Menuju konten utama
2 Februari 2012

Tenggelamnya Rabaul Queen: Sejarah Kelam Dunia Maritim Papua Nugini

Cuaca buruk dan kondisi kapal yang tidak terawat membuat Rabaul Queen terbalik dan tenggelam.

Tenggelamnya Rabaul Queen: Sejarah Kelam Dunia Maritim Papua Nugini
Header Mozaik Rabaul Queen. tirto.id/Tino

tirto.id - Sudah seminggu badan meteorologi dan klimatologi Papua Nugini mengeluarkan peringatan dini cuaca buruk. Angin kencang dan gelombang tinggi mengancam perairan. Kapal-kapal diminta untuk tidak berlayar hingga cuaca aman. Informasi ini disampaikan ke seluruh agen pelayaran guna mengantisipasi peristiwa yang tidak diinginkan.

Pada 30 Januari 2012, saat banyak kapal menunda pelayaran, direktur agen pelayaran Rabaul Shipping, Peter Sharp, justru memberi izin kepada Kapten Anthony Tsiau untuk memimpin pelayaran kapal Rabaul Queen rute Rabaul-Kimbe-Lae. Sharp memberikan informasi kepada Kapten Tsiau bahwa cuaca di perairan yang dilewatinya memang akan tidak stabil, tetapi masih bisa dilewati Rabaul Queen yang sudah berumur 20 tahun.

Sang kapten yang rutin berlayar melalui rute ini langsung menerima perintah pelayaran tanpa memverifikasi terlebih dahulu informasinya. Padahal, kala itu cuaca sedang dan akan memburuk.

Keesokan harinya, 31 Januari 2012 pukul 18.15, kapal angkat sauh dari Rabaul ke Kimbe dengan menempuh perjalanan lebih kurang 14 jam. Total penumpang dan awak kapal berjumlah 380 orang. Padahal, kapal seharusnya hanya mengangkut 310 jiwa.

Menurut kesaksian penumpang, geladak kapal sesak hingga mereka tidak bisa bergerak. Situasi semakin parah ketika dalam perjalanan sejauh 289 km itu cuaca tidak stabil. Beberapa kali hujan turun dan kapal diterpa gelombang tinggi. Kapal pun mengalami guncangat hebat. Beruntung, seluruh penumpang dapat berlabuh dengan selamat di Kimbe pada pagi hari, 1 Februari 2012. Kapal kemudian bersandar untuk mengisi bahan bakar sembari menurunkan dan mengangkut kembali penumpang.

Pukul 23.00 di hari yang sama, kapal kembali berlayar dari Kimbe menuju Lae yang akan ditempuh kurang lebih 6 sampai 10 jam. Salah satu penumpang bernama George Turme dalam kesaksiannya kepada Sydney Morning Herald mengatakan bahwa kapal saat itu dalam kondisi yang tidak baik. Ia memperkirakan jumlah penumpang yang naik sekitar 500 orang, hampir dua kali lipat dari kapasitas maksimal.

Para penumpang berdesak-desakan, tidak bisa duduk dan meregangkan kaki, apalagi tidur. Turme sendiri menghabiskan sebagian besar perjalanan dengan posisi tergencet di area toilet bersama pria lain. Kondisi makin parah ketika cuaca memburuk. Hujan dan kencangnya hantaman ombak membuat seluruh penumpang yang berada di haluan dan buritan kapal pindah ke geladak, membuatnya semakin tidak karuan.

Pukul 06.00, Rabaul Queen telah menempuh setengah perjalanan, sekitar 2-3 jam lagi kapal akan berlabuh di Lae. Namun, di saat yang bersamaan cuaca semakin parah. Gelombang tinggi menghantam sisi kanan kapal dan membuatnya miring ke kiri. Beberapa menit kemudian kapal kembali stabil. Namun, lagi-lagi gelombang menghantam dan membuat kapal kembali miring.

