tirto.id - Kementerian Perhubungan resmi menetapkan tarif ojek online (ojol) setelah serangkaian pertemuan dan protes para pengendara, Senin (25/3/2019) kemarin. Ketentuan ini mulai berlaku per 1 Mei nanti.
Tarif ojol ini terbagi untuk tiga zona, Sumatera-Jawa (kecuali Jabodetabek)-Bali, Jabodetabek, serta Kalimantan-Sulawesi-timur Indonesia. Di Jabodetabek, tarif atas dan bawah ditetapkan Rp2.000-2.500 per kilometer. Lalu, tarif biaya jasa minimal untuk perjalanan 4 kilometer (km) pertama ditetapkan di kisaran Rp8.000-10.000.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi mengatakan uang tersebut akan masuk ke kantong pengendara. Persentasenya sekitar 80 persen dari total ongkos yang harus dibayarkan pengguna. 20 persen sisanya adalah hak aplikator yang ia sebut sebagai “biaya sewa aplikasi.”
“Jadi tidak boleh lebih dari 20 persen [untuk penyedia aplikasi]. 80 persen dari tarif total yang dibayar konsumen itu hak pengemudi,” kata Budi.
Penetapan ini ternyata belum memuaskan semua pengendara. Ketua Presidium Gabungan Roda Dua (Garda) Indonesia, Igun Wicaksono mengatakan keinginan pengemudi di Jabodetabek adalah di angka Rp2.400 per km nett. Tarif 4-5 km pertama yang diharapkan berada di angka Rp12 ribu juga belum terpenuhi. Tapi setidaknya sudah lebih baik dari sebelumnya yang hanya Rp6 ribu.
Meski demikian, Igun tetap mengapresiasi pemerintah karena sudah mengambil alih penentuan tarif yang sebelumnya didominasi aplikator.
“Tarif yang diusulkan pemerintah saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Dulu Rp1.600 hingga Rp1.800 per km, tapi sekarang Rp2.000-2.500 [per km], nett,” kata Igun saat dihubungi reporter Tirto.
Hal serupa diungkapkan anggota Komunitas Ojol Jakarta, Adi Sumanta. Paling tidak para pengemudi tidak lagi bekerja dengan tarif di bawah Rp 2.000/km sehingga lebih mungkin bisa menutupi pengeluaran sehari-hari, kata Adi.
Namun sepengetahuan Adi, kenaikan tarif juga membuat bonus lebih sulit didapat. Padahal menurutnya insentif itu penting untuk memacu pengemudi tetap bekerja kendati situasi sedang hujan, jam sibuk, dan sebagainya.
"Kalau makin tinggi tarif, target narik buat dapat insentif juga dipertinggi. Jadi lebih susah buat dapat bonusnya," kata Adi saat dihubungi reporter Tirto.
Bagaimana dengan konsumen?
Bagi konsumen, ongkos yang harus dikeluarkan per km paling tidak mencapai Rp2.500 hingga Rp3.125 karena mereka membayar 80 persen untuk pengemudi, dan 20 persen untuk perusahaan (untuk perusahaan kira-kira Rp500 hingga Rp625 per km).
Hasil survei yang pernah dikutip Grab Indonesia--salah satu penyedia aplikasi--menyebut kalau rata-rata perjalanan yang ditempuh seseorang adalah 8,8 km per hari. Maka dengan asumsi biaya 4 km pertama adalah Rp9 ribu, konsumen ojol sekarang harus merogoh duit kira-kira Rp21 ribu hingga Rp24 ribu per hari.
Angka ini jelas lebih besar dibandingkan dengan tarif lama dan per 4 km pertama adalah Rp6 ribu. Dengan formulasi itu, juga dengan jarak rata-rata perjalanan yang sama, konsumen sebelumnya kira-kira membayar Rp15.600 hingga Rp16.800 per hari.
Alhasil, kini konsumen harus merogoh saku lebih dalam, tetapi pendapatan pengemudi lebih baik dari sebelumnya.
Menanggapi hal itu, Verda Nano Setiawan (24), seorang pekerja media daring, mengatakan kenaikan tarif ini jelas membebani konsumen, apalagi bagi mereka yang memang sehari-harinya memanfaatkan itu untuk mobilisasi.
"Kalau untuk mereka yang masih sering mengandalkan transportasi online kenaikan ini juga terasa [memberatkan]," kata Verda.
Kadima Lukas (22) yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta juga mengaku tarif baru itu cukup berat. Ia pun menyarankan jatah untuk penyedia aplikasi sebaiknya dikurangi.
"Itu cukup memberatkan. Menurut saya potongan yang dikasih ke perusahaan sebaiknya dikurangi. Toh, tulang punggung perusahaan macam Gojek atau Grab itu dari para driver-nya juga," kata Kadima.
Memang pendapatan perusahaan aplikasi seperti Go-Jek berasal dari banyak sumber. Bahkan Nadiem Makarim, Chief Executive Officer Go-Jek, pada Agustus lalu mengatakan segala lini jasa yang dijalankan Go-Jek sangat dekat untuk memperoleh keuntungan, kecuali Go-Ride dan Go-Car.
Sementara Go-Pay misalnya, bisa dibilang salah satu pemimpin pasar di segmen uang elektronik, yang tentu saja menyumbang banyak duit bagi perusahaan.
Meskipun naik dan dirasa memberatkan, Kadima mengaku akan tetap menggunakan layanan transportasi ini. Ia ingin terlebih dulu melihat seberapa signifikan kenaikan terhadap pengeluaran hariannya.
"Bakal wait and see, sih. Kalau sudah terjadi, nanti saya coba lagi sendiri gimana harga barunya. Tetap pakai, sih, iya, hanya frekuensinya bisa jadi berkurang atau enggak. Tergantung nanti gimana."
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino