tirto.id - Pitung adalah sosok legendaris. Ia ibarat Robin Hood bagi masyarakat Betawi tempo dulu. Namanya abadi dan masih diingat oleh orang tua hingga anak-anak. Namun, tidak mudah menemukan jejak sejarahnya yang tercerai-berai dan dipenuhi mitos: dari jimat hingga ilmu kebal ala para jago.
Kisah Pitung lebih banyak dituturkan dari mulut ke mulut hingga terbentuk banyak versi. Lama-kelamaan, riwayat hidupnya menjadi amat cair dan melebur ke dalam memori kolektif masyarakat Betawi. Ketepatan sejarah pun seolah menjadi tidak penting lagi.
Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia menyebut Pitung sebagai sosok yang berdiri di antara dua dimensi: memori dan sejarah. Meskipun riwayatnya tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dipertentangkan. Justru hal itu menjadikan Pitung semakin menarik dan istimewa.
“Kalau Pitung dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, saya mendukung sekali,” kata Bondan mengawali ceramahnya dalam seminar “Rekontekstualisasi Narasi Si Pitung” yang diselenggarakan di Museum Kebaharian Jakarta, Sabtu (19/10/2019) lalu.
Mencari Pitung dalam Sejarah
Mencari jejak sejarah Pitung ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sumber-sumber yang kredibel sebagian hanya merekam aksi-aksi percuriannya yang berlangsung selama 16 bulan (26 Juni 1892-19 Oktober 1893). Sementara beberapa sumber kontemporer lebih banyak ditemui dari penuturan lisan para orang tua, pantun, cerita rakyat, novel, dan film.
Menurut riwayat yang dituturkan secara turun temurun, Pitung lahir sekitar tahun 1864 dengan nama Salihun di Desa Pengumben, Rawa Belong, Jakarta Barat. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Bang Piun dan Mbak Pinah. Salihun tumbuh di lingkungan Pesantren Menes, Kampung Rawa Bebek, di bawah bimbingan Haji Naipin yang mengajarinya beladiri dan pelbagai macam ilmu sakti.
Suatu hari, saat Salihun tengah berjalan pulang dari pasar Tanah Abang, uang hasil menjual kambing titipan ayahnya raib dicuri orang. Dibantu teman-temannya sesama jago, Salihun kemudian melacak keberadaan pencuri itu untuk mengambil kembali uang ayahnya.
Sejak kejadian itu, ia merubah namanya menjadi Pitung dan mulai mencuri dari petani di sekitar tanah partikelir di Ommelanden (sekarang Jabodetabek) atau kawasan luar tembok Batavia. Mula-mula ia hanya mencuri ternak dan hasil bumi para petani, namun lama-kelamaan kelompok Pitung juga mencuri untuk mengintimidasi orang-orang kaya.
Berdasarkan penulusuran sumber primer yang dilakukan Margreet van Till dalam Banditry in West Java: 1869-1942 (2010: hlm. 137), aksi kriminal yang dilakukan Pitung pertama kali mendapat sorotan pers sekitar bulan Juni 1892. Surat kabar berbahasa Melayu, Hindia Olanda, memberitakan bahwa schout (kepala polisi wilayah) tengah melakukan penggerebekan di sebuah rumah milik seorang pencuri bernama Bitoeng di kampung Sukabumi di selatan Batavia.
Rumah itu ternyata kosong, polisi hanya menemukan alat-alat penyamaran berupa baju seragam petugas administrasi dan dinas kepolisian. Barang-barang itu diduga digunakan Pitung dan kelompoknya dalam setiap aksi pencurian dengan cara menyamar menjadi polisi pribumi yang bekerja untuk pemerintah kolonial.
Pada 30 Juli 1892, Pitung bersama kelima temannya, yaitu Abdul Rachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering, kembali melancarkan aksinya dengan merampok sebuah rumah milik saudagar Bugis bernama Haji Safiuddin. Menurut laporan Hindia Olanda yang dikumpulkan van Till, kali ini aksi Pitung dan kelompoknya diwarnai kekerasan dengan menembakkan revolver untuk menakuti korban dan warga sekitar.
Van Till menambahkan, aksi kekerasan Pitung tidak memandang jenis kelamin dan etnik. Seorang pedagang di Kali Besar bernama Nyonya De C dan seorang gadis pribumi bernama Mie, pernah menjadi korban aksi perampokan kelompok tersebut.
Hidup dalam Memori Kolektif
Enam belas bulan setelah aksi pertamanya diberitakan surat kabar, Pitung dijebak dan ditembak mati oleh seorang kepala polisi bernama Adolf Wilhelm Verbond Hinne di sebuah permakaman di Tanah Abang. Peristiwa itu dipublikasikan secara besar-besaran oleh surat kabar berbahasa Belanda, De Locomotief, yang justru membuat nama Pitung semakin besar dan dikenal orang.
“Orang itu (Pitung) telah membuat polisi sibuk selama lebih dari enam bulan. Semua orang takut padanya dan menggigil begitu mendengar namanya, sementara orang-orang biasa menyerah pada setiap permintaannya,” tulis De Locomotief edisi 19 Oktober 1893, seperti dikutip oleh van Till dalam makalah “In Search of Pitung: The History of Indonesian Legend” (1996).
Berbeda dengan narasi koran tersebut, Pitung ternyata mendapat dukungan, khususnya dari kalangan bawah penduduk Ommelanden. Satu hari setelah pemberitaan De Locomotief, Hindia Olanda edisi 20 Oktober 1893 mewartakan bahwa sebuah lokasi yang dipercaya sebagai makam pitung tiba-tiba didatangi sekelompok peziarah.
Van Till mengungkapkan, pemberitaan besar-besaran yang diterima Pitung selama masa buron, berkontribusi memengaruhi cara berpikir masyarakat Batavia dan sekitarnya. Meskipun pemberitaan tentang Pitung tidak ditujukan untuk memuja sosoknya, namun Pitung menjelma menjadi pahlawan rakyat kecil karena ia buronan polisi kolonial yang citranya buruk.
“Sejak zaman VOC, pemerintahan kolonial Batavia dan sekitarnya tidak memiliki karakter feodal khas Jawa. Karena itu, setelah melakukan kejahatannya, Pitung tidak dihadang oleh penguasa setempat karena mereka tidak memiliki sarana untuk melawan, tetapi oleh kepala polisi yang secara bertanggung jawab kepada administrator sipil tertinggi di ibukota,” tulis van Till.
Memasuki awal abad ke-20, Pitung masih cukup populer di kalangan masyarakat pribumi sekitar Batavia. Popularitasnya ternyata turut dirayakan oleh orang-orang Tionghoa dari kalangan bawah. Hal ini dimanfaatkan oleh Wong Bersaudara, pasangan pembuat film masa pra-kemerdekaan, dengan mengangkat kisah Pitung untuk pertama kalinya ke layar perak pada tahun 1931.
Perlawanan di Tengah Diskriminasi Industri
Menurut Bondan Kanumoyoso, wilayah Ommelanden tempat Pitung melancarkan aksinya adalah daerah miskin yang rawan kejahatan. Sejak Batavia memberlakukan segregasi untuk mengantisipasi gelombang imigrasi perbagai etnik pada abad ke-18, jumlah penindasan, pencurian, dan pembunuhan tiba-tiba meningkat.
“Berbagai krisis ekonomi yang terjadi di abad ke-18 dan 19 telah menyebabkan meningkatnya kejahatan di Ommelanden. Sebagai daerah berkarakter perdesaan, kejahatan yang sering terjadi adalah pencurian ternak dan hasil bumi,” ucapnya.
Bondan menjelaskan bahwa aksi yang dilancarkan Pitung erat kaitannya dengan industrialisasi yang terjadi di Batavia dan Ommelanden. Bertambahnya jumlah saudagar kaya di Batavia dan sekitarnya pada pertengahan abad ke-19, membuat perampokan barang-barang berharga yang diikuti aksi kekerasan dan pembunuhan menjadi tak terhindarkan.
Meskipun Belanda mengetahui pencurian dan kekerasan di Ommelanden, jumlah aparat keamanan sangat sedikit. Sikap abai pemerintah kolonial juga ditunjukkan dengan lambannya penanganan kejahatan.
Sejak menaklukkan Batavia pada abad ke-17, orang-orang Belanda lebih banyak menghabiskan waktu mengawasi Ommelanden dari balik benteng Batavia. Sikap tak acuh terhadap kondisi masyarakat pribumi, membuat mereka kesulitan memahami motif sosial di balik aksi pencurian Pitung dan kelompoknya.
Tanpa disadari oleh pemerintah kolonial, Ommelanden pada akhir abad ke-19 sudah berubah menjadi kawasan multietnik yang penuh sesak. Mereka sengaja dikumpulkan oleh Belanda dalam kampung-kampung yang sudah dikotak-kotakkan dan disuruh mengatur dirinya sendiri.
“Ommelanden ibarat Wild West di Amerika, hukum yang berlaku adalah hukum rimba,” kata Bondan.
Sepanjang abad ke-18 dan 19, telah terjadi percampuran etnik (saling menikah) dan konversi ke agama Islam yang mengakibatkan segregasi tersebut menjadi hilang. Begitu sosok Pitung muncul, ia dengan mudah melakukan aksinya dan mendapat dukungan dari masyarakat di setiap kampung. Para pendukung Pitung umumnya berasal dari kalangan yang kecewa terhadap perubahan aspek sosial-ekonomi di Ommelanden.
“Pitung adalah representasi dari perubahan yang terjadi di Ommelandan, Batavia, di akhir abad ke-19. Pitung dengan segala kehebatan dan mitos yang menyertai dirinya, bisa menjadi gambaran tentang orang yang dapat memberi inspirasi dalam upaya mengatasi kesulitan hidup sehari-hari,” ucap Bondan dalam simpulan ceramahnya.
Editor: Irfan Teguh