tirto.id - Simardangiang berasal dari kata mardang dan Iang. ‘Mardang’ berarti berjalan bebas, sedangkan ‘Iang’ artinya ikhlas memberi. Kemenyan mempengaruhi hidup mayoritas warga desa adat Simardangiang, dan juga kehidupan satwa Sumatra.
Konon, leluhur warga Simardangiang mampu menerobos hutan belantara dan muncul di kawasan Pantai Barat Sumatera—sekitar Sibolga—untuk menukarkan kemenyan dengan garam dan ikan. Jaraknya sekitar 30 kilometer, menembus hutan pekat.
Kini jika menggunakan kendaraan, Sibolga dicapai dengan mengikuti jalan darat ke Utara menuju Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara lalu belok membentuk huruf V terbalik, ke Barat Daya. Menurut googlemap, jaraknya lebih jauh yakni 92 kilometer.
Jika ingin mencapai desa ini dari Tarutung, kita harus menghabiskan waktu selama 1,5 jam berkendara di jalur darat. Di sepanjang perjalanan, udara sejuk, pepohonan tinggi serta persawahan memanjakan mata kita.
Sayangnya, keindahan panorama dan bentang alam tersebut tidak selaras dengan akses jalan yang buruk. Padahal, begitu banyak tanjakan dan turunan curam yang bisa membahayakan pengendara.
Setelah melewati jalan berliku, pendatang akan disambut gereja dan permukiman penduduk semi permanen. Desa ini berada di kawasan lembah sehingga susunan antar-rumah terlihat bertingkat-tingkat.
Jika sampai di sana, jangan heran jika warga adat Simardangiang didominasi oleh marga Sitompul. Porsinya mencapai 40% dari total 728 orang warga, di 193 keluarga. Selebihnya ada marga Sihombing, Nainggolan, Tambunan, Ritonga, Simanungkalit, dll.
Marga Sitompul di desa ini adalah sipungka huta (pembuka kampung) yang merupakan keturunan Raja Tinaruan pada awal abad 16. Mereka bermigrasi dari Tarutung ke Lobu Tolong, yang jadi tuan rumah bagi kuburan kuno dan sisa rumah adat asli Bangso Batak.
Melihat tanda-tanda peninggalan dan corak permukiman, desa adat Simardangiang diperkirakan sudah ada sejak 200 tahun lalu, meskipun pendahulunya sempat berpindah-pindah dan permukiman pernah terbakar.
Pada era kolonial hingga masa awal kemerdekaan, administrasi Desa Simardangiang dan lima desa lainnya digabungkan dalam Kanagarian Sigompulon. Kini desa ini terdiri atas tiga dusun, yakni Dusun Simardangiang, Dusun Sibiobio dan Dusun Lumbang Gotting.
Ironisnya sampai sekarang, desa tersebut masih tertinggal dari sisi pendidikan dengan hanya memiliki Sekolah Dasar (SD). Jika hendak melanjutkan pendidikan tingkat menengah, warga harus berjalan kaki atau menggunakan kendaraan pribadi ke luar desa karena belum ada transportasi umum.
Berkah Hutan yang Terancam Hilang
Mengunjungi kebun kemenyan (tombak) di Desa Simardangiang, sama artinya menembus hutan hujan tropis, yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut, tetapi telah dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Di hutan penuh satwa liar tersebut, terdapat banyak Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti pohon petai, durian, jengkol, dan tentunya Boswellia, yaitu pohon penghasil getah resin kemenyan yang diolah menjadi bahan parfum, kosmetik, hingga dupa.
Pohon-pohon ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber oksigen, tutupan hutan, dan penampung air, melainkan juga memberi manfaat ekonomi bagi warga Simardangiang. Ia menjadi wanatani(agroforestry) ideal karena keseimbangan ekosistem tak terganggu.
Keberadaan hutan itulah yang membuat desa adat Simardangiang kaya akan air bersih. Setiap rumah dialiri selang 24 jam nonstop secara gratis. Di ujung jalan desa, ada pemandian umum yang memancarkan air bersih tanpa henti. Udaranya sejuk dan segar.
Namun, keseimbangan ekosistem itu berisiko hilang seiring makin pudarnya wangi kemenyan. Anjloknya harga kemenyan yang memicu turunnya produktivitas berpeluang memicu peralihan tanam ke komoditas perkebunan lain yang cenderung merusak hutan.
Situasi serupa pernah menimpa petani kemenyan di Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara. Masyarakat adat di sana sudah meninggalkan pertanian kemenyan secara total sejak 2002 silam.
Alasannya, harga kemenyan diobral hingga jatuh. Padahal, proses produksinya melelahkan dan memakan waktu lama. Saat ini, masih tersisa 500 hektare kebun kemenyan di tempat itu. Namun, kondisinya sudah tidak terawat dan dibiarkan terlantar.
Selain harga, faktor alam juga mempengaruhi minat masyarakat adat Hopong untuk mengelola kemenyan. Sebab, jenis pohon yang tumbuh di tempat itu memerlukan waktu lebih lama untuk menghasilkan getah layak panen.
Akibatnya, petani beralih ke pertanian nilam yang pada 2002 harganya lebih tinggi. Tak lama berselang, harga nilam ikut anjlok pada 2008. Sejak saat itulah mereka berpaling ke pertanian pisang berskala besar. Area hutan pun berubah menjadi kebun pisang.
Di Desa Simardangiang, gonjang-ganjing harga jual kemenyan telah memukul kehidupan warga adat di sana. Banyak di antaranya yang kesulitan melanjutkan pendidikan menengah, dan bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan makanan yang layak.
Menurut pantauan Tirto, anak-anak Desa Simardangiang berfisik kurus. Tak sedikit di antara mereka yang pipinya cekung dengan sorot mata sayu, mengindikasikan kondisi tubuh yang kurang gizi.
Beberapa anak lainnya, termasuk bayi, mengidap penyakit kulit yang akut.
Ancaman bagi Satwa Sumatra
Di Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, persoalan harga juga menyebabkan langkanya petani kemenyan. Awalnya, nyaris seluruh penduduk desa berprofesi sebagai petani kemenyan. Namun belakangan, jumlahnya berkurang hingga menjadi 60%.
Ketergantungan masyarakat adat terhadap pihak luar dalam menentukan harga memicu kerentanan ekonomi mereka. Pada akhirnya, alih fungsi lahan wanatani pun terjadi, yang memicu kerusakan tutupan hutan.
Apalagi, hutan Hopong, Pantis dan Simardangiang merupakan habitat penting bagi satwa-satwa yang terancam punah. Misalnya, orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan berbagai jenis satwa lainnya.
Menurut Founder Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo, Dusun Hopong dan Desa Pantis terletak di kawasan Batang Toru Blok Timur. Sementara itu, Desa Simardangiang di Batang Toru Blok Barat.
Kedua blok hutan tersebut diketahui merupakan habitat orang utan Tapanuli yang jumlahnya diperkirakan hanya 760 ekor. Spesies ini masuk daftar merah dengan status Critically Endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).
"Artinya, hutan-hutan di sekitar desa itu memiliki peran penting untuk populasi orang utan Tapanuli. Sehingga diperlukan perhatian agar tutupan hutan di sana tetap terjaga," kata Panut.
Selama ini, tutupan hutan di lembah Pahae tetap terjaga berkat pengelolaan wanatani yang diterapkan oleh masyarakat adat. Mereka memanfaatkan hutan dengan tetap menjaga keanekaragaman hayati, sehingga berdampak minimal terhadap lingkungan.
Dalam tradisi lokal, masyarakat adat mengenal istilah larangan yang disebut harangan. Mereka dilarang mengganggu dan memasuki kawasan hutan karena keyakinan tertentu. Secara tidak langsung, kearifan lokal tersebut membantu menjaga kelestarian hutan.
Berdasarkan hasil penelitian Saurlin Siagian yang dituangkan dalam buku berjudul Tombak Na Marpatik (2022), peradaban di Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong sudah ada sejak 200-300 tahun lalu.
Sebelum bermigrasi ke lokasi saat ini, tempat asal nenek moyang mereka disebut Lobu. Sistem pengelolaan masyarakat adat terbukti ampuh menjaga kawasan tutupan hutan. "Tidak diragukan lagi kemampuan masyarakat adat dalam memelihara hutan dan tutupannya," tulis Saurlin.
Lebih jauh, Saurlin menulis bahwa terdapat relasi yang kuat antara peradaban Bangso Batak, hutan dan kemenyan. Referensi yang diperolehnya membuktikan hubungan itu sudah terjadi sejak ribuan tahun.
"Dari praktik-praktik itu, maka relasi masyarakat Batak sekitar hutan dengan lingkungan hutan tidak sekadar relasi ekonomi, tetapi sudah menjadi bagian peradaban Batak itu sendiri," tulis Saurlin.
Melihat vitalnya peran tersebut, Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia Dana Prima Tarigan menekankan pentingnya pengakuan negara terhadap masyarakat dengan kearifan lokalnya dalam mengelola hutan adat.
Tujuannya bukan hanya untuk memperbaiki hubungan antara negara dan masyarakat adat, tetapi juga melindungi kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Dana menilai masyarakat adat punya tradisi unik mengelola kehidupan dan menjaga alam sekitarnya.
"Hal ini menjadikan hutan yang dikelola oleh masyarakat adat lebih unggul dalam konteks menjaga lingkungan dan menjadi solusi berbasis alam dalam menghadapi tantangan krisis iklim," kata Dana.
Jakarta Memperparah Keadaan
Kini, masyarakat adat di Lembah Pahae Kabupaten Tapanuli Utara tak hanya menghadapi problem harga kemenyan yang turun. Hak mereka kini terancam oleh klaim negara atas lahan yang sudah mereka kelola secara turun-temurun sejak ratusan tahun.
Pada 16 Mei, lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan putusan atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat tak lagi tergolong hutan negara. "Memasuki 1 dasawarsa sejak putusan MK itu, pengakuan wilayah adat justru kalah bersaing dengan semakin masifnya perampasan wilayah dan ruang hidup masyarakat adat," kata Dana.
Dilema demikian dirasakan Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul. Dia sempat terkejut dan tak menyangka petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) datang ke desa pada 2021 lalu untuk mematok penanda.
Ternyata, pemerintah menetapkan kawasan hutan adat mereka, termasuk tombak, sebagai hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 579/Menhut-II/2014. Tampan tidak tahu persis luas wilayah adat mereka yang kini berubah menjadi hutan negara.
"Nenek moyang kami sudah tinggal di sekitar sini sejak ratusan tahun lalu. Sebelum negara ini merdeka, kami sudah bertani kemenyan," ujarnya.
Meski berubah status, masyarakat adat saat ini masih tetap bisa mengelola tombak di hutan lindung tersebut. Namun, mereka khawatir situasi akan berubah. Penetapan ini layaknya bom waktu yang bisa memicu konflik di kemudian hari.
"KLHK selalu seperti itu, peraturan kerap berubah, dan tidak pernah sosialisasi dan melibatkan masyarakat. Ini berpotensi jadi konflik vertikal antara masyarakat adat dan negara," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak.
Pembelaan datang dari Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan yang secara resmi mengakui keberadaan hak masyarakat adat. Pada 2021, Pemkab Tapanuli Utara menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Sejauh ini, sudah ada tiga masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Utara yang mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong menyusul dan kini sedang diproses.
Selain itu, Nikson mempelajari formula yang memungkinkan pemerintah daerah menetapkan legitimasi terhadap hak masyarakat adat tanpa menunggu persetujuan KLHK. "Sikap kami jelas, kami ingin semua masyarakat adat di Tapanuli Utara diakui dan dilindungi," kata Nikson.
Di sisi lain, dia meminta bantuan pemerintah pusat untuk meningkatkan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara. Menurutnya, keterbatasan pendidikan tinggi di daerah tersebut turut mempengaruhi kemampuan masyarakat menghadapi aspek bisnis dan perdagangan.
"Untuk menghapus kemiskinan di Bangsa Batak, Tapanuli, kuncinya pendidikan. Kita minta negara membangun universitas umum di Tapanuli Raya," katanya.
Hingga laporan ini diunggah, Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar belum membalas pertanyaan yang diajukan Tirto melalui pesan digital, mengenai perlindungan hutan adat di Sumatra.
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono