tirto.id - Apa yang muncul pertama kali di kepala ketika kamu mendengar kata “pindang”? Ikan rebus yang dijual dalam keranjang bambu kecil di pasar, semangkuk sup ikan berkuah kuning bercita rasa asam segar yang menjadi makanan pokok masyarakat Sumatera Selatan, atau sepiring nasi berkuah pekat dengan potongan daging di atasnya khas kota Kudus?
Bagi saya yang lahir dan tumbuh di Jawa Barat, bayangan pindang yang terpancang di dalam benak adalah masakan ikan mas dengan potongan besar labu siam yang direbus berjam-jam sampai kuahnya menyusut—namun tak sampai kering. Lebih spesifik lagi, labunya tidak dikupas. Tetapi hanya dipotong melintang dengan ketebalan sekitar 2-3 cm.
“Supaya tidak hancur saat dimasak,” kata Ibu.
Rasanya gurih, sedikit manis, dengan hentakan rasa asam di belakang lidah. Karena dimasak secara lambat dan cukup lama, tulangnya pun menjadi lunak dan bisa dikonsumsi. Ibu biasa membuatnya sejak kami masih kecil. Jika anak-anaknya sedang GTM (gerakan tutup mulut), pindang ikan mas adalah kuncian agar kami kembali lahap, dan siasat ini tidak pernah gagal.
Cara membuatnya sedikit banyak mengingatkan pada cara memasak ikan arsik khas Batak Toba. Ada istilah “bumbu alas”, yaitu bumbu aromatik yang disusun untuk mengalasi wajan atau panci sebelum ikan dimasukkan. Jika dalam pembuatan ikan arsik bumbu aromatik yang digunakan adalah serai, potongan lengkuas, asam gelugur, asam cekala, bunga kecombrang dan andaliman; pindang ikan mas membutuhkan daun salam, irisan kunyit, lengkuas dan jahe yang dirangkai di bagian dasar wajan. Baru kemudian ikan yang sudah digoreng setengah matang ditata di atasnya.
Setelah tersusun rapi, tatanan ikan kemudian diguyur oleh bumbu halus yang terdiri dari bawang merah, bawang putih dan kemiri yang sebelumnya sudah digoreng. Garam, asam Jawa dan gula aren, turut dicampurkan secukupnya. Setelah rampung, air mendidih disiramkan sampai seluruh ikan terendam, lalu dimasak hingga matang. Ketika kami beranjak besar dan mulai menyukai rasa pedas, Ibu memasukkan beberapa buah cabai rawit utuh untuk kemudian diulek di masing-masing piring.
Kalau Ibu memasak pindang ikan mas hari ini, maka estimasi waktu makan terbaik adalah besok atau lusa. Ibu sigap menghadang ketika kami sudah siap dengan piring di hadapan wajan.
“Jangan dimakan hari ini, besok aja, lebih enak!”.
Titahnya tabu untuk dilanggar.
Semakin sering dipanaskan, bumbu akan semakin merasuk (bahkan sampai ke tulang ikan), dan citarasanya akan semakin sedap. Wajan yang digunakan pun berukuran besar, agar sekali olah bisa memuat banyak. Biasanya Ibu akan memasak 3-5 kilogram ikan sekaligus, yang akan awet hingga seminggu ke depan. Dan kami tidak pernah bosan meskipun setiap hari hanya makan pindang.
Ibu mendapatkan resep pindang ikan mas dari ibunya, nenek kami, yang biasa disebut Ma Aji. Ma Aji pun diberi warisan resep ini dari leluhurnya. Ketika Ibu masih kecil, Ma Aji seringkali memasak pindang ikan mas untuk ketujuh anaknya. Sebagai upaya penghematan, Ma Aji akan memasukkan lebih banyak potongan labu siam dibanding ikannya.
“Ikannya paling beberapa ekor, Kak. Ikannya hasil nyair (menangkap ikan) di balong (kolam). Labunya banyak, jadi setiap anak kebagian labu yang dipindang. Meskipun ikannya sacuwil ewang (masing-masing hanya mendapat secuil), yang penting kuahnya ada rasa ikan mas,” cerita Ibu.
Tidak ketinggalan, masa kecil kami pun diisi dengan kehadiran pindang ikan mas buatan Ma Aji dari waktu ke waktu. Ini juga adalah makanan favorit kami untuk berbuka puasa. Yang membedakannya dari buatan Ibu dan membuatnya lebih spesial, Ma Aji memasaknya di atas hawu atau tungku kayu bakar.
Meskipun sudah tersedia kompor gas sejak lama, Ma Aji memilih memasak banyak hal di atas hawu. Memasak lambat dengan kayu bakar, menurut saya adalah cara terbaik agar pindang ikan mas naik level: keseluruhan hidangan terasa smokey, ikannya serasa diasap dulu sebelum dimasak, dan mencuatkan rasa masing-masing bahan.
Sebuah ironi: dulu saya sering menghindari tugas cuci piring karena tempat mencucinya di sebelah hawu. Terlalu banyak asap dan gelap, itu alasannya. Namun sekarang, saya sangat merindukan masakan yang keluar dari kegelapan yang penuh keajaiban itu. Semenjak Ma Aji meninggal dunia, anak dan cucunya tidak ada lagi yang menyentuh hawu. Kami malas ribet, bau asap, dan memasak di hawu menghabiskan terlalu banyak waktu. Lebih efisien memasak dengan kompor gas saja.
Hal ini disinggung juga oleh Michael Pollan, penulis buku Cooked: A Natural History of Transformation dan Food Rules: An Eater’s Manual, “Time is the missing ingredient in our recipes and our lives”. Banyak resep yang dengan sengaja ditinggalkan karena kita tak punya banyak waktu di dunia serba cepat ini. Sedihnya.
Kesedihan selanjutnya, tinggal di Jogja membuat saya kesulitan mereplikasi resep pindang, karena di sini ikan mas jarang dijumpai. Ketika berbelanja ke tukang ikan di pasar, mereka selalu menyarankan ikan lain.
“Sudah, ikan nila atau gurame aja, Mbak!” ujar penjual-penjual itu.
Mengapa begitu ya? Kemungkinan besar karena duri-duri ikan mas yang cukup banyak dan halus, sehingga butuh ketelitian yang lumayan tinggi ketika dikonsumsi agar cucuknya tidak tertelan.
Hal ini juga sepertinya yang membuat cara memasak ikan mas di Jawa Barat kebanyakan menggunakan teknik memasak lambat. Rumah makan Sunda langganan saya di Sumedang pun memasak pepes ikan masnya selama minimal 8 jam. Durinya bisa digigit dan ditaklukkan tanpa perlawanan. Kalau begini terus, saya takut resep pindang ikan mas turun-temurun dari keluarga ini akan berhenti di generasi saya. Semoga tidak kejadian.
Perkara khazanah pindang di Nusantara, saya sempat bingung, kenapa resep dan jenis lauk yang dipakai, bisa sangat berbeda?
Ada pindang patin khas Palembang, pindang jelabat dari Lampung, nasi pindang asal Kudus, pindang serani dari Jepara, pindang ikan khas Betawi, pindang ikan mas a la Sunda, beberok aik pindang dari Lombok, dan pindang ikan keranjang di banyak pasar Jawa. Semuanya punya kuncian dan ciri khasnya masing-masing.
Lalu apa persamaannya? Akhirnya sebuah percakapan dengan guru saya menjawab kebingungan ini: pindang itu dimasak dengan cara direbus, ada yang tetap mempertahankan kuahnya, namun ada juga yang membiarkannya mengering. Bingo!
Masakan enak, apalagi yang bercampur dengan rasa familiar yang menemanimu tumbuh dari kecil, dapat memuncul kan emosi universal di dalam dada. Maka apapun perasaan yang muncul di benakmu ketika kata pindang melintas, saya yakin emosi yang hadir adalah kebahagiaan.
Editor: Nuran Wibisono