Menuju konten utama

Mati dan Membusuk Seorang Diri di Jepang

Tak sedikit lansia di Jepang meninggal dan baru ditemukan setelah berminggu hingga berbulan-bulan membusuk di tempat tinggal. Fenomena ini melahirkan bisnis.

Mati dan Membusuk Seorang Diri di Jepang
Pemilik rumah, Yoshie Fukuhara, meletakkan karangan bunga di salah satu kamar sewaan miliknya setelah jenazah lansia penyewa kamar yang tinggal seorang diri ditemukan beberapa minggu setelah kematiannya. REUTERS/Toru Hanai

tirto.id - Haruki Watanabe ditemukan meninggal oleh Toru Suzuki di apartemennya di pinggiran Osaka, Jepang. Kala itu, Suzuki datang mengunjungi Watanabe untuk menagih uang sewa yang tidak kunjung dibayar.

Sebagaimana dilaporkan oleh Slate, pria berusia 60 tahun tersebut tidak merespons meski Suzuki berkali-kali menelepon. Karena kesal, ia pun berangkat dari rumahnya di pusat Kota Osaka menuju tempat tinggal Watanabe. Alih-alih memperoleh uang sewa, ia justru mendapati mayat Watanabe yang telah membusuk hingga mengeluarkan bau tak sedap.

Selama tiga bulan, jenazah Watanabe terbaring di atas seprai. Badannya penuh dengan cairan yang keluar dari tubuh akibat proses pembusukan. Ia meninggal diduga karena masalah jantung.

Watanabe tidak mempunyai teman dan istri. Anaknya tidak pernah berkomunikasi atau mengunjunginya selama bertahun-tahun. Ia meninggal seorang diri.

Apa yang dialami Watanabe disebut dengan kodokushi atau meninggal dalam kesendirian. Menurut Reuters, kodokushi merupakan istilah lokal yang merujuk pada orang yang meninggal tanpa diketahui siapapun selama berhari-hari atau berbulan-bulan.

Jumlah kodokushi semakin banyak di Jepang. Independent melaporkan bahwa angka-angka statistik di daerah menunjukkan peningkatan tajam fenomena kodokushi selama satu dekade terakhir. Think tank asal Tokyo NLI Research Institute memperkirakan sebanyak 30.000 orang di Jepang meninggal dengan kondisi kodokushi. Berdasarkan laporan Reuters, satu dari empat orang yang mengalami kodokushi berusia di atas 65 tahun.

Jumlah penduduk lansia di Jepang saat ini melonjak drastis. Seperti yang dilaporkan BBC, ada 34,6 juta penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun, atau 27,3 persen dari total populasi pada 2016. Dari 34,6 juta orang, penduduk laki-laki berjumlah 14,99 juta jiwa dan perempuan 19,64 juta jiwa.

Kodokushi terjadi pada lansia di Jepang karena mereka tinggal dan hidup sendirian. AFP melaporkan, jumlah rumah tangga dengan penghuni tunggal bertambah dua kali lipat menjadi 14,5 persen dari total penduduk dalam tiga dekade terakhir. Kenaikan itu didorong terutama oleh warga laki-laki berusia 50-an tahun serta perempuan berumur 80-an tahun ke atas.

Sebanyak 15 persen lansia di Jepang yang hidup sendiri mengatakan bahwa mereka hanya melakukan percakapan selama satu kali dalam seminggu. Angka tersebut, menurut pemerintah Jepang, terhitung besar dibandingkan dengan negara lain seperti Swedia (5 persen), Amerika (6 persen), dan Jerman (8 persen).

Meski begitu, kodokushi tidak hanya terjadi pada lansia. Japan Today melaporkan fenomena mati sendirian ini semakin banyak dijumpai di antara orang Jepang usia 20-an tahun dan 30-an tahun. Berdasarkan data Biro Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan Masyarakat pemerintah kota metropolitan Tokyo, sebanyak 238 orang berumur 20-an dan 30-an tahun ditemukan meninggal sendirian di 23 wilayah selama tahun 2015.

Sebanyak 80 persen kasus kodokushi itu adalah laki-laki. Selama tiga tahun terakhir, jumlah kodokushi di kalangan anak muda Jepang naik turun, namun rata-rata bertengger di angka 250 kasus.

“Di antara faktor-faktor terkait kematian sendirian di antara orang muda adalah meningkatnya ‘freeters’, yakni pekerja kontrak,” kata Yasuhiro Yuuki, profesor dari Dokkyo University.

“Bahkan jika mereka tidak muncul di tempat kerja selama beberapa hari berturut-turut, atasan mungkin tidak menyadarinya. Dan karena atasan itu menunjukkan sedikit perhatian terhadap pekerja tak tetap yang tidak bisa bekerja karena kondisi fisik yang buruk, sulit bagi mereka untuk peduli jika pekerja itu meninggal,” katanya.

Dalam "Fenomena Kodokushi Pada Masyarakat Jepang" (2014) Widya Gilar Jati menjelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya kodokushi pada lansia. Pertama, perubahan struktur keluarga tradisional dari keluarga besar (chokkeikazoku) menjadi keluarga inti (kakukazoku) serta meningkatnya struktur rumah tangga yang terdiri dari satu orang (tashin setai).

Kedua, berubahnya bentuk tempat tinggal orang Jepang dari rumah yang terletak di kawasan perumahan menjadi rumah sewaan dan kompleks apartemen. Kurangnya interaksi sosial sesama penghuni membuat tingkat interaksi antar-tetangga rendah. Sementara itu, penyebab terakhir adalah persoalan ekonomi yang berujung pada perceraian yang berujung pada efek traumatis. Walhasil, tinggal sendirian, alih-alih menikah lagi, jadi pilihan.

Dalam "Hubungan Antara Struktur Keluarga Tanshin Setai dan Kerenggangan Hubungan Manusia Dengan Fenomena Kodokushi yang Terjadi Pada Lansia Dalam Masyarakat Jepang Kontemporer" (2012), Waode Hanifah Istiqomah mengatakan bahwa orangtua tinggal bersama anak dan cucunya sehingga ada tiga generasi dalam satu rumah dalam struktur keluarga chokkeikazoku.

Sementara itu, kakukazoku adalah unit keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Perubahan struktur keluarga ini menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya jumlah tanshin setai lansia. Mereka hidup sendiri sebab pasangannya meninggal dan tidak lagi hidup serumah dengan si anak.

Infografik kodokushi

Di sisi lain, fenomena kodokushi menumbuhkan permintaan terhadap jasa pembersihan di tempat tinggal mereka yang meninggal seorang diri. Seperti yang dilaporkan Independent, banyak perusahaan menawarkan jasa tersebut. Perusahaan asuransi, misalnya, mulai menawarkan kebijakan untuk melindungi pemilik gedung jika ada penghuni yang meninggal di bangunan miliknya. Penawaran yang diberikan meliputi pembiayaan pembersihan apartemen dan kompensasi sewa. Beberapa bahkan menanggung ritual penyucian di apartemen ketika pekerjaan pembersihan selesai.

Salah satu perusahaan yang melayani jasa tersebut adalah Next. Independent melaporkan bahwa Next pernah membersihkan ruangan apartemen di kawasan Kawasaki, selatan Tokyo. Penghuni apartemen itu, Hiroaki yang berumur 54 tahun, meninggal sendirian dan baru ditemukan empat bulan setelahnya.

Oleh karena pemilik gedung tidak mempunyai asuransi pembersihan apartemen, ia pun menghubungi Next agar tempat tinggal bekas Hiroaki dibersihkan sehingga dapat dijual kembali. Ia pun harus merogoh kocek $2.250 demi kelangsungan bisnis propertinya. Empat kru, lengkap dengan pakaian pelindung lengkap dan truk, pun datang membersihkan apartemen tersebut. Ada lagi perusahaan lain yang juga menjual jasa serupa, yakni ToDo-Company.

“Tugas utama saya membersihkan flat, apartemen, rumah mereka yang mati sendirian dan juga mengumpulkan kenang-kenangan,” aku Miyu Kojima (24) pegawai ToDo-Company kepada Al-Jazeera.

Miyu sudah bekerja selama dua tahun di ToDo-Company sebagai pembersih tempat tinggal kodokushi. Tiap kali pekerjaannya rampung, ia dibayar $3.000-$5.000.

Menurut Miyu, rata-rata kodokushi di rumah yang ia bersihkan baru ditemukan satu atau dua bulan, paling lama delapan bulan, setelah meninggal.

“Saya melakukan semuanya dari awal sampai selesai, mulai dari mengendarai truk dan bersih-bersih, hingga berbicara dengan keluarga mereka,” katanya. Pekerjaan membersihkan tempat tinggal kodokushi berlangsung dari pagi hingga sore hari.

Ketika ia mengumpulkan barang kenang-kenangan, Miyu mencari benda yang mungkin diinginkan keluarga atau yang dirasa penting seperti foto. Para kru melakukan ritual meletakkan bunga, membakar dupa, dan berdoa setelah pekerjaan bersih-bersih selesai. Barang kenang-kenangan diberikan pada keluarga. Apabila pihak keluarga tidak menginginkan, maka ToDo-Company akan mengambil dan membawanya ke kuil untuk keperluan ritual sebelum membakarnya.

“Saya merasa sedih ketika pihak keluarga tidak menginginkan barang-barang itu karena benda tersebut adalah sesuatu yang ditinggalkan dan patut dikenang,” katanya.

Baca juga artikel terkait LANSIA atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf