Menuju konten utama

Agar 'Pelarangan Ibadah' di Cikarang Tidak Terulang

'Pelarangan ibadah' terjadi di Cikarang. Agar hal serupa tidak terulang, pemerintah perlu menjamin semua orang bebas beribadah.

Agar 'Pelarangan Ibadah' di Cikarang Tidak Terulang
Ilustrasi intoleransi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dua orang pria, salah satunya bernama Imam Mulyana, mendatangi rumah seorang warga Kampung Rawa Sentul RT 01/RW 04 Desa Jayamukti, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, bernama Jamin Sihombing, agama Kristen. Ketika itu si pemilik rumah tengah menggelar ibadah.

Imam masuk dan marah-marah dengan nada lantang. Kelakuannya direkam dan disebarkan oleh akun Instagram @arionsihombing pada Minggu (19/4/2020). Videonya juga diduplikasi dan tersebar di Youtube.

Dihardik sedemikian rupa, @arionsihombing mengatakan, "Ini, kan, ibadah biasa, pak!" Lalu Imam cepat membalas. "Bukan masalah ibadah, itu kagak boleh!"

"Saya video wajib, dong. Saya bisa lapor nanti ini," sambung perekam video. Lalu Imam pun menjawab, "Silakan laporkan!"

Si perekam memutuskan mematikan video setelah diminta seorang warga lain.

@ariosihombing mengatakan mereka beribadah di rumah karena ada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah, dalam rangka menekan penyebaran COVID-19. Tidak ada pihak di luar keluarga yang ikut.

"Keluarga kami yang berusaha turut akan anjuran pemerintah untuk beribadah di rumah masih ada saja yang usik," katanya.

Ia khawatir dua orang ini membawa massa, seperti kejadian 12 tahun yang lalu. Saat itu kediamannnya pernah didemo ketika ibadah syukuran rumah, dan diteror satu bulan penuh, dilempari batu tengah malam.

"Kami terpaksa berjanji agar tidak mengadakan ibadah di rumah," katanya, menceritakan kejadian 12 tahun lalu.

@ariosihombing lantas mengancam menuntut si penggerebek lewat jalur hukum. "Sebelum menuju jalur hukum, kami keluarga masih memberikan kesempatan untuk Anda meminta maaf," katanya memberi syarat.

Penyelesaian

Kapolres Metro Kabupaten Bekasi Hendra Gunawan menjelaskan duduk perkara 'pelarangan ibadah' ini, setelah pada Minggu (19/4/2020) kemarin pukul 9 sampai 12 malam memediasi kedua belah pihak.

"Permasalahan ini adalah penegakan aturan PSBB. Namun, diplesetkan menjadi masalah agama. Ada pihak-pihak lain yang ingin mengarah kepada konflik SARA," kata Hendra kepada reporter Tirto.

Menurutnya Imam Mulyana dan seorang lagi tidak bermaksud membubarkan ibadah, tapi hanya menegakkan aturan soal PSBB, yaitu tidak boleh berkerumun.

Maksud ini tetap saja salah karena, seperti yang dinyatakan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam komentar di unggahan @ariosihombing, bahwa "beribadah adalah hak setiap warga" dan apa yang dilakukan keluarga @ariosihombing "sudah sesuai anjuran." Apa dilarang dalam PSBB di banyak tempat--termasuk DKI Jakarta--adalah mengumpulkan massa di tempat umum, dan yang tidak dianjurkan adalah beribadah di rumah ibadah.

Hendra mengatakan akhirnya kedua belah pihak sepakat berdamai dan tak melanjutkan ke ranah hukum. Kedua belah pihak juga akan menjamin dan ikut menjaga ketertiban, kenyamanan, dan kerukunan.

"Permasalahan ini sudah selesai, dan sudah sepakat masing-masing menjaga dan meningkatkan toleransi beragama," katanya.

Ketua Umum Paguyuban Batak Bersatu yang kala itu juga ikut melakukan mediasi, Lakbok F Sihombing, pun menjelaskan hal serupa. Awalnya ia juga merasa telah terjadi pelarangan ibadah, tapi menurutnya yang terjadi adalah dugaan keluarga @ariosihombing tidak patuh PSBB dengan berkumpul ramai-ramai di rumah.

"Kami sudah menahan agar tidak terjadi bentrok. Kemudian dimediasi oleh tokoh setempat dan polisi," kata Lakbok kepada reporter Tirto.

Meski sudah berdamai, Lakbok meminta aparat lebih sigap dan tanggap apabila terjadi hal serupa. Ia khawatir di tempat lain ada kasus serupa dan lebih parah.

"Kami minta kepolisian menjalankan tugasnya, melindungi kelompok mayoritas dan minoritas, agar dapat damai," katanya.

Selain itu, ia pun meminta Mahkamah Agung (MA) merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Kerukunan Umat Beragama dan Syarat Pendirian Rumah Ibadat, terutama yang tercantum di dalam Pasal 13 dan 14. Menurutnya peraturan tersebut mempersulit umat beragama terutama yang minoritas untuk mendirikan rumah ibadah.

"Harapan kami SKB 2 menteri itu dicopot, dicabut, atau direvisi agar tidak terjadi hal-hal serupa," katanya menegaskan.

Virus Intoleransi Tak Kalah Bahaya

Halili, Direktur Riset SETARA Institute, LSM yang banyak meneliti dan mengadvokasi isu demokrasi, kebebasan politik, dan HAM menilai terlepas dari akhirnya kedua belah pihak sudah minta maaf, kasus ini hanya menunjukkan watak minoritas yang suka sekali mengintimidasi minoritas. Hal itu jelas ditunjukkan ketika Imam Mulyana membentak-bentak pemilik rumah.

"Virus intoleransi dan diskriminasi tak kalah bahayanya dari Corona. Karena tak saja membahayakan human security minoritas, tapi juga dapat merusak tatanan tertib sosial dan kedamaian kita," kata dia kepada reporter Tirto.

Agar tidak terjadi peristiwa serupa, Halili meminta pemerintah, dari pusat hingga tingkat rukun tetangga, untuk menjaga keamanan dan memfasilitasi masyarakat dalam beribadah. Menurutnya jaminan ini semakin penting saat ini, ketika semua orang dilarang beribadah selain dari rumah.

"Dalam situasi normal saja kelompok minoritas sudah rentan terhadap diskriminasi dan intoleransi, apalagi situasi darurat ini."

Kritik serupa dilayangkan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Darraz Ma'arif. Menurutnya kejadian tersebut merupakan bukti bahwa intoleransi masih menjadi masalah.

"Kita tidak bisa membiarkan intoleransi terus berkembang di negeri ini. Ini juga berlaku pada kasus-kasus intoleransi lain seperti intoleransi intra-umat beragama yang didera komunitas Ahmadiyah di Tasikmalaya akhir-akhir ini," ujar Darraz kepada reporter Tirto.

Ia menegaskan tak boleh ada lagi kelompok yang egois dan menghambat kegiatan agama umat lain.

"Seharusnya orang diberi kesempatan untuk beribadah secara khusyuk di rumahnya masing-masing. Berdoa agar pandemi segera berlalu. Dengan catatan tidak menciptakan kerumunan baru dalam beribadah tersebut yang bisa menciptakan penyebaran virus Corona," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait LARANGAN IBADAH atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino