Kolombia palsu berbahan kokain. Pelaku yang ditangkap mengatakan bahwa masing-masing seragam itu terbuat dari lima kilogram kokain dan akan dikirim ke Belanda.
Setelah tiba di Belanda, seragam tersebut akan diekstraksi, lalu diubah menjadi bubuk, sebelum didistribusikan kembali ke para pembeli. Pada tanggal yang sama, pihak berwenang Argentina juga menemukan beberapa kilogram kokain yang disembunyikan di dalam delapan trofi replika Piala Dunia. Rencananya, kokain tersebut akan diedarkan untuk pasar pemadat di Buenos Aires.
Apa boleh bikin, dengan atau melibatkan kartel narkotika, hingga kini sepakbola Amerika Latin masih diseraki dengan berbagai kasus kriminal. Mereka seolah tidak pernah belajar dari masa silam sehingga, mengutip George Santayana, “dikutuk untuk mengulanginya.”
Namun, tunggu dulu. Bukankah hal yang kurang lebih sama juga terjadi dalam sepakbola Indonesia?
Editor: Maulida Sri Handayani