Menuju konten utama

Jimat Peserta Tes CPNS: dari Garam, Kemenyan, hingga Aksara Arab

Agar lolos tes, ada CPNS yang menggunakan jimat.

Jimat Peserta Tes CPNS: dari Garam, Kemenyan, hingga Aksara Arab
Jimat yang digunakan peserta untuk mengikuti tes CPNS. FOTO/BKN

tirto.id - Pegawai Negeri Sipil, kata orang-orang, adalah profesi idaman. Dan tidak ada contoh terbaik untuk membuktikan itu selain yang terjadi di beberapa daerah baru-baru ini.

Saat pelaksanaan Tes Kemampuan Dasar (TKD) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2020 di Yogyakarta, panitia menemukan peserta tes yang membawa jimat. Jimat ini dipercaya dapat membawa keberuntungan dan dapat menjadikan mereka lulus tes.

Melalui Twitter-nya pada Ahad (9/2/2020), Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY mengunggah gambar yang memperlihatkan taburan garam di sudut gedung lokasi tes.

“Ditemukan garam berbau kemenyan di pojok Gedung Wana Bhakti Yasa, tempat penyelenggaraan tes SKD. Kawan-kawan, yakinlah dengan kemampuanmu, dan mintalah pertolongan hanya kepada Tuhan saja. Semangat yaa genks,” cuit @BKDDIY.

Akun Twitter BKN juga mengunggah gambar yang berkaitan dengan jimat. Gambar yang diunggah memperlihatkan sebuah kalung kain mori.

“Aih... aih... masih ada aja ya yang percaya sama jimat. Sedih hati mimin kalau tahu ada peserta SKD #CPNS2019 yang enggak percaya diri begini,” cuit @BKNgoid pada Rabu (5/2/2020).

Panitia di Semarang, Jawa Tengah, juga mendapati peserta yang membawa jimat. Mengutip Kompas, ada dua jimat ditemukan dalam TKD CPNS di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus).

Menurut Ketua Pelaksana dari Udinus untuk CAT CPNS 7 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, Mohamad Sidiq, jimat pertama yang ditemukan pada Senin (3/2/2020) lalu berupa kertas dan kain hijau dengan tulisan Arab gundul.

Temuan kedua pada Rabu (5/2/2020). Jimat berbentuk ketapel dibalut kain merah ditemukan ketika panitia menggelar razia.

Tidak Percaya Diri

Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kanif Anwari mengatakan jimat itu memang ada, dan bahkan umum, menggunakan penggalan ayat Al-Qur’an. Biasanya penggalan itu tak ada artinya. Kalaupun ada, tak jelas apa maksudnya.

“Banyak medianya. Ada yang [ditulis] di kertas, kain, atau alat-alat kerja tertentu. Kadang, ada yang dengan media air,” kata Kanif kepada reporter Tirto, Senin (10/2/2010).

Kanif mengatakan bagi mereka yang mengedepankan akal, penggunaan jimat ini memang tak akan dianggap lumrah. Namun, bagi sebagian lagi, jelas tak masalah, apalagi jika niatnya memang sebatas berdoa kepada Tuhan.

Dilihat dari sisi lain, Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro mengatakan faktor utama seseorang memakai jimat adalah ketidakpercayaan diri. “Yang kedua, keinginan yang luar biasa dan menggebu-gebu untuk menjadi pegawai negeri,” kata Koentjoro kepada reporter Tirto.

Bagi Koentjoro, penggunaan jimat akan tetap ada selama yang mempelajarinya tetap eksis. Kasus ini buktinya: jimat tetap ditemukan meski sebenarnya peserta tes termasuk generasi milenial yang disebut-sebut paling melek teknologi.

Ada pula kemungkinan orang tersebut sebenarnya tak percaya jimat, tapi karena perintah orang lain, misalnya orangtua, mereka jadi terpaksa melakukan itu.

Sejarah Jimat & Ragamnya

Azimat atau jimat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan “barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya.”

Jimat sudah dikenal lama, bahkan sejak zaman purba. Menurut Andi Achdian, doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia sekaligus pengajar di Program Studi Sosiologi Universitas Nasional, mulanya manusia purba dapat dengan mudah mendapatkan makanan dari alam. Namun, saat mereka sadar ada kekuatan lain di luar diri mereka dan ketika hewan buruan semakin sulit ditangkap, lama-lama muncul jimat dan posisinya semakin sentral.

Saat agama samawi datang, tambah Andi, jimat diabstraksikan lewat doa-doa, dan sebagian doa-doa ini dilekatkan dengan benda. Sebagai contoh, dalam kebudayaan Islam di Nusantara, jimat biasanya berbentuk tulisan Arab dalam kain atau kertas dan disebut isim. Ada juga dalam bentuk air, pedang, dan lain-lain.

“Jadi jimat ini adalah doa yang dimaterialkan,” katanya.

Ketika revolusi Indonesia bergolak, jimat juga mewarnai pelbagai pertempuran. Andi mencontohkan saat terjadi perang di Surabaya, para pejuang republik yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan banyak yang membawa jimat atau dibekali doa. Dengan begitu, mereka lebih berani tampil di palagan.

Dalam lintasan sejarah Aceh, menurut M. Dien Madjid dalam Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat (2013), bersamaan dengan ilmu agama, ilmu-ilmu lain juga sempat diakrabi dan dipelajari masyarakat. Salah satu yang menonjol adalah ilmu kanuragan (eleumee).

“Salah satu cabang eleumee yang dipandang penting bagi semua orang Aceh, terutama untuk penguasa, panglima, dan serdadu adalah ilmu kebal (eleumee keubay),” tulisnya.

Bentuk-bentuk jimat dalam kehidupan masyarakat Aceh tempo dulu, tambah Madjid, di antaranya berbentuk serangga, ulat, kadal, dan sebagainya yang terbuat dari besi atau logam. Ada juga yang bentuknya buah-buahan, kelapa bermata satu, atau rotan.

Sementara studi antropologi Hermansyah yang dibukukan dalam Ilmu Gaib di Kalimantan Barat (2010) mencatat di sebuah kecamatan yang bernama Embau, benda-benda yang dipakai sebagai jimat adalah buntat, kain, kertas, batu, kayu, dan keris. Jimat tersebut dipercaya mendatangkan kewibawaan, kebal, dan mencegah penyakit sawan pada anak-anak.

“Untuk menyimpan jimat dari kertas biasanya dibungkus dengan kain kuning atau hitam kemudian dijahit. Ada pula yang menyimpan jimat dengan cara membungkusnya dengan bahan seperti seng, aluminium, dan besi,” tulis Hermansyah.

Jimat jenis ini biasanya biasanya disimpan di dalam dompet, tutup kepala, dan benda yang dililitkan di pinggang.

Selain benda-benda tersebut, ada juga benda lain yang dianggap memiliki kekuatan gaib seperti minyak dilah, minyak tampang keladi, dan darah orang yang mati dibunuh.

Di Papua, seperti ditulis Djoko Pramono dalam Budaya Bahari (2005), jimat biasa digunakan Suku Tabati yang bermatapencaharian nelayan. “[Jimat] tersebut konon dapat digunakan untuk menguasai angin dalam pelayaran sehingga kapal tak gentar oleh badai.”

Catatan-catatan ini membuktikan bahwa meski jimat tak bisa dibuktikan khasiatnya secara ilmiah, ia tetap dipakai banyak orang, sampai sekarang, dengan tujuan yang berubah-ubah.

Baca juga artikel terkait BKN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino