tirto.id - Pemerintah pusat memberlakukan kembali pembatasan sosial menyusul penambahan kasus COVID-19 yang semakin menggila. Kali ini istilah yang dipakai bukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tapi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). PPKM diterapkan di Provinsi DKI Jakarta dan 23 kabupaten/kota lain di Jawa-Bali mulai 11-25 Januari 2021.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan daerah yang dibatasi adalah yang kasus aktif dan tingkat kematiannya di atas rata-rata nasional, tingkat kesembuhan di bawah rata-rata nasional, dan tingkat keterisian rumah sakit di atas 70 persen.
Pembatasan antara lain: aktivitas perkantoran 75 persen harus dilakukan dari rumah, operasional mal hanya sampai pukul 19.00, restoran boleh melayani makan di tempat dengan batasan 25 persen kapasitas, dan tempat ibadah boleh beroperasi dengan setengah kapasitas. Sementara kegiatan sosial dihentikan, lalu transportasi umum dikembalikan ke pejabat daerah masing-masing.
Pertanyaannya, apakah kebijakan ini mampu mengalahkan atau setidak-tidaknya menekan pandemi yang sudah 11 bulan di Indonesia?
Jika pertanyaan ini dialamatkan ke epidemiolog Masdalina Pane, maka jawabannya adalah tidak. “Tidak substantif untuk mengendalikan pandemi,” kata Masda kepada reporter Tirto, Kamis (7/1/2020). “Kalau untuk sementara oke saja karena tingkat keterisian rumah sakit kita sudah di atas 70 persen.”
Masda menyebut tak substantif karena penerapan hanya di sebagian kota yang sudah ditentukan, padahal zonasi sendiri berubah setiap minggu. Selain itu zonasi pun tidak akurat menggambarkan kondisi wabah karena mobilitas antar wilayah tidak dibatasi.
Lalu beberapa poin pembatasan pun sebenarnya telah diterapkan, misalnya batas jam operasional mal dan kapasitas maksimal kantor. Pun dengan restoran yang masih diperkenankan melayani makan di tempat.
“Banyak bicara jargon, seolah-olah [pembatasan] total Jawa Bali, padahal tidak,” kata Masda.
Diperlukan dua pendekatan sekaligus untuk memutus mata rantai penularan COVID-19, kata epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia (UI) Pandu Riono. Pertama, pembatasan mobilitas masyarakat; kedua memasifkan tes, trace, dan karantina/isolasi. “Dua kombinasi itu baru bisa memberi efek menurunkan kasus karena memutus rantai penularan dari dua sisi,” kata Pandu.
Sayangnya hal itu tidak dibicarakan dalam konferensi pers pengumuman pembatasan oleh Airlangga, katanya.
Kapasitas tes Indonesia sendiri masih belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia. Dalam seminggu terhitung sejak 31 Desember, Indonesia baru mengetes 230.537 orang, masih kurang 37 ribu untuk memenuhi standar: 1000 orang per 1 juta penduduk dalam 1 pekan atau setara 267 ribu orang.
Tracing pun belum maksimal. KawalCovid19, yang mengembangkan Rasio Lacak dan Isolasi untuk mengetahui jumlah orang yang dijaring menjadi kontak erat per 1 kasus positif dengan cara membagi jumlah jumlah kontak erat dengan jumlah kasus positif, menemukan sebagian besar kabupaten/kota rata-rata hanya menjaring 10 orang, bahkan kurang dari itu, per 1 kasus positif. Padahal idealnya 20-30 orang.
“Jadi kebijakannya separuh-separuh. Seakan-akan itu tanggung jawab masyarakat. Seharusnya pemerintah dalam situasi seperti ini kembali memenuhi fungsi dasarnya membangun testing, tracing, dan isolasi yang benar,” kata Pandu.
Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo yakin kebijakan ini mampu menekan jumlah kasus aktif. Berkaca pada pengalaman tahun lalu, PSBB selama 1,5 bulan membuat kasus aktif turun 20 persen dari 67 ribu menjadi 54 ribu.
“Kita harapkan persentasenya bisa lebih besar dibandingkan periode September dan November awal,” kata Doni dalam konferensi pers daring, Kamis.
Syaratnya, harus ada peningkatan disiplin masyarakat. Untuk mencapai itu, Doni mengatakan telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah agar posko COVID-19 dibuka kembali.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiki Adisasmito pun mengatakan akan mengoptimalkan kapasitas tes dan tracing, tapi tak menjawab ketika ditanya seberapa besar persisnya target peningkatan.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino