tirto.id - 5 Maret 2018, Syamsul Fuad mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia menggugat dua rumah produksi yang membuat film Benyamin Biang Kerok (2018), yaitu Falcon Pictures dan Max Pictures. Tak hanya itu, ia juga menggugat Nirmal Hiroo Bharwani alias HB Naveen sebagai bos Falcon Pictures dan Ody Mulya Hidayat, produser film tersebut. Syamsul menuduh pihak tergugat telah melanggar hak cipta atas cerita Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung.
“Sudah dipersiapkan buktinya. Jadi kami sudah punya bukti dokumen tahun 1972. Sinopsis cerita asli dari film yang saat ini sedang beredar. Kemudian ada sinopsis Biang Kerok Beruntung,” ujar Bakhtiar Yusuf, kuasa hukum Syamsul Fuad seperti dikutip Kompas.
Gugatan Syamsul yang menyertakan Biang Kerok Beruntung, berdasarkan pada kerjasama antara Falcon Pictures dengan Hanung Bramantyo dan Reza Rahadian yang akan menggarap dua film tentang Benyamin yang lain, yaitu Biang Kerok Beruntung dan Tarzan Kota.
Merespons gugatan Syamsul, Ody Mulya Hidayat, sebagai salah satu tergugat, melakukan gugatan balik. Seperti dilansir Liputan 6, Ody menyebutkan bahwa ia melakukan gugatan balik berjutuan untuk mengimbangi gugatan sebelumnya yang dilakukan oleh Syamsul.
“Saya nggak cari uang. Saya enggak akan cari uang kayak mereka. Tetap mengimbangi apa mengimbangi saja apa yang dia inginkan. Kalau dia nuntut, ya kami tuntut balik,” ujarnya.
Peristiwa saling menggugat tersebut membuat Syamsul Fuad yang sudah sepuh dan kini usianya menjelang 82 tahun, menjadi dikenal oleh masyarakat kiwari yang sebelumnya barangkali nyaris tidak mengetahuinya.
Dalam catatan Sinematek Indonesia di buku Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 (1979), sebelum terjun ke dunia film, Syamsul terlebih dulu kerja sebagai seorang wartawan di beberapa media yang terbit mingguan dan harian.
Mula-mula ia berperan sebagai figuran dalam dua film. Warsa 1966, ia mulai mendapat posisi sebagai pemeran pembantu dalam film Menjusuri Djedjak Berdarah besutan Misbach Yusa Biran. Perannya di film tersebut berhasil menyabet sebagai “Pendatang Baru Terbaik” pada Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967 di Jakarta.
Tiga tahun berikutnya, ia menjadi pimpinan unit dalam film Bali dan Kutukan Dewata. Setelah itu, Syamsul mulai menjadi pembantu sutradara, termasuk dalam film Ananda yang merupakan karya terakhir sutradara Usmar Ismail.
Sampai tahun 1974, bersama Nawi Ismail ia menghasilkan 11 film termasuk Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung yang hari-hari ini tengah masuk ke ranah hukum dan menjadi perhatian media serta masyarakat.
Film Benyamin Biang Kerok yang pertama tayang pada tahun 1972. Film tersebut ditulis oleh Syamsul Fuad dan disutradarai oleh Nawi Ismail. Duet itu berlanjut pada film Biang Kerok Beruntung yang tayang setahun kemudian.
Benyamin sebagai Sopir Pribadi Biang Masalah
M. Faisal mencatat bahwa film Benyamin Biang Kerok (2018) menceritakan Pengki yang diperankan Reza Rahadian adalah anak orang kaya yang kerap memakai sandang mahal, tukang menghamburkan duit, dan menjadi pelatih sepakbola bagi anak-anak kampung di sekitar rumahnya.
Masalah terjadi saat lahan tempat bermain sepakbola anak-anak kampung tersebut akan digusur. Pengki bersama dua orang kawannya kemudian mencari uang dengan cara menyabotase kasino milik Said. Dana hasil curiannya ia gunakan untuk menebus lahan yang akan digusur tersebut. Bermula dari sini, Pengki lalu terlibat sejumlah masalah lain yang lebih rumit, salah satunya adalah saat ia menyukai seorang perempuan yang ternyata perempuan simpanan Said.
Meski memakai nama yang sama, yakni Benyamin dan Pengki, tapi cerita tersebut sangat berbeda dengan film Benyamin Biang Kerok yang tayang pada 1972.
Film besutan Nawi Ismail memosisikan Pengki yang diperankan Benyamin Sueb sebagai seorang sopir pribadi bagi keluarga Johan yang bekerja kantoran. Di sekujur film, Pengki betul-betul menjadi biang kerok bagi pertengkaran rumah tangga antara Johan dan istrinya serta ibu mertuanya yang amat ikut campur dalam kehidupan rumah tangga anaknya.
Adegan pertama dibuka saat Johan hendak pulang ke rumah selepas bekerja. Ia memanggil-manggil Pengki yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Lama Pengki tak muncul, sementara Johan mulai cemas karena jika terlambat pulang ibu mertuanya akan banyak bertanya dan marah. Rupanya Pengki tertidur di gudang yang telah dikunci.
Selain di kantor, Pengki juga kerap membikin masalah di rumah. Penyebab utama yang menimbulkan keributan antara Johan dengan istri dan mertuanya adalah karena Pengki sering merayu dan mengencani sejumlah perempuan cantik. Saat menemui perempuan-perempuan itu, ia berlagak sebagai orang kaya dengan memakai mobil dan beberapa pakaian Johan.
Sekali waktu, Pengki pergi kencan mengenakan jas milik Johan tanpa sepengetahuan majikannya. Ketika pulang, di saku jas tersebut terselip selembar foto perempuan pujaan Pengki. Keesokan harinya, saat Johan kerja dan mertuanya memeriksa saku jas tersebut, mertuanya muntab dan Johan menjadi sasaran kemarahan. Istri Johan segera menyusul ke kantor dan keributan pun terjadi.
Dari awal sampai akhir film, Pengki konsisten sebagai biang keributan, termasuk selalu menghabiskan bensin mobil majikannya karena ia pakai untuk kencan. Perempuan yang ditampilkan sebagai teman kencan Pengki juga tidak hadir hanya sebagai pemanis yang terpisah dari badan cerita, tapi memang dibangun sebagai elemen yang menyambungkan kelakuan Pengki yang memicu keributan.
Dalam filmnya, Nawi Ismail tak menyelipkan isu-isu sosial seperti kasus penggusuran dan perjudian yang diselipkan oleh Hanung Bramantyo dalam Benyamin Biang Kerok (2018). Ia hanya fokus membangun cerita dengan adegan-adegan yang meski dapat mudah ditebak, tapi ketat mempertahankan alur sederhana yang berkutat sekitar Pengki, keluarga Johan, dan teman kencannya.
Kekonyolan-kekonyolan yang dihadirkan Nawi Ismail lewat Benyamin dan pemeran lainnya bisa saja terasa kurang lucu bagi penonton kiwari, tapi di masanya, serial film Benyamin menjadi sesuatu yang ditunggu.
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Maulida Sri Handayani