Seorang penumpang bernama Lucille Pongi, dalam kesaksiannya kepada tim investigasi, menyebut bahwa ketika kapal diterjang gelombang kedua, kondisinya semakin tidak seimbang dan condong ke kiri. Kondisi inilah yang membuat Pongi berteriak kepada kru meminta pelampung. Pongi satu-satunya penumpang yang sadar kapal akan segera tenggelam. Sayangnya, pelampung yang diminta tidak bisa diambil karena masih digembok di kotak penyimpanan.

Tak lama kemudian, sekitar pukul 06.15, hantaman gelombang membuat Rabaul Queen terbalik. Puluhan penumpang terlempar ke air dan sisanya berebut menyelamatkan diri keluar dari geladak kapal. Kejadian yang cepat dan tidak terduga itu membuat proses penyelamatan dilakukan tanpa mengikuti standar prosedur darurat, dan Kapten Tsiau tidak sempat mengirimkan sinyal darurat.

Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk membuat kapal benar-benar tenggelam. Pada waktu yang bersamaan, sekoci dan pelampung dari kapal muncul. Sayangnya, karena tidak ada sinyal darurat, maka taka ada satu pun yang mengetahui bahwa Rabaul Queen sudah lenyap dari permukaan laut. Situasi ini membuat ratusan penumpang yang selamat terombang-ambing selama berjam-jam.

Akhirnya pada pukul 09.49, para penumpang Rabaul Queen diselamatkan oleh kapal MOL Summer yang kebetulan sedang melintas. Sebanyak 238 orang berhasil diselamatkan. Rabaul Queen tenggelam di perairan Selat Vitiaz, 14 km dari kota Finschhafen. Operasi pencarian penumpang besar-besaran dilakukan oleh tim SAR Papua Nugini. Lima kapal dan 13 pesawat ambil bagian dalam operasi pencarian dan penyelamatan.

Sayangnya, pencarian menemui jalan terjal. Cuaca yang terus memburuk menghambat operasi tim SAR. Selain itu, ketidakpastian jumlah penumpang membuat SAR sulit memastikan penumpang yang belum ditemukan. Kapal tidak memiliki manifes perjalanan.

Infografik Mozaik Rabaul Queen

Infografik Mozaik Rabaul Queen Tenggelam 2 Feb. tirto.id/Tino

Setelah melakukan penyelidikan, otoritas setempat menetapkan jumlah penumpang kapal sebanyak 453 orang: 230 orang selamat, 4 orang meninggal, dan 219 orang dinyatakan hilang serta dianggap meninggal.

Berdasarkan hasil penyelidikan resmi yang dipublikasikan dalam Commision of Inquiry Into The Sinking of Rabaul Queen, tenggelamnya kapal feri Rabaul Queen disebabkan oleh kelalaian teknis. Faktor cuaca hanya menjadi penyebab penyerta. Izin pelayaran yang diberikan Peter Sharp kepada Rabaul Queen saat cuaca akan memburuk adalah kesalahan fatal yang paling awal.

Entah dari mana ia memperoleh informasi, prakiraan cuaca yang disampaikannya tidak berdasarkan arahan dari badan meteorologi dan klimatologi. Padahal ramalan cuaca dalam dua hari ke depan di perairan yang akan dilewati Rabaul Queen diperkirakan memburuk dan membahayakan kapal.

Selain itu, Rabaul Queen juga tidak terawat dan tidak ada manifes perjalanan. Tidak pula demonstrasi prosedur darurat, seperti petunjuk penggunaan jaket pelampung dan memanfaatkan sekoci darurat dari para kru yang menjadi standar operasional internasional.

Penyelidikan juga mengungkap alasan peristiwa ini memakan banyak korban. Hal utama tentu disebabkan oleh kapal yang penuh sesak dan membawa penumpang jauh melebihi kapasitas maksimum yang diizinkan. Lalu, kapal hanya memiliki pintu keluar yang sedikit. Akibatnya, ketika kapal terbalik ratusan penumpang yang ada di geladak kesulitan untuk keluar. Ditambah lagi saat itu banyak penumpang yang kelelahan, sehingga ketika kapal terbalik mereka tidak mampu menyelamatkan diri.

Kapten Anthony Tsui dan Peter Sharp kemudian menjalani sidang dakwaan. Ini adalah musibah terbesar dalam sejarah maritim Papua Nugini.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi