tirto.id - 16 November hari ini ditandai sebagai Hari Toleransi Internasional atau Hari Toleransi Sedunia. Hari Toleransi merupakan kesempatan bagi setiap orang untuk memikirkan kembali perbedaan yang ada di dunia ini dan menerimanya secara terbuka, serta belajar untuk mendengarkan dan memahami.
Pesan kuat yang ingin disampaikan United Nations (PBB) dalam Hari Toleransi Sedunia ini adalah "People are not born to hate. Intolerance is learned and so can be prevented and unlearned." (Orang tidak dilahirkan untuk membenci. Intoleransi dipelajari sehingga dapat dicegah dan dihilangkan).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres dalam akun Instagram @antonioguterres hari ini mengungkap bagaimana isu intoleransi ini menjadi pengalaman personal baginya, yang ia alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
"Bagi saya, perjuangan melawan anti-Semitisme merupakan pengalaman pribadi.
Saya tumbuh dewasa di era Eropa modern yang sedang memulihkan diri dari Perang Dunia Kedua. Penentangan terhadap fasisme merupakan hal utama dalam perkembangan kesadaran sosial dan politik saya.
Melihat kebangkitan neo-Nazi dan supremasi kulit putih saat ini sangat mengerikan.
Melihat mereka menyusup ke militer dan lembaga keamanan semakin meningkatkan bahaya.
Kita harus berdiri bersama melawan kebencian dalam segala bentuknya.
Dunia kita saat ini membutuhkan kembali akal sehat - dan penolakan terhadap kebohongan dan kebencian yang mendorong Nazi dan masyarakat yang rentan saat ini.
Orang tidak dilahirkan untuk membenci; intoleransi dipelajari sehingga dapat dicegah dan dihilangkan.
Saya akan terus menyerukan antisemitisme, rasisme, dan semua bentuk kebencian lainnya."
Sementara itu, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengunggah pesan dengan foto tangan berwarna gelap dan terang. Dalam pesannya, UNESCO menyebut soal toleransi dan kedamaian yang harus diwujudkan.
"Inilah saatnya untuk menegakkan toleransi, perdamaian, dan saling mengerti!
Selama periode tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, yang meningkatkan kebencian dan intoleransi, marilah kita mengingat dan merayakan kekuatan solidaritas global untuk membangun dunia yang damai untuk semua.
Menjelang Hari Toleransi Internasional, 16 November, mari kita rayakan keberagaman yang membuat kita kuat & nilai-nilai yang menyatukan kita!"
Kasus Intoleransi di Indonesia
Indonesia juga masih punya banyak pekerjaan rumah soal penyelesaian kasus intoleransi, terutama hal-hal yang berkaitan dengan KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan). Menurut riset Setara yang diumat di Tirto.id pada 11 Oktober 2020, masih banyak kasus pelanggaran KBB yang terjadi di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
Akhir April lalu, peribadatan di rumah seorang penganut Kristen di Cikarang Pusat digerebek oleh warga sekitar dengan alasan melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat itu mengatakan “beribadah adalah hak setiap warga” dan apa yang dilakukan keluarga tersebut “sudah sesuai anjuran.”
Yang dilarang dalam PSBB di banyak tempat--termasuk DKI Jakarta--adalah mengumpulkan massa di tempat umum, dan yang tidak dianjurkan adalah beribadah di rumah ibadah.
Kemudian, pada September lalu, terjadi pelarangan pembangunan rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Aceh Singgil. Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) mengatakan proyek ini terkesan dihambat oleh pemerintah daerah.
Kasus-kasus intoleransi lain yang terjadi selama pandemi di antaranya:
- Sekelompok orang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi pada 13 September;
- Sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor pada 20 September;
- Umat Kristen di Desa Ngastemi, Kabupaten Mojokerto, dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September;
- Larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada 2 Oktober.
Ada pula kasus surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berisi instruksi seluruh siswa dan siswa SMA/SMK wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw .
Buku itu mengarahkan pembacanya untuk bersikap intoleran dengan contoh kisah perobohan gereja dan diganti dengan masjid--yang dianggap heroik.
Editor: Agung DH