tirto.id - Pada 8 September 1944, sebuah roket siap mengangkasa dari Wassenaar, kota kecil di bagian Barat Belanda. Roket yang mengandung 8,5 ton propelan (bahan pendorong) berupa campuran etanol dan oksigen cair ini dilengkapi dengan sistem kemudi mekanis memanfaatkan giroskop--yang berputar 2.000 kali per menit pada sumbunya tanpa kemungkinan kehilangan arah.
Dibuat memanfaatkan alumunium super tipis guna mengakali berat, roket tersebut dirancang untuk tidak melakukan manuver apapun, hanya meluncur secara vertikal, hingga ketinggian 80 kilometer di atas pemukaan laut. Tak sampai dua menit semenjak diluncurkan, roket telah berada di posisi bebas bermanuver.
Tujuannya: kediaman Ratu Elizabeth II di London, Inggris.
Tepat pukul 18.41, roket dengan hulu ledak itu sedikit melenceng dari tujuannya, menghantam Chiswick, salah satu kecamatan di London--sembilan kilometer dari Buckingham Palace, tempat kediaman sang ratu.
Tak hanya satu, ada 1.300 roket serupa yang menghantam London hingga mengakibatkan 2.754 penduduk London kehilangan nyawa. Edward R. Murrow, koresponden Columbia Broadcasting System (CBS) yang tengah meliput Perang Dunia II untuk masyarakat Amerika Serikat, melabeli sang roket sebagai "malaikat maut dari stratosfer."
Malaikat maut bernama "Vergeltungswaffen-2" atau V2 itu sengaja dibuat oleh Adolf Hitler untuk merealisasikan fantasinya mengusai dunia melalui tangan Wernher von Braun.
"Ilmu pengetahuan Jerman," tulis Murrow dalam memoirnya berjudul Edward R. Murrow: An American Original (1988), "merupakan kecerdikan yang kelewatan ganasnya (kelawatan majunya) dibandingkan negara manapun di dunia."
Suatu kecerdikan yang "wajib dikendalikan dengan baik ketika Perang Dunia II berakhir," tulis Murrow. Suatu kewajiban yang akhirnya, karena Nazi Jerman kalah dalam Perang Dunia II, digenggam oleh Amerika Serikat dan, tentu saja, Uni Soviet.
"Kami memiliki segala hak atas teknologi ini. Kami membelinya melalui darah," tutur Dmitry Ustinov, Menteri Persenjataan (Ministry of Armaments) Uni Soviet suatu ketika.
Melawan Amerika, Menggapai Luar Angkasa
Sesaat sebelum Adolf Hitler bunuh diri, Jerman adalah pusat pengetahuan dunia. Jauh mengalahkan Amerika Serikat, apalagi Uni Soviet. Tatkala Wernher von Braun merancang roket buatannya dengan memanfaatkan ethyl alcohol (etanol) sebagai propelan dan alumunium yang sangat tipis untuk menampungnya, ilmuwan-ilmuwan Rusia percaya bahwa tindakan tersebut sebagai kebodohan yang hakiki.
Maka, setelah mengalahakan Jerman, Mayor Jendera Hugh Knerr menulis memo bahwa AS akan terus-terusan tertinggal di bidang teknologi jika harta rampasan perang dari Jerman ini tak segera dimiliki.
Dwight Eisenhower, jenderal pasukan sekutu yang kelak jadi Presiden AS ke 34, dalam salah satu perintah pertama yang dititahkan usai perang, meminta apapun yang berhubungan dengan teknologi Jerman, terutama Wernher von Braun, dibawa pulang secepatnya ke AS. Langkah ini juga dilakukan Uni Soviet.
Bagi Soviet, upaya membawa pulang harta rampasan ini tak mulus dilakukan. Musababnya, sebagaimana dituturkan Matthew Brzezinski dalam bukunya, Red Moon Rising: Sputnik and the Rivalries That Ignited the Space Age (2007), Soviet kalah cepat dibandingkan AS.
Pabrik pembuatan/perakitan V2 bernama Mittelwerk di Nordhausen misalnya. Meskipun berada di wilayah Jerman yang dikuasai Soviet, telah dijarah duluan oleh pasukan AS sebelum Soviet tiba. Dan, didukung oleh kenyataan ilmuwan-ilmuwan Nazi Jerman memilih merapat ke AS agar terhindar dari pengadilan perang, Soviet praktis hanya memperoleh remah-remah properti intelektual Jerman semata--kala itu.
