tirto.id - Udara dingin mengiringi langkah Bahari Nainggolan (30 tahun) menerobos kabut tebal. Empat lelaki menungguinya di pelataran gereja Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Selasa (29/11/2022).
Hari itu, Bahari akan pergi ke tombak—sebutan untuk hamparan kebun atau lahan kemenyan Sumatra (Styrax benzoin) yang dikelola turun-temurun. Di lahan wanatani (agroforestry) ini, getah kemenyan disebut haminjon.
Di Indonesia, kemenyan digunakan untuk campuran rokok, ritual keagamaan umat Katolik, Budha, Konghucu maupun dupa untuk kaum Kejawen. Di luar negeri, ia diolah menjadi bahan parfum, obat-obatan dan kosmetik.
Musim hujan di akhir tahun seperti ini merupakan jadwal bagi petani untuk mangaluak (memanen getah kemenyan) yakni getah sidukkapi—jenis getah kemenyan terbaik yang telah mengeras hasil mangguris (menyadap) batang 4-6 bulan sebelumnya.
Getah sidukkapi hanya dipanen sekali dalam setahun. Ia merupakan getah kemenyan bernilai jual tertinggi. Panen pertama ini disebut takasan. Selanjutnya, ada rassaran, yakni getah susulan setelah sidukkapi. Panen kedua ini disebut lecet.
Adapun getah ketiga disebut tahir, yaitu getah bercampur kulit batang pohon sisa-sisa panen sebelumnya. Jika sidukkapi dipanen pada musim hujan dan rassaran pada masa pancaroba, maka tahir dipanen saat musim kemarau tiba.
Menurut hukum adat, Bahari harus melapor terlebih dulu ke pengurus Parpatihan—lembaga adat desa yang mengurus administrasi kemenyan—sebelum memanen kemenyan. Merekalah yang menunggui Bahari di pelataran gereja pagi itu.
"Peraturannya, setiap warga yang ingin pergi ke tombak wajib melapor dulu supaya dicatat," kata Bahari kepada Tirto, Minggu (4/12/2022).
Parpatihan mengemban tugas penting dalam komunitas masyarakat adat Desa Simardangiang. Ketua dan anggotanya dipilih secara periodik oleh sesepuh kampung atau huta, penamaan desa oleh Bangso Batak pada era pra kolonial.
Untuk menjadi pengurus, warga mesti memenuhi sejumlah kriteria, seperti bermoral tinggi dan berperilaku bijak. Syarat itu harus dipenuhi karena tugas Parpatihan tidak sebatas mengurusi persoalan administrasi, melainkan juga persoalan sosial.
Mereka harus menengahi sengketa batas tombak, hingga menyelesaikan perkara pencurian. Artinya, masalah tertentu yang terjadi di desa tidak langsung diseret ke jalur hukum negara melainkan diselesaikan mengikuti hukum adat.
Parpatihan bahkan berperan seperti Badan Search and RescueNasional (Basarnas) jika ada warga yang hilang saat memanen getah kemenyan di hutan. Sebagai bentuk imbalan atas jasa mereka, petani menyetor 2% dari hasil penjualan kemenyan ke mereka.
Tugas-tugas Parpatihan yang begitu kompleks menempatkan para pengurusnya di posisi yang terhormat di mata masyarakat adat. Walau demikian, ada pula yang bercanda dan iseng menjuluki mereka sebagai "badan intelijen kemenyan" karena tugasnya tersebut.
Menurut catatan Parpatihan, pertanian kemenyan Simardangiang menghasilkan perputaran uang Rp1 miliar per tahun. Perputaran ini relatif stabil setelah sempat anjlok pada 2021 lalu akibat pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19).
Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Setelah melapor ke Parpatihan, Bahari bergegas menuju tombak yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari desa. Pagi itu, dia pergi bersama empat teman sekampung. Mereka harus mendaki dan menuruni hutan berbukit-bukit selama lebih dari 2 jam untuk mencapainya.
Suara ragam jenis satwa menemani perjalanan Bahari dan kawan-kawan. Mulai dari jangkrik, burung hingga kera terdengar bersahutan-sahutan di antara vegetasi yang lebat dan menjulang tinggi.
Sesampainya di tombak, Bahari langsung merogoh tas sandang yang terbuat dari anyaman rotan, namanya bakul.
Dia lalu mengeluarkan seutas tali serat yang disebut polang dan alat-alat khusus untuk menyadap dan memanen getah kemenyan, yaitu tuhil atau agat (pisau kecil pencongkel getah kemenyan), guris (alat menyadap) dan panuktuk (besi lonjong berujung runcing).
Setelah alat-alat sederhana itu siap, Bahari bersiap memanjat pohon kemenyan. Sebelum itu, dia menjalankan ritual yang telah diterapkan masyarakat adat Simardangiang sejak zaman nenek moyang mereka.
Dia menepuk-nepuk batang pohon sembari melantunkan mantra atau doa. Ritual tersebut telah diajarkan secara turun-turun oleh keluarga para pemanen getah kemenyan. Konon, cara itu mampu membangun ikatan emosional antara petani dan pohon.
"Kami percaya kalau cara ini akan membuat pohon mengeluarkan getah kemenyan yang banyak. Jadi hasil panen melimpah," kata Bahari, sebelum kemudian cekatan memanjat batang tubuh pohon kemenyan.
Beberapa menit kemudian prosedur mangguris dimulai. Di sela-sela itu, Bahari tiba-tiba berteriak, “Parung!”
“Parung!” sahut Hendra Sitompul (37 tahun) yang juga tengah manige (bertani kemenyan) di tombak sebelah.
Parung bermakna harapan atau permintaan agar getah kemenyan penuh. "Kalau sedang mangguris, ada yang bilang 'parung', maka yang lain juga menyahut dan berteriak 'parung'," kata Hendra.
Mereka juga merawat tradisi lain seperti marhontas, yaitu kejutan istri terhadap suami yang bermalam di tombak. Saat sedang manige, sang istri datang membawa itak gurgur—makanan tradisional dari beras, kelapa, gula aren—dan daging babi.
"Dari leluhur kami melakukan tradisi ini yang dipercaya bisa membuat pohon kemenyan mengeluarkan banyak getah," kata Hendra.
Selain marhontas, ada pula tradisi sangkehudali, yakni menggantungkan cangkul yang bermakna berhenti bekerja sehari penuh untuk fokus beribadah, dan gotilon, yakni pesta adat yang biasa dilakukan setelah masa panen tuntas.
Tradisi lainnya adalah marsiadapari, yakni gotong royong, baik ketika bertani padi maupun kemenyan. Marsiadapari dilakukan per kelompok untuk mengelola hasil hutan bersama. Hasilnya lantas dibagi secara proporsional.
Sayangnya, marsiadapari sudah jarang dipraktikkan. Tidak seperti dulu, semangat petani kemenyan di masyarakat adat Simardangiang mulai kendor. "Karena sekarang haminjon sudah sedikit, harganya murah pula," kata Bahari.
Pada sore hari, Bahari dan teman-temannya langsung beranjak pulang ke desa dan melapor ke Parpatihan. Hasil kemenyan hari itu memang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan zaman orang tua mereka. Lagi-lagi, tak ada tradisi marhontas hari itu.
Harga Turun, Petani Menjerit
Kini harga jual kemenyan cenderung turun yang ikut menekan produktivitas kemenyan karena petani mengalami demotivasi. Tak sedikit pemuda Desa Simardangiang memilih merantau, atau mencari sumber penghasilan baru karena malas merawat kemenyan.
"Menyadap kemenyan ini prosesnya rumit, tapi mau bagaimana lagi. Kita capek tapi harga tidak sesuai," kata Bahari.
Pemicu penurunan harga tersebut salah satunya adalah suplai berlebih di pasar dalam satu dekade terakhir. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2010, luas tanaman kemenyan di provinsi Sumatera Utara hanya 22.916,85 ha dengan produksi 4.730,4 ton.
Per 2020, total luas lahan kemenyan tersebut naik menjadi 23.146 ha dengan produksi melonjak dua kali lipat menjadi 8.604 ton. Kabupaten Tapanuli Utara jadi penyumbang utama, sebesar 70,3% atau 16.223 ha pada 2020, dengan produksi 4.073 ton.
Selain Tapanuli Utara, kemenyan juga banyak tumbuh di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi. Produksi di lima kabupaten itu stabil tatkala permintaan disinyalir drop sejak pandemi Covid-19.
Di tengah situasi demikian, daya saing kemenyan asal Desa Simardangiang menurun. Menurut Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul, orang tua mereka dulu sanggup menghasilkan 200 kg kemenyan kelas satu (sidukkapi) dalam setahun.
Namun kini petani paling hanya memproduksi sidukappi sebanyak 70 kg per tahun. "Itu pun sudah termasuk jago bisa 70 kilogram setahun. Saya sendiri sudah dari 20 tahun lalu tidak lagi mengelola haminjon di tombak saya," kata Tampan.
