tirto.id - Kevin senang bukan kepalang, pemuda penikmat kopi ini bisa menebus Asian Dolce Latte di Starbucks tak sampai Rp15 ribu per porsi padahal harga normalnya lebih dari Rp50 ribu. Ia memanfaatkan dua promo sekaligus. Pertama, Kevin menggunakan promo 50 persen "tumbler" Starbucks. Kedua, promo dari pembayaran digital, ia membayar kopi dengan layanan Go-Pay, ada potongan 50 persen dalam bentuk cashback.
Sejak 27-30 November 2018, Go-Pay, sistem pembayaran digital milik Go-Jek, punya program bernama “Go-Pay Day.” Go-Pay memberikan cashback hingga 50 persen bagi orang-orang yang berbelanja di 36 rekan usaha dan 2.000-an outlet jika mereka membayar belanjaan menggunakan Go-Pay. Starbucks, tempat Kevin membeli minuman, termasuk rekanan Go-Pay.
Go-Pay memang identik sebagai alat pembayaran layanan-layanan dalam aplikasi Go-Jek. Namun, sejak Mei 2018, Go-Pay secara resmi menghadirkan fitur QR Code, yang memungkinkan transaksi offline dilakukan oleh Go-Pay.
Go-Pay Masa Depan Go-Jek
Nadiem Makarim, Chief Executive Officer Go-Jek, pada Agustus 2018, mengatakan segala lini jasa yang dijalankan Go-Jek sangat dekat untuk memperoleh keuntungan, kecuali lini bisnis transportasi yaitu Go-Ride dan Go-Car. Dua layanan yang menjadi citra Go-Jek belum menyumbang keuntungan. Nadiem mengklaim justru Go-Food adalah bisnis inti Go-Jek. Benarkah?
Go-Food merupakan layanan pemesanan dan pengantaran makanan berbasis aplikasi terbesar di Indonesia. Hingga kini, ada 300 ribu merchant atau penjaja makanan yang tergabung dalam platform Go-Food. Catherine Hidra Sutjahyo, Chief Commercial Expansion Go-Jek, menyebut Go-Jek memperoleh keuntungan dengan cara menarik fee atau cut dari makanan yang dibeli konsumen via Go-Food. “Dari Go-Food ada cut dari merchant yang sudah kita hitung baik-baik” yang melibatkan group sales Go-Food yang duduk bersama penjual makanan.
Go-Food memang kini menguntungkan bagi Go-Jek. Namun, masa depan perusahaan yang kini berstatus unicorn--valuasi di atas 1 miliar dolar--di Indonesia ini justru adalah Go-Pay. Ada beberapa alasan mengapa demikian.
Cikal bakal Go-Pay mengakar pada fitur bernama Go-Jek Credit, semacam pulsa yang bisa digunakan membayar layanan Go-Jek. Lantas, di bulan Mei 2016, Go-Jek Credit berubah menjadi Go-Pay. Go-Pay berdiri di bawah naungan PT Dompet Anak Bangsa, entitas anak usaha PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, dan beroperasi sebagai operator uang elektronik atas izin dari Bank Indonesia No. 16/98/DKSP tertanggal 17 Juni 2014.
Guna mempopulerkan penggunaan Go-Pay, Go-Jek melakukan beragam promo. Salah satu promo yang dilangsungkan ialah diskon 50 persen tarif perjalanan Go-Ride. Secara umum, diskon 50 persen tarif itu sering dibaca sebagai diskon untuk mempopulerkan Go-Ride. Padahal, diskon tersebut lebih pas dibaca sebagai promo bagi Go-Pay sendiri. Alasannya, diskon hanya diberikan pada pengguna Go-Ride yang membayar ongkos dengan Go-Pay, tidak dengan uang tunai.
Promo pembayaran via Go-Pay di aplikasi Go-Jek tak terbatas pada Go-Ride, tetapi juga Go-Food, Go-Send, hingga layanan-layanan lain. Ada upaya dari Go-Jek untuk membuat masif penggunaan Go-Pay, termasuk dengan "membakar uang".
Membakar uang untuk mempopulerkan Go-Pay tak terlalu sulit dilakukan Go-Jek. Sejak akhir 2014, startup tersebut telah melakukan 7 kali funding rounds dengan dana yang berhasil dihimpun sedikitnya $3,3 miliar karena beberapa kali funding rounds Go-Jek tak membuka angka investasinya. Investornya juga bukan nama sembarangan, ada Tencent, Google, hingga Astra.
Popularitas Go-Pay menanjak ditopang dari berbagai promo yang gencar. Pada September 2017, Nadiem mengatakan 50-60 persen pengguna Go-Jek, menggunakan Go-Pay. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 20 Desember 2017, Nadiem mengklaim Go-Pay menyumbang 30 persen dari total transaksi uang elektronik di Indonesia.
Bila melihat dari sisi volume, saat itu ada 104,47 juta transaksi uang elektronik di Indonesia. Jika klaim Nadiem dikonversi, Go-Pay artinya menyumbang 31,34 juta transaksi uang elektronik Indonesia. Padahal, ada 32 penerbit uang elektronik lain yang beroperasi di Indonesia berdasarkan data Bank Indonesia. Go-Pay, bisa dibilang salah satu pemimpin pasar segmen ini.
Dari Mana Sumber Keuntungan Go-Pay?
Ada 19 layanan yang termaktub dalam aplikasi Go-Jek. Sebagaimana diklaim Nadiem, Go-Food merupakan inti bisnis Go-Jek saat ini. Ini bisa dibaca bahwa 18 layanan lain belum menyumbang signifikan pendapatan yang kuat bagi Go-Jek. Namun, posisi Go-Food nampaknya akan digeser oleh Go-Pay di masa mendatang.
Di Indonesia, dalam rentang Januari hingga September 2018 lalu, transaksi pembayaran non-tunai menembus angka Rp31,26 triliun. Angka itu, meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan rentang waktu yang sama setahun sebelumnya, yakni sebesar Rp12,37 triliun. Angka-angka ini adalah uang yang bisa dikonversi menjadi peluang keuntungan bisnis, termasuk platform pembayaran digital seperti Go-Pay.
Dari mana saja Go-Pay bisa menarik keuntungan buat Go-Jek?
Dalam hajatan The Global Mobile Internet Conference 2017, Nadiem mengatakan bahwa “tahun 2018 adalah tahunnya Go-Pay.” Go-Pay, menurutnya, akan bisa digunakan baik secara online maupun offline. Ini akhirnya memang menjadi kenyataan, seperti yang bisa dilakukan oleh Kevin saat memesan kopi di Starbucks atau para pengguna jasa Go-Ride dan lainnya.
Layanan Go-Pay yang masuk ke transaksi offline juga memanfaatkan teknologi bernama EDC Bersama, yang digunakan merchant kala bertransaksi dengan pembelinya via Go-Pay. Melalui EDC Bersama, keluar struk tagihan berisi kode QR yang dipindai melalui Go-Pay.
EDC Bersama yang digunakan merupakan produk dari perusahaan bernama Kartuku. Kartuku, pada 2017, dibeli oleh Go-Jek dengan nilai transaksi yang dirahasiakan. Menurut klaim Kartuku, layanan mereka tersedia di 379 kota di Indonesia. Ini memudahkan Go-Pay menyebar dengan luas sebagai penyedia layanan pembayatan online maupun offline.
Pemanfaatan Go-Pay sebagai salah satu alat transaksi digital tentu saja berbayar. Namun, tidak ada data berapa Go-Pay menarik biaya bagi merchant-merchant yang menggunakan fasilitas mereka. Pengalaman Cina, layanan QR Code dari Alipay dan WeChat Pay mematok fee sebesar 0,55, 0,1 hingga 2 persen dari setiap transaksi yang dilakukan merchant. Di Indonesia ada tarif yang bernama Merchant Discount Rate (MDR) yang dikenakan kepada pedagang dan tarifnya diatur oleh Bank Indonesia.
Ihwal skema transaksi Go-Pay yang bertalian dengan pihak merchant, pihak Go-Jek belum memberikan keterangan. Galuh Candra Kirana, Senior VP Product Marketing Go-Pay, tak mengangkat telepon saat dihubungi Tirto.
Namun, dalam laporan Bloomberg berjudul “Why China’s Payment Apps Give U.S. Bankers Nightmares” menyebut meskipun aplikasi seperti Go-Pay, WeChat Pay, dan Alipay mematok fee, itu jauh lebih hemat dibandingkan fee yang dibebankan oleh kartu-kartu pembayaran konvensional seperti kartu debit dan kredit. Dalam transaksi senilai $100, sebanyak $97,25 akan masuk ke merchant. Sisanya $2,20 masuk ke kas bank penerbit kartu, dan 23 sen masuk ke kantong layanan pemrosesan transaksi. Sebanyak 19 sen masuk ke rekening milik acquiring bank dan 13 sen masuk ke deposit jaringan kartu seperti Visa atau Mastercard.
Selain fee dari transaksi digital, layanan semacam Go-Pay bisa memperoleh keuntungan dari akumulasi uang pengguna yang dideposit pada aplikasi. Pihak pengelola layanan transaksi digital semacam Go-Pay bisa memutar akumulasi uang tersebut, misalnya untuk memberikan kredit atau cara sederhana ialah menyimpannya saja untuk memperoleh bunga.
Masih dalam laporan Bloomberg tersebut, pada 2013, terparkir uang senilai $243 miliar di deposit Alipay. Alipay lantas menggunakan uang itu sebagai modal menciptakan pasar uang, memberikan kredit pada entitas bisnis lain. Dengan keunggulan Go-Pay yang menjadi “mata uang” setiap transaksi di layanan-layanan Go-Jek, bukan mustahil bagi pihak Go-Jek menjadikan sistem pembayaran miliknya jadi mesin uang di masa depan, dan bukan Go-Food seperti yang diklaim oleh Nadiem. Namun, Go-Pay kini masih tahap "membakar uang" dengan segala promo demi menjadi penguasa layanan pembayaran digital di masa depan dengan balutan bisnis fintech.
Editor: Suhendra