tirto.id - Bulan Mei lalu, penyelenggara tur Taylor Swift, berupaya menarik perhatian para penonton dengan menampilkan video gladi bersih pertunjukan di layar kiosk. Mike Downing, chief security officer Oak View Group, lembaga penanggung jawab keamanan area konser, bilang bahwa kiosk diletakkan di area strategis yang mampu membuat puluhan ribu penonton berminat untuk mendekati layar. Layar itu tidak semata diciptakan untuk menghibur para penonton karena di baliknya terdapat kamera untuk mengenali setiap wajah di depan layar. Hasil rekaman wajah kemudian dikirim ke command post di Nashville untuk dicocokkan dengan ratusan wajah penguntit selebritas ternama.
Taylor adalah salah satu selebritas yang punya trauma terhadap penguntit. Rumahnya di New York pernah dimasuki Roger Alvarado, penguntit yang seenaknya mandi dan tidur di salah satu kamar rumah Taylor. Pria berusia 22 tahun itu masuk ke dalam rumah menggunakan tangga dan memecahkan salah satu kaca jendela. Untungnya saat itu rumah sedang kosong. Sebelumnya, Alvarado juga pernah mendatangi rumah Taylor dan merusak engsel pintu utama menggunakan sekop. Dua tindakan tersebut membuat Alvarado ditahan dan didenda. Ia dianggap bersalah karena melakukan percobaan perampokan, penguntitan, dan masuk ke kediaman orang tanpa izin.
Penyanyi yang sudah punya enam album ini juga pernah mendapat ancaman dari penguntit lain, Frank Andrew Hoover. Ia kerap mengirim surel kepada ayah Taylor yang menyatakan bahwa Taylor akan terus mengalami patah hati bila tidak menikahi dirinya. Pada awal 2018, Hoover kian sering mengirim surel kepada keluarga Swift yang berisi ancaman untuk menghabisi nyawa seluruh anggota keluarga Taylor. Dalam email lain, Hoover menyebut bahwa keluarga Swift adalah keluarga setan dan mendoakan mereka agar lekas mengalami penyakit kronis.
Teror Hoover tak hanya dilakukan lewat dunia maya. Pada tahun 2016, ia pernah menerobos masuk ke salah satu konser Taylor. Seluruh tindakan tersebut membuat Hoover sempat ditahan dan mengalami masa percobaan selama 10 tahun. Pergerakannya pun sempat dipantau oleh GPS guna memastikan agar dirinya berjarak lebih dari 2,5 kilometer dari keluarga Swift.
Sampai saat ini Taylor setidaknya punya 10 penguntit, yang berulang kali mengganggunya. Kepada Esquire ia berkata bahwa para penguntit itu adalah bagian menyedihkan dalam hidupnya. “Saya hanya merasa aman bila ada di dekat para penjaga keamanan.”
Face Recognition dan Penggunaannya
Konser di Rose Bowl Stadium, California beberapa bulan lalu boleh jadi membuat Taylor merasa aman dari ancaman penguntit. Metode pengamanan dengan sistem facial recognition masih terbilang jarang digunakan untuk keperluan konser. Sebelum Taylor, sistem pengamanan facial recognitiondiaplikasikan dalam konser Jacky Cheung, penyanyi populer asal Hong Kong, beberapa bulan lalu di Tiongkok. Sistem tersebut diterapkan lantaran polisi hendak mencari dua pelaku kejahatan yang diduga akan menonton konser. Sistem itu berhasil: keduanya bisa ditangkap di tengah 50.000 penonton.
Keberhasilan tersebut rasanya akan menajamkan ambisi Tiongkok dalam mengeksplorasi sistem facial recognition. Negara Tirai Bambu ini adalah negara yang paling banyak menggunakan CCTV untuk memantau pergerakan warga. Sejauh ini Tiongkok telah mempraktikkan konsep facial recognition untuk mengetahui identitas diri para penyeberang jalan yang tidak berjalan di lintasan penyeberangan.
Saat ini pemerintah Tiongkok tengah mematangkan perancangan facial recognition yang diharapkan mampu diselaraskan dengan wajah 1,3 miliar penduduk dalam hitungan detik. Rencananya, sistem tersebut akan digunakan untuk keperluan administrasi publik dan pencarian buronan.
Awalnya, sistem pengenalan wajah ini memang tercipta untuk pengamanan negara. Penciptanya ialah Woody Bledsoe, Helen Chan Wolf, dan Charles Bisson. The History of Information Security: A Comprehensive Handbook (2007) mencatat bahwa tiga orang tersebut memulai inovasi ini berkat dapat dana dari sebuah lembaga intelijen negara. Sayangnya penemuan sistem ini terkesan sebagai hal yang dirahasiakan. Seiring waktu, proyek Bledsoe dan koleganya itu terus disempurnakan dan lambat laun sistem tersebut akhirnya turut dikembangkan oleh perusahaan seperti Google, Microsoft, Apple, bahkan bisnis rintisan.
Hingga kini penggunaan sistem facial recognition masih mengundang kontroversi lantaran belum ada aturan etis terkait batasan antara kepentingan privasi dan pengamanan. Ke depan, bahasan ini tentu akan jadi perdebatan dan diskusi riuh nun hangat. Dalam The Conversation William Michael Carter, Asisten Professor jurusan Creative Industries, di Universitas Ryerson menyatakan bahwa Brad Smith, Presiden Microsoft, mendirikan AI and Ethics in Engineering and Research (AWTHER) Comitee, sebuah lembaga yang bertugas merumuskan regulasi dan ketentuan tanggung jawab sosial terkait penggunaan sistem facial recognition.
William turut menyebut bahwa AWTHER diharapkan mampu mengajak para pelaku industri teknologi informasi untuk bersama merumuskan batasan bagi penggunaan teknologi ini. Informasi tentang AWTHER ini ia sampaikan lantaran ia gusar melihat perkembangan fungsi facial recognition, terutama di Tiongkok. Selain untuk konser dan memantau gerak para pejalan kaki, negara adidaya itu hendak mempraktikkan penggunaan facial recognition untuk memantau aktivitas anak-anak di sekolah.
Kegusaran William ini memang belum dirasakan oleh mereka yang berkecimpung di industri musik. Blink Identity, perusahaan rintisan yang fokus mengembangkan sistem facial recognition, tengah membangun sistem untuk memudahkan para pemilik tiket konser untuk mengakses berbagai ruang tanpa perlu bolak balik menunjukkan tiket. Sistem tersebut akan berlaku bagi orang yang membeli tiket via Ticketmaster.
Billboard mencatat bahwa kerjasama tersebut sudah jadi target Ticketmaster selama beberapa tahun terakhir. Bentuk kerjasama dengan perusahaan seperti Blink Identity dianggap sebagai terobosan dalam industri musik. Mereka menganggap hal tersebut tidak akan melanggar privasi seseorang.
Editor: Nuran Wibisono