tirto.id - Fisik Rigoberta Santovenia tak nampak berbeda dengan para orang tua yang menginjak usia lanjut dan masih dalam keadaan sehat.
Terlihat enerjik, perempuan Kuba yang tinggal di lingkungan Vedado ini masih bisa berjalan dengan cepat tanpa tongkat, masih bisa menggunakan jarum jahit, membaca koran setiap hari tanpa pakai kacamata. Ia juga masih suka memasak di dapur, meski baru-baru ini disarankan berhenti oleh dokter.
Tetapi siapa sangka umur Santovenia telah mencapai 102 tahun per Januari 2019.
"Saya tidak berpikir saya akan mencapai usia ini ... dan inilah saya," ujarnya kepada AFP, sembari duduk dengan nyaman di sofa. Meski kesan tua tak dapat dibohongi, raut wajah Santovenia tak tampak keriput parah.
Lansia seumuran Santovenia lainnya adalah Delia Barrios. Saat merayakan ulang tahunnya yang ke-102 bersama keluarga tercinta, ia tampak segar bugar. Barrios berdandan menggunakan perona pipi dan lipstik. Ia ingin terlihat tampil maksimal di hari lahirnya itu.
Barrios telah melalui masa-masa sulit saat tubuhnya diserang penyakit keras. Pada usia 60-an, ia didiagnosa menderita kanker usus besar. Saat krisis ekonomi Kuba 1993, ia sempat membelot pindah ke Amerika Serikat tempat putranya tinggal. Dua dekade kemudian, penyakitnya makin parah. Dokter memvonis umurnya tak panjang lagi sampai akhirnya ia menjalani hari tua di Kuba.
Baik Santovenia dan Barrios adalah salah dua di antara 2.070 lansia Kuba berusia di atas 100 tahun (centeranian). Populasi rakyat Kuba sendiri mencapai lebih dari 11,1 juta jiwa pada 2018. Jika merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 2016, rata-rata usia harapan hidup orang Kuba bagi pria adalah 77 tahun, sedangkan bagi wanita 81 tahun.
Selama ini, orang-orang yang mampu hidup melampaui umur 100 tahun selalu digambarkan tinggal di negara makmur atau komunitas yang punya tradisi diet tertentu. Seperti penduduk di daerah Ikaria di Yunani, Okinawa di Jepang, Ogliastra di Sardinia, Loma Linda di Amerika Serikat; dan Semenanjung Nicoya di Kosta Rika. Petualang Dan Buettner menjuluki daerah-daerah tersebut "Zona Biru" (Blue Zone) karena usia banyak penduduknya melewati usia 100 tahun.
Mereka yang tinggal di Blue Zone memiliki pola makan tradisional, persis seperti di era sebelum makanan cepat saji, berminyak, dan gula membanjiri cita rasa publik. Kuncinya adalah pola makan berbasis tanaman yang kemudian populer sebagai "Diet Zona Biru".
Lantas, dengan pendapatan bulanan rakyat Kuba yang sangat kecil (sekitar $25-30 dan uang pensiun sebesar $10 dolar) , bagaimana bisa negara yang dipimpin partai komunis sejak 1959 ini dihuni oleh banyak lansia yang melampaui usia 100 tahun?
Dukungan Negara dan Keluarga
Para lansia di Kuba sangat diperhatikan oleh negara. Ada sebuah perkumpulan bernama Klub 120 yang dibentuk pada 2003 oleh Eugenio Selman-Housein, dokter pribadi mantan pemimpin Kuba Fidel Castro. Perkumpulan yang berisi para dokter itu punya misi mendorong khalayak menerapkan gaya hidup sehat demi cita-cita panjang umur.
"Secara biologis telah terbukti bahwa manusia dapat hidup selama 120 sampai 125 tahun," ujar Raul Rodriguez, seorang dokter dan kepala Klub 120.
Menurut Alina Gonzalez Moro dari Pusat Penelitian Umur Panjang (CITED), para centenarian Kuba dilayani secara khusus.
"Kami mencoba memberi mereka perawatan khusus," ujar Moro. "Semua centenarian di Havana dapat menghubungi kami jika mereka memiliki masalah kesehatan dan seorang spesialis geriatri akan bergegas menemui pasien."
Kuba memang dikenal memiliki dokter dan tenaga medis berlimpah. Layanan perawatan kesehatan serta pendidikan di Kuba adalah bagian dari hak asasi manusia sehingga tak ada pungutan biaya alias gratis.
Sebagai bagian dari misi diplomasi, pemerintah Kuba juga mengirimkan dokter-dokternya ke belahan dunia lain setelah diembargo oleh Amerika Serikat pasca-penggulingan rezim sayap kanan Jenderal Fulgencio Batista.
Tidak heran bila banyak dokter Kuba dan pekerja kemanusiaan yang turun lapangan memberikan pelayanan medis di hampir tiap bencana alam, termasuk saat tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006.
Selain dukungan dari pemerintah, faktor internal seperti kebahagiaan keluarga tampaknya juga jadi pendorong panjang umur.
"Saya sangat berorientasi keluarga. Mencintai anak-anak saya, cucu-cucu saya, keenam cicit saya. Saya tidak pernah sendirian," ujar Santovenia. Ia diketahui tinggal bersama seorang cucu dan dirawat putrinya yang sudah berusia 68 tahun, Reglan, yang yakin bahwa ibunya itu akan mencapai umur 120 tahun.
Begitu pula dengan Barrios. “Aku tidak merasa seusia ini. Saya punya keluarga ... yang sangat mencintai saya. Cukup bisa bikin saya tenang,” kata Barrios yang tinggal di Havana.
Kebahagiaan bersama keluarga di usia tua ini kontras bila dibandingkan dengan para lansia Jepang. Negeri Sakura punya banyak populasi lansia. Pada 2017, rata-rata usia harapan hidup orang Jepang adalah 81,09 tahun untuk pria dan 87,26 tahun untuk wanita.
Lantaran kesepian di usia senja, sebagian lansia Jepang sengaja melanggar hukum agar bisa hidup di penjara. Menurut para lansia ini, mereka bisa lebih hidup terawat, mendapat layanan kesehatan dan bisa makan tiga kali sehari di penjara ketimbang di luar penjara.
Berdasar laporan Reuters pada 2018, angka tahanan lansia Jepang meningkat dari 7 persen ke 19 persen dari total populasi tahanan penjara di Jepang. Dengan kata lain, sebanyak 9.308 lansia Jepang hidup di penjara. Di sisi lain, tak sedikit lansia Jepang yang akhirnya mati dalam kesepian dan ditemukan membusuk berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelahnya.
Namun begitu, muncul pula keberatan terhadap narasi tentang keberadaan ribuan centeranian di Kuba.
Robert Young, seorang ahli di Gerontology Research Group di AS, menyatakan bahwa Kuba mungkin tak menjabarkan fakta seutuhnya. Baginya, keberadaan centenarian Kuba adalah "mitos yang digunakan untuk tujuan propaganda ideologis".
Terlepas dari penilaian Young, jumlah centeranian di seluruh dunia memang cenderung meningkat. Melansir temuan Pew Research Center, ada hampir setengah juta centenarian yang tersebar di berbagai belahan bumi pada 2015. Angka ini melonjak empat kali lipat dibanding pada 1990-an. Pada tahun 2050 diperkirakan ada 3,7 juta centeranian di seluruh dunia.
Lebih lanjut Pew Research menjelaskan, seringkali sulit memverifikasi usia orang yang dilaporkan sebagai centenarian karena faktor catatan kelahiran yang tak selalu meyakinkan. Riset yang sama menunjukkan AS memiliki jumlah centenarian terbanyak. Diikuti oleh Jepang, Cina, India dan Italia. Cina dan India masuk daftar centenarian terbanyak, berbanding lurus dengan populasi penduduknya yang mencapai lebih dari satu miliar.
Editor: Windu Jusuf