Akibatnya, penghasilan mereka pun turun. Mayoritas warga Desa Simardangiang kini merasakan hasil penjualan kemenyan hanya bisa menutup kebutuhan makan sehari-hari. Mereka mulai kesulitan menyekolahkan anak ke jenjang menengah.
"Bagaimana lah ya, karena harganya ini turun kami pun susah menyekolahkan anak. Paling kuat cuma bisa sampai SMP dan SMA," ujar Elsi Rohani boru Sitompul (47 tahun), warga Desa Simardangiang.
Menurut laporan majalah Imanuel terbitan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) edisi 24 Oktober 1920, hasil produksi kemenyan Tano Batak pada 1919 telah mencapai 1,8 ton atau senilai 1,5 juta gulden.
Dari catatan Esther Katz dalam Pengolahan Kemenyan di Dataran Tinggi Batak (2001), produksi kemenyan Tapanuli diketahui pernah tembus 5.000 ton/tahun pada 1993-1998. Sebagai perbandingan, produksi kemenyan Laos dan Vietnam masing-masing hanya 50 ton/tahun.
Penampung Kemenyan Ditengarai Curang
Di luar faktor pasar dan kualitas panen, Tirto menemukan pola pembentukan harga jual juga cenderung merugikan petani. Harga kemenyan ditentukan oleh penampung (tauke) secara sepihak dengan hanya melihat bentuk atau rupa kemenyan dari sudut pandang mereka.
Tak ada indikator yang jelas untuk menentukan harga. Penilaian atas produk petani tergantung selera tauke, yang jumlahnya beberapa orang (sehingga posisi tawarnya kuat). Bagai tengkulak, mereka memanfaatkan lemahnya posisi petani untuk mengatur harga.
Hanya ada empat tauke yang biasanya datang ke pekan penjualan kemenyan setiap Jumat di samping pelataran gereja Desa Simardangiang. Para tauke itu berasal dari dalam dan luar Kabupaten Tapanuli Utara.
Mereka menghargai kemenyan kategori sidukkapi di Rp200.000-Rp300.000/kg, turun dari harga beberapa tahun lalu di Rp250.000-Rp350.000/kg. Sementara itu, kategori rassaran dihargai Rp100.000-Rp150.000/kg dan tahir seharga Rp50.000-Rp100.000/kg.
"Yang lebih sakit, sudah lah harganya semakin murah, kami dikenakan potongan 10% lagi oleh tauke. Tidak tahu kami untuk apa, kalau alasan mereka katanya kemenyan kami belum bersih," ujar petani lainnya, Martimbun Sihombing (51 tahun).
Di Desa Simardangiang, ada tiga pengepul kemenyan lokal. Biasanya, tauke mendatangi rumah mereka untuk membeli kemenyan, selain membeli langsung dari petani. Satu di antaranya adalah Rafolo Ritonga.
Menurut Rafolo, para pengepul beberapa kali dibohongi oleh oknum tauke kemenyan yang membeli kemenyan dengan harga sangat rendah tapi ternyata menarik selisih keuntungan besar. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak.
Ada pula yang tega membeli kemenyan petani dengan harga murah karena alasan kualitas rendah. Padahal, oknum tauke tersebut kemudian menggolongkannya sebagai kemenyan kualitas tinggi ketika menjualnya ke penampung besar.
"Kami tidak punya jaringan untuk memasarkan kemenyan ini langsung ke eksportir atau pengusaha besar. Jadi kami pasrah saja ke tauke yang datang," kata Rafolo.
Meski kemenyan adalah tanaman endemik (asli Sumatra), pusat perdagangan kemenyan dunia berada di Singapura. Dari sana, kemenyan didistribusikan ke berbagai negara seperti China, India, Timur Tengah, hingga Eropa.
Kendati demikian, pasar domestik menguasai konsumsi kemenyan sebanyak 75%. Sisanya lah yang dikirim ke Singapura.
Menanggapi perkembangan tersebut, Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah I Ridho Pamungkas menilai pasar perdagangan kemenyan cenderung oligopoli. KPPU memiliki kewenangan untuk mengusut dan memberikan sanksi atas pelaku kartel.
"Di mana potensi adanya kartel sangat besar dengan ciri-ciri komoditas yang dijual homogen, tidak mudah pemain baru masuk sebagai tauke karena biasanya diikat dengan pinjaman dan lainnya, informasi harga pasar tidak transparan," ujarnya.
Untuk mengatasi praktik tersebut, dia mendorong pemerintah setempat membentuk kelompok tani, atau mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai penyeimbang harga.
"Kemudian dengan perbaikan infrastruktur untuk menaikan daya saing dan pemanfaatan teknologi digital untuk mengakses harga dan pasar," kata Ridho.
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono