Menuju konten utama

Menjadi Tua Bersama

Sekalipun disebabkan oleh hal-hal baik, populasi yang mengandung terlampau banyak orang berusia nonproduktif adalah perkara mengerikan bagi negara. Pengeluaran pemerintah jelas meningkat. Ia bisa pula berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Menjadi Tua Bersama
Sejumlah wanita lanjut usia (lansia) membawakan tari pendet dalam peringatan Hari Lansia 2016 di Denpasar, Bali, Antara Foto/Nyoman Budhiana

tirto.id - Terilhami oleh puisi berjudul “Rabbi Ben Ezra” karya penyair Inggris Robert Browning, John Lennon menulis lagu “Grow Old with Me” untuk istrinya, Yoko Ono, pada 1980. “Grow old along with me/Whatever fate decrees/We will see it through/For our love is true.” Picisan, memang. Ditambah aransemen sederhana yang dikerjakan berdua saja oleh pasangan itu, jadilah ia sebuah lagu yang sempurna untuk mengiringi vasektomi.

“Grow Old with Me” tentu saja tidak sebanding dengan lagu-lagu cinta terbaik karya Lennon, “The Ballad of John & Yoko”, “Oh My Love”, atau “Woman”, misalnya. Merenungkan cinta-masa-tua barangkali bukan keahlian musisi yang meninggal dunia di usia 40 tahun tersebut. Tentang lagu “When I'm Sixty-Four” yang dibawakan The Beatles, Lennon berkata kepada David Sheff dari Playboy: “Sepenuhnya milik Paul [McCartney]. Saya bahkan tidak bermimpi menciptakan lagu semacam itu. Ada sejumlah hal yang saya tidak pernah memikirkannya dan itu adalah salah satunya.”

Baris pertama “Rabbi Ben Ezra” yang dipinjam Lennon--Grow old along with me!--telah jadi ajakan yang mahsyur dalam bahasa apa pun. Orang-orang mengatakannya meski tahu bahwa manusia bisa mati dengan gampang dan cinta adalah “bahaya yang lekas jadi pudar”. Mereka mengatakannya justru karena tahu harapan baik adalah sumber keharuan: semakin kecil kemungkinan harapan itu terwujud, semakin banyak keharuan buat mengguyur sentimentalia.

Namun tak lama lagi sihir itu akan habis. Menjadi tua bersama, alih-alih bertahan sebagai harapan romantik, bakal berubah jadi kenyataan bagi segenap manusia di planet ini. Pertengahan Mei lalu, Elena Holodny menulis di Business Insider dan situs World Economic Forum bahwa menjelang 2020 akan ada lebih banyak orang berusia lanjut ketimbang balita di Bumi. Pada 2050, menurut prakiraan Biro Sensus Amerika Serikat, orang-orang berumur 65 tahun ke atas akan menjadi sekitar 15,6 persen warga dunia sementara anak berumur 5 tahun ke bawah hanya 7,2 persen, dan perbedaan di antara kedua kelompok itu bakal terus membesar.

Tim Bank of America Merrill Lynch (BAML) yang dipimpin analis Beijia Ma mengirimkan catatan investasi untuk klien mereka sekitar sepekan sebelum tulisan Holodny terbit: “Penuaan telah menjadi fenomena universal … Harapan hidup sepanjang 300-400 tahun atau bahkan perpanjangan tak terbatas mungkin saja tercapai di masa hidup kita.”

“Meski kalimat terakhir catatan itu terkesan seperti fiksi ilmiah,” tulis Oscar Williams-Grut di Business Insider, “kenyataannya memang semakin banyak orang berumur panjang. Dengan usia harapan hidup rata-rata yang diperkirakan mencapai 77,1 tahun, pada 2050 akan terdapat sekitar 2,1 miliar lansia, jauh lebih banyak dari sekarang, yaitu 901 juta.” Selain usia harapan hidup, pergeseran demografi besar-besaran itu juga disebabkan oleh tingkat fertilitas atau kesuburan yang menurun. Dibandingkan dengan 1950, tingkat kesuburan global saat ini hanya separuhnya.

Menurut teori demographic transition dalam sosiologi, tren kematian dan kelahiran di suatu negara berubah-ubah seiring tahapan industrialisasi. Pada masyarakat praindustri tingkat kematian dan kelahiran sama tinggi, dan karenanya pertumbuhan penduduk jadi amat lambat (di bawah 0,05 persen). Pada tahap awal industri, jumlah kematian menurun sementara kelahiran meningkat seiring perkembangan yang signifikan di bidang kesehatan dan teknologi pangan. Dan pada tahap berikutnya, sebagaimana kini dialami banyak negara maju, tingkat kematian dan kelahiran jadi sama rendah. Sebabnya adalah pembaruan-pembaruan yang dilandasi peralihan nilai: Urbanisasi, peningkatan status dan kualitas pendidikan untuk perempuan, pengurangan tenaga kerja di bawah umur, kesadaran untuk menggunakan kontrasepsi, dan lain-lain.

Sekalipun disebabkan oleh hal-hal baik, populasi yang mengandung terlampau banyak orang berusia nonproduktif adalah perkara mengerikan bagi negara. Pengeluaran pemerintah untuk pensiun, perawatan kesehatan, dan program-program sosial bagi orang-orang tua jelas meningkat. Ia bisa pula berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan apabila pemerintah mengalihkan anggaran belanja infrastruktur dan pendidikan untuk keperluan tersebut.

Menurut sebuah laporan yang dilansir European Comission, populasi Jerman yang terdiri dari 81 juta orang diperkirakan akan berkurang jadi 74,5 juta pada 2050, dengan tenaga kerja mengempis hingga lebih dari 20 persen. Kelompok umur dengan anggota terbanyak di Jerman adalah 50-54 tahun, yaitu 8,5 persen dari keseluruhan. Sedangkan kelompok umur 25-29 mereka 6,3 persen dan kelompok umur 0-4 tahun hanya 4,2 persen. Pada 2050, diperkirakan pajak dari satu orang pekerja bakal menyokong dua orang pensiunan di negara tersebut.

Salah satu jalan keluar untuk Jerman dan negara-negara dengan masalah serupa adalah imigrasi. Menurut Bank of America, dengan masuknya tenaga-tenaga kerja baru, ketimpangan demografi dapat dihambat dan ladang pajak pun meluas.

Politikus konservatif Inggris Boris Johnson menulis di Telegraph: “Benar bahwa dalam beberapa tahun belakangan Jerman, Italia, dan sejumlah negara lain di Eropa Barat mengalami penurunan jumlah kelahiran. Populasi menua dan mereka gagal menghasilkan anak-anak muda mereka sendiri. Mereka menyambut pendatang muda yang penuh tenaga dalam jumlah besar bukan hanya demi belas kasih, tetapi juga berdasarkan logika ekonomi. Inggris tidak berada pada posisi yang sama. Kami sedang mengalami ledakan populasi. Sekolah-sekolah, terutama di London, penuh sementara permintaan terus meningkat. Tahun lalu saja populasi di ibukota bertambah 122 ribu orang.”

Warga Inggris berjumlah 64,7 juta orang dan pada 2050 diperkirakan akan menjadi 75,3 juta. Dalam rentang tersebut, perbandingan jumlah orang-orang berusia produktif dan pensiunan memang tidak mengkhawatirkan. Apabila orang-orang Inggris tidak melakukan kesalahan tolol seperti saling membikin tidak betah, negara itu akan sanggup mencukupi kebutuhan tenaga kerja dengan populasi yang telah mereka punya. Mereka bukan hanya proporsional dalam hal jumlah, tapi juga unggul dalam keragaman kualifikasi dan latar belakang.

Di Indonesia, kelompok usia terbesar saat ini adalah 0-4 tahun dengan persentase hampir sepersepuluh dari keseluruhan. Menurut data Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, peralihan demografik bakal membentuk populasi Indonesia ke dalam kelompok-kelompok usia yang ideal pada 2050. Saat itu saya akan berumur 59 tahun dan menjalani hidup dengan gembira karena ada banyak anak muda. Mereka pastilah pintar dan gesit dan penuh gagasan besar, serta tidak mengeluarkan bau kompos sebagaimana orang-orang yang menjadi tua bersama saya.

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti