tirto.id - Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya jadi bahan pembicaraan jelang perayaan Natal 2022. Sebabnya adalah dia tidak memperbolehkan kegiatan tersebut dilakukan di rumah toko (ruko) atau tempat lain, hanya boleh dilakukan di rumah ibadah. Beberapa pihak menafsirkannya sebagai pelarangan ibadah--yang sudah dibantah.
Penegasan ini membuat umat kristiani di Maja, salah satu kecamatan di Lebak, Provinsi Banten, mau tidak mau harus pergi ke daerah lain. Iti mengajak mereka untuk beribadah Natal di ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung.
Pernyataan Iti bisa muncul karena dua faktor. Pertama, tidak ada gereja di Maja; kedua, sebagai gantinya, umat kristiani di daerah tersebut mengirim surat permohonan memakai gedung Eco Club perumahan Citra Maja Raya. Iti kemudian mengatakan permohonan tersebut diprotes warga karena ruko itu untuk dagang, bukan yang lain. “Harus sesuai izin,” katanya, Minggu 18 Desember.
Alih-alih tak mendukung umat Kristen, Iti mengatakan dia justru mendorong setiap umat beragama punya tempat ibadah masing-masing. Karena itu dia justru menantang agar umat kristiani Maja “segera urus izin untuk rumah peribadatan.”
Masalahnya, tidak semudah itu mendapat izin. Faktanya masalah gereja di Maja sudah terjadi menahun.
Upaya pendirian gereja di sana setidaknya bisa ditarik sampai tahun 2019. Ketika itu, pengembang, Grup Ciputra, mengadakan sosialisasi untuk pembangunan masjid dan gereja. Tapi masyarakat setempat menolak, setidaknya dari tiga desa yang diwakili oleh seseorang bernama Hikmatullah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Front Pembela Islam (DPW FPI) Kabupaten Lebak.
Alhasil, sampai sekarang, syarat krusial pembangunan rumah ibadah belum terpenuhi, yakni persetujuan dan dukungan dari warga setempat.
Hikmatullah menegaskan dia dan para penolak pembangunan rumah ibadah tak mau dianggap intoleran. Baginya wajar belaka jika di lingkungan yang banyak umat Islam tidak ada rumah ibadah agama lain. “Maja dihuni mayoritas umat muslim, banyak pondok pesantren. Jangan ada pembangunan gereja di lingkungan yang mayoritas dihuni umat muslim,” katanya dilansir dari Orbit Banten.
Alasan ini cukup klise dalam kasus pendirian rumah ibadah. Dengan kata lain, cukup banyak contoh yang sama persis.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No. 8 Tahun 2006 mengatur beragam syarat untuk memiliki izin pendirian rumah ibadah. Salah duanya adalah penggunanya paling sedikit 90 orang dan persetujuan/dukungan warga setempat paling sedikit 60 orang.
Memenuhinya tidaklah semudah itu. Jika angka 90 itu masih termasuk minoritas, mereka sangat sulit, jika bukan tidak bisa, mendirikan rumah ibadah.
Hal ini pernah disinggung oleh peneliti dari Komnas HAM, Agus Suntoro, pada 2020 lalu. “Unsur 60-90 mungkin bagi agama mayoritas tertentu tidak masalah,” katanya.
Minim Gereja di Lebak
Iti Octavia Jayabaya menegaskan bahwa di daerahnya “sudah banyak gereja” dan dia sering diundang bahkan datang. Pertanyaannya tentu saja: benarkah banyak, dan apakah cukup?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 5.338 tempat ibadah di Lebak periode 2021-2022. Rinciannya adalah 1.929 masjid, 3.402 musala, 6 gereja Kristen/Katolik, dan 1 wihara.
Lewat penelusuran Google Maps dan data tahun sebelum-sebelumnya, diketahui jumlah gereja mengalami perubahan. Misalnya di Kecamatan Bayah. Di sana sempat ada 1 gereja GKII Jireh, namun sekarang tidak lagi dicatat BPS. Penelusuran tempat ini melalui internet juga nihil.
Sekarang, enam gereja yang tercatat ada di Kecamatan Cibeber dan Kecamatan Rangkasbitung. Dua di Kecamatan Cibeber dan empat di Kecamatan Rangkasbitung.
Dua gereja di Kecamatan Cibeber berada di Desa Cikotok, namanya Gereja Bukit Selaka dan Gereja Santo Josef. Untuk ke tempat ini dari perumahan Citra Maja Raya, dengan jarak lebih dari 140 kilometer, Google Maps memperkirakan perjalanannya tak kurang dari 3 jam 50 menit memakai mobil dalam keadaan lalu lintas lancar.
Sedangkan gereja di Rangkasbitung ada di desa Muara Ciujung Barat, namanya Gereja Santa Maria Tak Bernoda. Lokasinya jauh lebih dekat karena hanya perlu menempuh sekitar 40 menit perjalanan dengan mobil dari Citra Maja Raya (jarak 20 kilometer). Gereja lain di Desa Muara Ciujung Timur seperti GPdl Rangkasbitung sedikit lebih dekat dengan jarak yang kurang dari 20 km dan waktu tempuh tak sampai 40 menit.
Dua gereja lagi bernama Gereja Kristen Pasundan Jemaat Rangkasbitung dan Gereja Bethel Indonesia.
Berdasarkan data BPS 2021, jumlah penduduk Kristen-Katolik adalah 821 dan 1.549. Maka rata-rata setiap gereja menampung sekitar 395 jemaah. Masjid dan musala menampung lebih sedikit, yaitu rata-rata 235 jemaah--jumlahnya 5.331 dengan pemeluk Islam tercatat 1.382.636 orang.
Jika hanya menilik penduduk di Rangkasbitung yang punya gereja paling banyak, setiap bangunan juga harus menampung sekitar 494 umat karena ada 1.975 pemeluk Kristen/Katolik di sana.
Singkatnya, jumlah gereja belum cukup. Sebagai catatan, ini belum mempertimbangkan luas bangunan. Perlu diingat juga bahwa tidak semua daerah punya gereja, sedangkan hampir di setiap desa di Kabupaten Lebak punya masjid dan musala.
FKUB di Tengah Prahara
Salah satu penyebab Bupati Iti tidak mengizinkan penggunaan gedung serbaguna kompleks perumahan Citra Maja Raya untuk aktivitas Natal adalah itu merupakan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Lebak.
“Ruko, tempat permukiman, kami mohon maaf enggak diizinkan, sesuai dengan hasil musyawarah FKUB,” katanya.
Mengutip situs resmi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), kasus di Maja ini menjadi catatan buruk kegagalan negara memenuhi hak warga dalam beribadah. Dari sumber yang sama Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Pdt. Jimmy mengatakan jangan sampai FKUB menjadi tameng pemerintah. “Jangan sampai pemerintah berlindung di balik FKUB, menjadikan FKUB legitimasi, sehingga tindakan diskriminatif tetap berlangsung,” ujarnya.
FKUB itu sendiri tidak lepas dari kritik. Setahun lalu, sebelum kasus ini muncul, PGI, dilansir dari BBC, tidak sepakat dengan otoritas yang dimiliki FKUB dalam menentukan pembangunan rumah ibadah atau penyelenggaraan ibadah di wilayah tertentu. PGI mencatat FKUB setidaknya berperan terhadap gagalnya pembangunan 51 gereja dalam periode 2015-2018 karena tak mau mengeluarkan rekomendasi.
Atas dasar itu, Sekretaris Umum PGI Jacky Manuputty menyatakan kewenangan FKUB seharusnya diubah. “Selama ini fokus kerjanya terlalu besar dalam pemberian rekomendasi izin pendirian rumah ibadah. Sementara peran yang lebih signifikan yakni menjadi forum dialog antaragama sangat kurang,” ujar Jacky.
Idealnya pembangunan rumah ibadah tidak memerlukan izin dari FKUB yang merupakan lembaga non-pemerintah, katanya, tapi diserahkan langsung kepada negara.
Setara Institute, LSM yang menaruh perhatian pada masalah keberagaman di Indonesia, juga memberi masukan serupa dengan landasan berpikir sama. Keberadaan FKUB di wilayah sering kali didominasi oleh umat mayoritas. Hasilnya, minoritas tetap saja harus tunduk dan sulit menjalankan ibadahnya.
Setara Institute dalam Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBBI) 2021 mendorong Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merevisi SKB, khususnya menghapus tugas FKUB sebagai pemberi rekomendasi tertulis atas pendirian rumah ibadah.
“Hal ini diharapkan dapat membuat kelompok minoritas lebih bebas mendirikan rumah ibadah di mana saja tanpa khawatir akan penolakan warga dan tanpa harus relokasi untuk mendapatkan dukungan warga sebagai syarat IMB,” tulis mereka.
Masuknya Kristen
Sejarah mencatat Nederlandsche Zending Vereeniging (NZV) atau Serikat Misionaris Belanda pernah berupaya menyebarkan ajaran Kristen ke Banten di abad ke -19. Salah satu yang diutus adalah misionaris bernama A. A. Pennings.
Pennings mengawali kegiatannya di Leuwidamar--yang merupakan bagian dari Lebak. Bersama anak dan istrinya, Pennings mendirikan rumah dan tinggal di sana mulai 1894.
Pennings sulit menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar sejak awal. Menurut penduduk, siapa pun yang berinteraksi dengan Pennings akan “dikristenkan”. Karena itu warga yang membantunya malah mendapat cemooh.
Namun, dengan berbagai kesulitan itu, selain mendirikan sekolah, Pennings berhasil membangun gereja pertama pada 1895. Komunitas Kristen di Leuwidamar mencapai puncak ketika jumlahnya mencapai 22 orang, sudah termasuk Pennings dan keluarganya.
Namun usaha Pennings tidak bisa dibilang berhasil. Banyak dari mereka yang kembali berganti ke agama awalnya termasuk Islam. Setelah hampir enam tahun di Leuwidamar, menurut catatan Mufti Ali dalam Misionarisme di Banten (2021), Pennings hanya berhasil menjamah 16 orang untuk memeluk agama Kristen.
Pennings meninggal pada 1902 sebelum bertolak ke Rangkasbitung untuk kembali mengabdi sebagai misionaris. NZV menyebut Pennings meninggal karena terjangkit kolera, tapi sumber lain menyatakan dia diracun. Apa pun itu, kematian Pennings menyebabkan penyebaran Kristen tersendat di Lebak.
Tidak mengherankan bila sekarang hanya ada sedikit gereja di sana--dan malah resistensi-lah yang tetap bertahan.
Masih menurut Mufti, di Rangkasbitung, penyebaran Kristen lebih efektif. Tercatat setidaknya pada 1912 ada sekitar 43 orang penganut Kristen di sana.
Sedangkan di Maja situasinya cenderung lebih sulit. L. Tiemersma, misionaris NZV lain yang jadi penginjil di Maja, menemukan ada 20 keluarga Tionghoa Kristen di sana. Meski diperkirakan mereka sudah lama menetap, tapi tidak ada satu pun tempat ibadah yang berhasil didirikan--bahkan sampai sekarang. Pertumbuhan warga Kristen di Maja juga cenderung statis.
Dari 20 keluarga tersebut, meski dengan kedatangan Pennings ke Leuwidamar dan Tiemersma ke Maja, belum ada satu pun yang sukses melakukan pembaptisan. Yang jelas, penolakan masyarakat dan kematian Pennings memang membawa perubahan besar dalam gerak kristenisasi di Lebak pada masa itu.
“Rencana memindahkan komunitas Kristen Leuwidamar ke Rangkasbitung gagal, karena kematian Pennings dan ketiadaan penggantinya yang dianggap mampu melayani jemaah komunitas tersebut,” catat Mufti.
Editor: Rio Apinino