Namun, meskipun von Braun; ratusan ilmuwan Jerman; serta blue-print dan suku cadang V2 hingga pelbagai teknologi Jerman berhasil dibawa pulang AS (konon dibawa dengan 16 armada Liberty Ships dengan berat total mencapai 360 metrik ton), tanpa diduga, Soviet sesungguhnya memperoleh harta rampasan yang tak kalah mentereng.
Harta itu, tak terlihat secara kasat mata, tersembunyi di rumah-rumah ilmuwan Nazi Jerman yang berlokasi di wilayah Jerman yang dikuasai Soviet. Dipimpin oleh teknisi NII-88 (institusi di bawah naungan militer Uni Soviet yang bertugas menciptakan roket) sekaligus pasukan militer Soviet bernama Boris Chertok, Soviet berhasil membawa pulang blue print atau rancang bangun teknologi yang tengah dikembangkan Jerman. Di antaranya, "gyro-stabilized platform" dan "Viktoria-Honnef system" alias giroskop versi mutakhir yang direncanakan digunakan pada A-10, versi super ganas dari V2.
Didukung oleh informasi yang diberikan mantan tahanan Nazi tentang adanya satu lokasi khusus di mana Jerman menyembunyikan teknologinya tetapi gagal diketahui AS, Soviet kebanjiran harta rampasan berupa teknologi canggih. Teknologi yang, diakui Chertok, "dihasilkan ilmuwan-ilmuwan super jenius."
Tentu, meskipun memperoleh harta rampasan yang tak kalah mentereng dibandingkan AS, Soviet tak serta-merta dapat memanfaatkannya. Kembali merujuk apa yang dipaparkan Brzezinski, ini terjadi karena Soviet gagal "menculik" ilmuwan Nazi yang mengetahui seluk-beluk teknologi Jerman, kecuali sekitar 6.000 pekerja kasar Jerman di pelbagai fasilitas teknologi Nazi dan Helmut Grottrup--salah satu asisten von Braun.
Namun, beruntunglah Soviet. Selain gara-gara Chertok, masalah besar ini berhasil diatasi melalui otak Sergei Korolev, pasukan Tentara Merah sekaligus ilmuwan roket. Dari kerjasama Korolev dan Chertok, Soviet akhirnya mengetahui segala rahasia di balik teknologi-teknologi rampasannya itu--usai lebih dari 2 tahun bekerja mengekstrak pengetahuan Nazi.
Rahasia teknologi yang, sebagaimana dikisahkan Slava Gerovitch lewat buku Soviet Space Mythologies: Public Images, Private Memories, and the Making of a Cultural Identity (2015), diniatkan hanya untuk satu tujuan, yakni membuat senjata mutakhir untuk menyerang AS.
Ini tak terhindarkan, mengingat AS siap-sedia menghancurkan Kremlin. Kala itu, dikuasai oleh Eisenhower dan teman-temannya dari Grand Old Party (Republik) khususnya John Foster Dulles, Paman Sam menganggap komunis, ideologi yang disokong Soviet, berbahaya--meskipun tak jelas apa yang perlu ditakuti dari komunisme. Namun, karena takut komunisme berkembang gara-gara Soviet (atas statusnya sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II), Paman Sam lantas mendeklarasikan diri untuk "membebaskan masyarakat dunia dari komunisme." Tak lain dengan menyerang Soviet.
Upaya AS menyerang Soviet tidak serta-merta dilakukan dengan mengangkat senjata. Meskipun memiliki 2.280 bom nuklir yang siap diarahkan ke Kremlin (dua belas kali lipat dibandingkan bom nuklir yang dimiliki Soviet), Paman Sam memilih melakukan aksi mata-mata dari langit dengan memanfaatkan pesawat Boeing B-47 Stratojet untuk mencari tahu kekuatan dan kelemahan Soviet.
Nikita Khrushchev, yang berhasil mengganti posisi Joseph Stalin sebagai Sekretaris Partai Komunis Uni Soviet, marah dengan tindakan AS memata-matai wilayahnya dari langit. Sialnya, kemarahan Khrushchev ini tak bisa ditindaklanjuti, misalnya, dengan menembak jatuh Boeing B-47 Stratojet karena Soviet tak memiliki senjata apapun yang dapat menjangkau ketinggian sang pesawat.
Bahkan, seandainya memiliki senjata yang dapat menjangkau B-47, jumlah bom atom yang dimiliki AS terlalu menakutkan bagi Soviet. Maka, tak ingin kalah, Khrushchev meminta anak buahnya membuat "alat pengintai angkasa" yang terbang lebih tinggi dari B-47 untuk memata-matai AS.
Tepat pada 4 Oktober 1957, memanfaatkan roket berhulu ledak R-7 Semyorka--yang berhasil dibuat Soviet gara-gara teknologi Jerman--yang telah dimodifikasi untuk membawa wahana antariksa (roket Sputnik), satelit artifisial pertama di dunia, Sputnik, meluncur ke luar angkasa.
Namun, yang menarik, diniatkan sebagai upaya percobaan Soviet memata-matai Paman Sam, Sputnik justru menghasilkan tanggapan berbeda. Dipaparkan David M. Harland dalam buku The Story of Space Station Mir (2005) dan Asif A. Siddiqi dalam The Red Rocket's Glare: Spaceflight an the Soviet Imagination 1857-1957 (2010), tercipta imajinasi liar di tengah masyarakat dunia tentang adanya kemungkinan penjelajahan luar angkasa.
Soviet, yang digembar-gemborkan sebagai "iblis" oleh AS, tiba-tiba memperoleh dukungan positif dari masyarakat, inspirasi, terutama dari kalangan ilmuwan. Hal ini dikarenakan gelombang radio yang dipancarkan Sputnik mudah diterima radio amatiran di Bumi, ilmuwan dapat memanfaatkannya untuk mengetahui seluk-beluk ionosfer.
Dari titik inilah, teknologi Nazi yang awalnya diniatkan untuk membuat senjata, berubah menjadi basis menggapai angkasa ala Soviet. Dijadikan pijakan Soviet untuk memoles citranya, melakukan propaganda. Maka, usai mengirim Sputnik, empat tahun kemudian Soviet menggebrak dunia dengan mengirim Yuri Gagarin, manusia pertama yang pergi ke luar angkasa.
AS, tentu, berang dengan kenyataan ini. Tak ingin Soviet (atau komunisme) menjadi inspirasi di seluruh dunia, dalam pidatonya di halaman kampus Rice University pada 12 September 1962, Presiden AS pengganti Eisenhower, John F. Kennedy, mengikrarkan bahwa AS harus sesegera mungkin menggapai luar angkasa dengan pergi ke Bulan.
"Jika suksesnya Gagarin ke orbit berdampak pada pikiran setiap manusia di manapun, kita harus sesegera mungkin menunjukkan jalur lain pada dunia. Jalur demokrasi dibandingkan tirani (komunisme)."
Beruntunglah AS. Memiliki von Braun, kehendak Kennedy itu akhirnya terlaksana empat tahun kemudian. Menumpang roket Saturn V buatan sang penjahat perang itu, AS sukses menggebrak dunia dengan mencatatkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin sebagai manusia pertama dan kedua yang menginjakkan kaki di Bulan. Membuat Soviet, yang lebih dahulu mengirimkan wahana nir-awak ke Bulan, kecewa.
Namun, selayaknya respons yang dihasilkan mekanisme coping (coping mechanism), Soviet kemudian meyakinkan dunia bahwa tujuan utama mereka bukanlah perlombaan ke Bulan, melainkan "berusaha membebaskan manusia dari takdir alamiah sebagai makhluk Bumi menjadi makhluk antar-galaksi." Meyakinkan bahwa "cosmos" atau "alam semesta" berbeda jauh dibandingkan "astro" atau "luar angkasa."
Dari coping mechanism atas rasa malu kalah dalam perlombaan menuju Bulan ini, pada 1977 Soviet menginisiasi program pembangunan stasiun luar angkasa bernama Salyut. Usai menempatkan tujuh wahana sebagai stasiun luar angkasa dari 1977 hingga 1986, program Salyut dihentikan untuk diganti oleh Mir, stasiun luar angkasa yang ditempatkan Soviet di orbit Rendah Bumi (Low Earth orbit) pada 20 Februari 1986, tepat hari ini 36 tahun silam. []
Editor: Nuran Wibisono